Keumala Menanti Kekasih

Rabu, 02 Desember 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Alimuddin
Dimuat di Suara Karya 28/11/2009



Perempuan itu Keumala. Perempuan berbola mata biru dipadu-padan otak yang mampu menjawab segala hal rasa-serasanya. Dua modal yang membuat Keumala, seperti kristal bening yang mengeluarkan denting-denting halus. Keumala ratu di taman kembang. Ini hari terakhir wanita itu duduk di teras depan rumahnya-menanti kekasih. Besok tak akan lagi.

Yang memiliki harum menyegarkan terik siang. Usia belia, ikut memperdalam jikalau kembang itu punya magnet lain selain wajah ayu. Kumbang-kumbang gesit berterbangan di seputaran Keumala. Mengeluarkan harum-haruman.
Berharap Keumala akan terperangkap. Lantas mereka sehati dalam perahu bahagia.

Tapi Keumala bukan kembang yang mau manusia-manusia buruk akan memetik tubuhnya. Kemudian membiarkan layu di pinggiran kehidupan.

Maka perempuan itu, ketat menjaga keindahan mahkota. Duri-duri menancap bila ada kumbang yang ingin merampas makota itu. Apalagi secara paksa.
Ia berhati-hati. Lihai memilih. Di kumbang mana jangkar hati harus luruh.
Sebab kecewa itu beranak-sungai air mata. Hati sakit belum pernah ditemukan penawar sekalipun oleh pakar paling ahli.
"Kerja di mana?" tanya perempuan itu pada pemuda bermuka murung.
"Saya mengajar di SMP..."

Uh, Keumala menggeleng cepat. Kaki-kaki jenjangnya dihentak-hentak ke lantai. Kemudian berderet-deret repetan sepanjang jalanan semut.

Wajah pemuda murung makinlah masam. Lantas raib dari pandang Keumala. Menikung di jalanan panjang.
Kumbang lain bersorak riang.

Wajah-wajah memancarkkan cahaya bahagia. Sebab Keumala masih bisa direbuti. Kembali segala aroma menyengat disemprotkan. Harum budi luhur dipamerkan besar-besar. Demi tujuan jebakan.

Keumala di langit ke tujuh. Cekakan kadang lepas bila ia tengah sendiri di kamar. Kadang saja sebatas ringis kepuasan.
"Aku cantik. Aku penguasa lelaki." Begitu dan itu gumamannya.

Kumbang-kumbang tak pernah ia dengar mengeluarkan protes. Bahkan bermuka keberatan saja sekalipun tiada. Dengan sikap jual mahalnya tentu saja. Barangkali satu kesadaran telah tumbuh mengakar bahwa demi mendapat Keumala, pengorbanan curam terbentang.
Dan pun, Keumala kian saja lincah membaluti tubuhnya dengan wangi pesona.
Menjadikan pe-para kumbang serasa rela mati agar bisa mengecup madu sang kumbang.

Tapi hati Keumala belum jatuh. Dinding hati kokoh menjulang. Meski peluru rayuan bergodam-godam nyaris tiada reda. Semuanya tiada menggoda.

Seorang pemuda agak menarik di mata Keumala sebenarnya. Laki-laki bertubuh tegap dengan lesung pipi hangat. Pemuda itu pun berhasrat tulus untuk 'menseriusi' hubungan. Hati Keumala akan berwujud air mengalir.
Seolah kumbang itu lah penakluk seorang Keumala.

Namun pemuda itu tiba-tiba tak pernah datang lagi. Seolah raksasa maha besar telah melumat tubuh itu sehingga tak tersisa biar tulang-belulang sekalipun.

Keumala dalam hati sempat menunggu dan menanti. Dulu ia congkak tidak mau menyimpan nomor handphone sang pemuda. Harus si pemuda itu yang menghubungi dirinya! Keumala tidak berai air mata. Terlalu aneh rasanya seorang Keumala menangisi seorang pemuda yang tak kembali.

Sementara di ambang mata berjejer ratusan pemuda yang berhasrat memilikinya. Tinggal tunjuk, pemuda mana pun tergopoh.

Detik-detik berdetak dan pergi. Hari-hari panjang mengelupas juga seperti cat di rumah tua yang bersisik. Musim air hujan dari langit muncul dengan ritual tarian eksotis. Keumala masih Keumala sama. Belum memilih.

Kalaupun ada yang bertukar, mungkin paras itu kian meneteskan liur kumbang. Wajar, usia Keumala tepat di angka dua lima. Bukankah puncak kecantikan seorang wanita bernaung di bilangan itu?

* * *

Hari itu dua pemuda bertandang ke rumah Keumala di waktu yang hampir bersamaan. Bak ingin melamar pekerjaan, pakaian mereka rapi-jeli. Berdasi. Keumala terkekeh ria. Magnetnya masih berjalan sempurna.

Dengan pemuda pertama introgasi berlangsung kilat. Gajinya hanya dua juta perbulan. Pemuda kedua masuk gagah, tapi keluar dengan mata layu.

Keumala masih larut dalam mutiara pujaan penggemar-penggemarnya. Satu kumbang boleh kecewa atas sikapnya. Dan milih mundur dari persaingan.

Akan tetapi di belakang itu, puluhan- ratusan kumbang lain menghampiri. Jujur, sempat terbesit was-was. Apalagi usianya tak lagi belia.

Nyaris masuk di angka tiga. Dia mulai disergap takut kalau-kalau sebab sifat memilih yang berlebih, tak akan ada kumbang lagi yang mendekatin. Seumur-umur jadi perawan tua!

Namun khawatir Keumala tiada bukti. Di usia yang nyaris genap tiga puluh tahun. Kecantikannya masih mampu menangkap kumbang- kumbang. Walaupun tetap kata sama keluar.

Tepat di genap tiga puluh tahun, penantian kumbang-kumbang pengagum Keumala akhirnya terputus. Jangkar hati tlah turun di salah satu kumbang.

Adrian, kumbang itu berhasil meremukkan kekokohan dinding hati perempuan itu. Keumala tak mafmun. Mendadak saja rasa yang tak pernah dimiliki sebelumnya terkonstelasi bagai batu bata yang disusun.

Tinggi dan semakin tinggi. Kokoh dan kuat. Sepertinya badai saja tak kuasa mengapung perasaan itu.

Tubuh itu seolah menggelepar-gelepar laksana seekor ikan yang akan kehabisan oksigen. Maka angguk penuh tatkala Adrian mengucapkan lamaran.
Di mata Keumala, Adrian-lah yang lama tlah dinanti.

Tapi bahagia puncak belum bisa bermain-main di awan-awan perkawinan. Sekali ini, Keumala meleleh air mata. Pria itu harus melanjutkan studi keluar negeri.Empat tahun.
Adrian tergagap melihat pemandangan memilukan.

Adukan bingung melayang. Bujuk cepat dibungkus dalam bingkai-bingkai nian elok. Dan bahu Keumala tak lagi berguncang-guncang.

Ia menyeka air matanya. Meski lantun isak sekali-dua kali belum raib. Keumala menganggukan kepala. Keumala telah dilanda mabuk kepayang.Sebelum berangkat ke negeri seberang, Ardian menyebutkan tanggal sekian, bulan sekian, dan tahun sekian ia akan kembali.
Keumala mencatat angka bersejarah itu di buku hariannya.

Akhirnya Ardian pergi dengan bola air Keumala. Setelah berjanji akan berkomunikasi lewat HP dan email. Betul saja, Ardian pergi.
Dan Keumala mulai menanti hingga empat tahun.

Tapi Ardian ingkar janji. Seminggu setelah kepergian, Keumala menunggu telpon dari pria itu. Sampai sebulan tak juga telponnya berdering. Ia ingin menghubungi Ardian. Sia belaka. Jarak jauh telah membuat nomor itu tak bisa dihubungi.
Lantas Keumala mulai mengirim email cinta.
Setahun tak juga dibalas sekalipun. Hati Keumala dilanda cemas. Sering kali ia meleleh air mata.
Kumbang satu-satu masih berusaha menggoda. Tapi hati Keumala telah keras batu untuk pria selain Ardian.

* * *

Bunga kamboja di lahan pemakaman luruh dan tumbuh selang ganti.
Bunga-bunga itu menumpuk jalan kecil sehingga pembesuk agak kepayahan mengarah ke nisan yang diingin.

Beberapa saat lalu petugas lahan itu telah pergi ke langit sehingga tanah itu kehilangan bersih.Empat tahun meski bergerak selaksa siput datang juga.

Hari ini sesuai janji, Adrian akan kembali. Berulang kali Keumala mencocokkan angka di buku hariannya dengan angka kalender.

Langkah-langkah kijang di dada Keumala. Semalam suntuk tak bisa dipejam mata. Menyambut sang kekasih hati sengaja dikenakan gaun sutra biru yang jauh hari telah disetrika rapi. Perempuan itu tak ubah laksana bidadari.

Tapi hari itu adalah hari berkabung. Keumala melihat gagak hitam berkotek ribut di bumbungan rumahnya.
Ardian tak kunjung datang. Padahal sudah seharian penungguan itu merayap.

Besok hari perempuan itu, Keumala, masih dalam penantian. Menghibur pikirannya dengan ragam mungkin. Mungkin ada gangguan di airport. Mungkin Ardian sengaja membuat hatinya bertalu menunggu. Mungkin...Mungkin....
Seminggu.
Dua minggu. Sebulan. Berbulan-bulan. Roda waktu telah berputar-putar demikian hebat. Tahun-tahun berkeringat. Kamboja di tanah kuburan telah kembali sampai pada kala berbunga semarak.

Keumala masih gelisah menanti. Ardian tak kunjung hadir. Ditampik ulur tangan kumbang liar yang ingin menghibur. Hati Keumala tak mampu pindah ke lain hati.Keumala menunggu. Sampai Ardian kembali..

* * *

Keumala menarik napas panjang sekali. Napas itu napas kesusahan. Mata itu layu menatap surat biru yang tergeletak di meja depannya. Surat yang tiga jam lalu diantar bapak pos ke rumahnya.
Maaf, aku betul-betul lupa bahwa aku pernah berjanji untuk menikahi kamu.

Maaf aku lupa sekali, bahkan teringat nama mu saja, baru beberapa hari yang lalu. Saat itu aku iseng-iseng mengorek buku-buku lamaku, dan kebetulan aku menemukan kembali diary lamaku.

Tertera namaku di sana lengkap dengan janji kita.
Maaf ya, sekali lagi aku minta maaf. Tapi aku yakin, sekarang kamu sudah menjadi seorang nenek. Berapa cucumu? Siapa lelaki yang beruntung mendapatkan dirimu? Pasti laki-laki itu teramat senang ya? Oh ya, cucuku sudah dua belas lho! Enak ya jadi kakek? Jangan lupa dibalas ya.


Tertanda

Adrian

Keumala bangun dari duduk panjangnya. Lalu kaki itu melangkah ke dalam rumah senyap. Sebuah Penantian telah berakhir. Kekasihnya tak kembali. ***