Calabai
Senin, 23 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Emil Akbar
Juara 2 LMCR LIP ICE-Selsun Golden Award 2007 PT ROHTO
Dewata, aku mencintainya. Kurasakan telaga asmara yang tidak kutemukan pada seorang gadis yang menaruh hati padaku. Maka dari itu, aku tak pantas menjadi seorang bissu. Kesucian telah kunodai. Pantangan pernah kuperbuat. Kodrat dan tradisi sudah kulanggar. Aku tidak mau hidup gila atau mati sia-sia!
Lantas, masih adakah pengampunan di sana?
Pagi yang luka. Bunga kuncup diselimuti kabut. Embun meretas pada tepian rumput, terinjak basah meruapkan bau tanah. Langkahku gontai di subuh yang buta. Menapaki hutan, pepohonan yang mengggigil. Menuju Sungai Segeri.
Aku tak pernah tahu kalau hidupku menimbulkan petaka!
Kata orang-orang aku ditemukan mengeak di keheningan malam di lego-lego Mak Rappe, sanro di kampung ini. Aku diasuh, dirawat, dididik, dan dibesarkan olehnya. Menemani masa tuanya yang melajang hingga sekarang aku dewasa.
Mak Rappe adalah putri bangsawan bergelar Andi Petta. Dulu di masa mudanya pernah jatuh cinta dengan lelaki dari golongan rakyat jelata. Ia tak bisa menikah dengan belahan jiwanya itu, lantaran keturunannya nanti tidak akan mewarisi darah birunya. Sebab lainnya, lelaki itu lebih memilih menjadi orang suci yang berdarah putih. Menjadi keturunan Dewa di bumi.
Tetapi kini mereka berdampingan. Mak Rappe telah menjabat sebagai Puang Lolo, menyertai Puang Matoa Rala, kekasihnya itu di setiap upacara. Mereka adalah bissu titisan Datu Patoto yang diakui dan disegani oleh segelintir orang di tanah bugis.
Dan aku tak perlu tahu siapa orang tuaku, karena alam begitu setia menyimpan rahasia.
Tamat dari Madrasah Aliyah aku langsung dikurung di bola arajang, diajarkan adat-istiadat yang telah lama dilupakan orang, ajaran pribumi. Aku magang dalam waktu yang lama, sampai aku bermimpi sebagai penanda aku direstui Dewata untuk menjadi seorang bissu. Dalam mimpiku roh leluhur mendatangiku dengan pakaian serba bercahaya, berkilauan membuat mataku silau. Berbicara dengan basa torilangi yang tidak kumengerti. Meludahi mulutku sebelum pergi ditelan kelam. Ketika aku bangun, Puang Matoa Rala sudah berada di sampingku dan segera memberitahukan pada seluruh penghuni bola arajang bahwa aku sudah siap irreba, ritual yang harus kulalui untuk ditahbiskan menjadi bissu sejati. Kuhindari tatapan Muharram yang menghunjam penuh arti namun sulit kutafsirkan. Ah, Aram, matamu begitu runcing menusuk sanubari.
Esoknya Mak Rappe datang bersama Mak Rabia dan Maulida. Berlinang air mata ia merasakan kebahagiaan tiada tara sambil menyerahkan harta benda untuk upacara adat ini. Aku diwajibkan berpuasa selama tujuh hari sebagai awal prosesi irreba dan diasingkan di sebuah rakit berbentuk gubuk di tengah danau. Menginap tanpa makan, minum dan bergerak. Di sini aku bertapa, merasakan nestapa.
Betapa di hari-hari yang menyedihkan ini, aku butuh kehadiran Maulida, lalu bercerita bahwa aku tidak bahagia dengan semua ini. Bukan ini yang kuinginkan. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Semua orang mencemoohku karena aku calabai, laki-laki yang berperangai seperti perempuan. Kata mereka aku pembawa sial, 40 hari 40 malam tidak mendapatkan rezeki serta amal baiknya tidak diterima pahalanya oleh Allah, akan menimpa mereka yang melihatku. Aku jadi bahan olok-olokan, diusir dan dilempari batu di jalanan bagai orang gila. Banyak orang sepertiku dan diperlakukan sama. Bahkan dianggap lebih najis dari anjing, yang layak disiram dengan air comberan.
Para pengiringku telah pergi. Di sini aku berkawan sepi dan sunyi ketika malam. Di ruang pengap ini tak ada pagi, siang, dan sore bagiku karena kukatupkan mata. Gelap adalah kehidupanku sebelum cahaya memancar di wajahku. Aku mencoba menyatu dengan semesta, tapi tak bisa. Terlalu banyak peristiwa yang berkelebat di pikiran. Mungkin tulus hatiku belum murni.
Terus terang aku melakukan semua ini untuk Mak Rappe. Sebagai anak terbuang yang dipungut, sudah sepantasnya aku balas jasa. Besar harapan aku bisa mewarisi kesaktiannya, mempertahankan adat ini sebagai penerus. Agar aku tidak diremehkan. Tujuannya sangat mulia, mengangkat derajatku supaya aku punya siri, harga diri dan kehormatan yang telah tanggal semenjak aku lahir.
Sungguh, semangatku membuncah mengikuti bimbingan Puang Matoa Rala saat Muharram, keponakannya, tinggal bersamaku di bola arajang. Kedua orang tuanya meninggal di tanah suci Makkah. Puang Matoa Rala kemudian menjadi walinya dan memegang kendali harta warisnya. Kenangan di masa-masa sekolah dulu terulang kembali. Pertemuan-pertemuan rahasia kami tak ada yang tahu. Begitu pula dengan perasaan kami yang saling jatuh cinta. Ia berjanji akan mendampingiku sebagai toboto setelah aku menjelma bissu yang sakti. Diam-diam aku menggunakan naga sikoi, jimat pekasih untuk mempererat hubungan kami. Kuucapkan mantra,
“Tubunna Aram tellengi ritubukku, atinna Aram tellengi riatikku, nyawana Aram tellengi rinyawaku, papujinna Aram rialeku mapada papujinna nyawae ritubue.”
Akan tetapi, semuanya hancur berkeping-keping ketika Puang Matoa Rala mencium kelakuan kami. Rapat digelar. Mereka berembuk tentang hukuman apa yang patut kami terima sebab telah mengotori bola arajang, biar para leluhur tidak murka.
Disepakati Muharram akan dinikahkan dengan Maulida, lalu aku dikucilkan di danau ini!
Muharram dan Maulida adalah temanku sejak kecil. Kami selalu bersama; bersekolah, bermain, dan mengaji. Muharram siap membela jika ada yang mengusiliku. Maulida akan menghiburku ketika tak bisa kutahan tangis yang bercucuran.
“Calabaimi ropale wasetongi anadara...!”
Begitu para pemuda mengejekku. Dan kedua sahabatku ini senantiasa ada untukku.
Pulang dari sekolah kami sering berkumpul di rumah Mak Rabia untuk mengaji. Sebelum mengaji, kami diberi tugas masing-masing. Muharram mencari kayu di hutan dan memikulnya di bahu. Aku mengambil air seember di pancuran bambu yang lumayan jauh dari rumah Mak Rabia, dan membawanya dengan cara menjunjung di atas kepala. Sedangkan Maulida menumbuk beras atau tepung di lesung batu di kolong rumah. Kerap kali antara aku dan Maulida berganti tugas. Kadang kala juga ikut mencari ranting kayu di hutan, memungut dahan-dahan pohon yang jatuh kering. Setelah itu kami berwudu, memakai sarung lalu mengaji.
“Alefu riasena… A, alefu riawana… I, alefu dafenna… U, aaa iii uuu! Ba riasena… Ba, ba riawana… Bi, ba dafenna… Bu, baa bii buu!”
Begitulah mulut mungil kami mengeja huruf-huruf hijaiyyah.
Mak Rabia adalah mak Maulida serta makku juga karena kami saudara sesusuan. Ia seorang janda. Suaminya mati hangus terkena lette ketika membajak sawah di hujan yang membadai. Itu sebabnya Maulida tak melanjutkan sekolah karena tak ada biaya. Aku masuk pesantren Muhammadiyah. Sementara Muharram di sekolah negeri. Persahabatan kami agak renggang sewaktu tumbuh dewasa dan berubah menjadi perasaan yang lain.
Malam merayap gulita. Nyanyian binatang kelam berirama dengan gemericik air yang dimainkan ikan di sekelilingku. Danau angker ini dikerumuni bakau dan berlumpur. Sangat jelas kudengar letupan mata air yang bergelembung serta jalan kepiting yang merangkak. Ada kodok memimpin keriuhan malam. Sesekali lolongan anjing menimpali, meraung-raung di kejauhan. Barangkali ada babi hutan mengamuk di tengah rimba mengorek-ngorek mencari makan. Ini malam yang terakhir, besok aku dijemput.
Tiba-tiba, bunyi kecipak air disampan mengusik telingaku. Dadaku berdebar saat seseorang memanggil namaku.
“Sangkala aku datang...!”
Meremang bulu romaku. Bukan karena takut. Bukan pula karena leluhur mendatangiku.
“Buat apa kau ke sini?”
Kain tanpa jahitan yang membungkus tubuhku tersibak. Rambut panjangku luruh menjuntai sampai ke bahu menghiasi parasku. Cenning rara melingkupi. Matanya menjilati kepolosanku.
“Untuk membuktikan cintaku padamu!”
Lelaki kekar itu mendekat, ingin menyentuh wajahku. Kutepis dengan gerakan lemah tak bertenaga. Ia berhasil merenggut rambutku membuat mukaku mendongak. Ia milik sahabatku yang kukagumi.
“Pergilah Aram, Maulida menunggumu.”
“Kau salah! Dia menampikku. Aku butuh....”
Aku tidak menolak ketika Muharram mengikuti dorongan nalurinya menyelusuri tubuhku yang meremang ini. Aku hanyut terbawa arus perasaan yang lena. Kuresapi kenangan, memasuki lorong waktu. Kami selalu mencuri-curi kesempatan di hari libur, mandi bersama di sungai di balik semak belukar, setelah badannya yang berotot menampung segukku. Sikapnya yang peduli, perhatian, dan rela mendengarkan keluh kesahku, membuahkan perasaan tak terbendung, menyelinap pada dawai hati yang berdebar. Aku menyukai aroma peluhnya sehabis kerja di sawah. Kulitnya yang legam sangat berbeda dengan kulitku yang seputih gading. Kami berpandangan dalam diam waktu itu. Kemudian saling menyentuh tanpa kata-kata. Dan kini, kuteguk kenikmatan yang sama ketika keperkasaannya membobol tubuhku dengan cairan metahnya. Oh Dewata, aku takut mendapat karma. Bayang-bayang siksaan mencambuk hatiku. Cemas tak berujung. Muharram menatapku lekat.
“Aku akan merantau, ikutlah denganku.”
“Tidak Aram. Aku tidak mau lepas dari tanggung jawab. Semoga para makhluk menutup mata saat kita melakukannya. Ini rahasia kita dengan para leluhur, dan aku perlu berbagai ragam ritual untuk memohon ampun.”
Dini hari ia meninggalkanku dengan goresan luka di hatiku. Aku sangat mencintainya. Namun kehidupan dunia tak mengijinkan. Aku berharap, kelak di negeri khayangan Batara Guru merestui hubungan kami.
Melihat diriku yang lusuh; kain koyak, rambut awut-awutan, aku disangka telah dimasuki roh makhluk halus. Aku digiring kembali menuju bola arajang. Tiba ketika malam makin larut.
Rumah panggung beratap rumbia berbentuk segi empat dengan dinding anyaman bambu sudah tampak ramai seperti ada perhelatan. Tiang-tiang penyangga rumah berdiri kokoh dihiasi lampu minyak. Di kolong rumah pagenrang menabuh gendang menghentak-hentak mengiringi langkahku menaiki rumah. Aku disambut dengan suka cita. Dilempari butiran beras disetiap tangga yang kudaki.
Dalam rumah, para jennang berkeliaran menyiapkan upacara. Tikar terhampar. Panati mengatur sesajen berupa dupa, minyak bauk, tana bangkala, sokko patanrupa, tiga butir telur, beberapa sisir pisang, ayam masak yang telah dicabut bulunya, diletakkan di lempengan besi berwarna emas berbentuk piring berbagai ukuran. Sebuah anca, pohon buatan yang terbuat dari pucuk ijuk menjuntai, menaungi sesajen itu. Aku duduk pasrah serupa tersangka yang hendak dihakimi. Di hadapanku Puang Matoa Rala bersila membaca kitab kuno dengan basa torilangi. Mengenakan pakaian kebesarannya lengkap dengan topi bertanduk seperti kerbau. Dandanannya menor dengan badik pusaka bersanding di pinggang. Kualihkan pandangan, kulihat Maulida di sudut ruang bermata sayu. Aku yakin Muharram melarikan diri. Cepat atau lambat semua orang akan tahu ia janda perawan. Suatu waktu ia pernah berkata padaku.
“Sangkala, kau yakin dengan jalan hidupmu?”
“Entahlah. Aku cuma bisa pasrah dengan nasibku.”
“Tidak inginkah kau beranak pinak?”
“Apa maksudmu?!”
“Tak ada maksud. Aku hanya mau mengatakan pernahkah kau jatuh cinta?”
Aku ragu menjawab.
“Aku tahu kau mencintai seseorang. Ya, hidup ini memang tidak berpihak. Kita senasib. Aku harus kawin dengan orang yang tidak kucintai.”
Kupandangi Maulida, lama. Mencoba menerka bilik hatinya yang redup. Ia memberikan isyarat yang tidak kutemukan muaranya.
Aku mattinjak, bernazar selama tiga hari tiga malam untuk bersedia diperlakukan seperti mayat, dimandikan dan dikafani. Kemudian disemayamkan di rakkeang, loteng bagian depan bola arajang. Sebuah guci berisi air doa menggantung di atasku, yang akan dipecahkan nanti setelah malam ketiga sebagai wujud pengesahan. Atap rumah terbuka hingga penglihatanku tembus ke langit penuh bintang gemintang. Aku mati suri. Di bawah sana iringan musik sakral terus dibunyikan.
Apakah ini mimpi? Aku melihat seorang gadis berjalan dalam gelap mengikuti lentera yang ada di hatinya. Melangkah hati-hati seperti berharap tak ada telinga yang terusik atau mata yang terjaga. Mendatangiku yang sedang diterpa kemuliaan cahaya bulan, untuk memenuhi hajatnya. Lalu aku mengendus bau betina jarak tiga ayunan kaki sampai aku tersadar kafanku koyak. Aku bugil. Nafsu binal menggerayangi tubuhku. Ia menggeledah hasratku hingga aku berahi.
“Apa yang kaulakukan?”
“Aku mencintaimu. Aku rela makhotaku kau renggut. Akan kutanam benihmu di rahimku.”
“Kau gila!”
Ia tertawa geli.
“Sangkala, kau tak sebanci yang kukira.”
Ia melesat pergi ibarat angin lalu mengabarkan berita. Menciptakan prahara, guncangan yang terlalu hebat. Kuambil satu keputusan, angkat kaki dari kehidupan ini.
Tuhan, inikah takdirku? Menorehkan sejarah untuk dijadikan pelajaran agar nanti manusia tidak melakukan kesalahan yang sama atau sebagai peringatan? Tak ada gema suara Tuhan membalas. Namun, burung Alo yang hinggap dan bertengger angkuh di pohon bertuah tepat di atasku menjadi jawaban. Burung langka itu yang tidak sembarang orang melihatnya menimbulkan firasat di benakku.
Telah habis kususuri hutan. Tibalah aku di padang ilalang yang bergoyang disapu angin seperti orang tarekat. Sekilas mataku menangkap ada anoa berjingkrak riang, berlari-lari lincah bagai rusa dikejar macan. Di ujung sana sungai Segeri mengalir deras. Aku berjalan terlunta-lunta menerobosi ilalang laksana musafir yang kehausan. Langit tetap biru berawan. Matahari mendaki puncak. Bukit-bukit membatu.
Kutanggalkan pakaian lalu berendam. Riak air sungai menyergap kulitku. Menjernihkan sukma. Di kejauhan, sayup-sayup kudengar suara azan mendayu-dayu lantang menyentuh nurani. Masjid itu terlihat menyembul di balik pohon rimba mirip semak-semak. Aku sempat mendalami ilmu agama di sana. Tapi aku tak betah. Para santri sering menghujatku; kaum Luth yang dilaknat Allah! Pedih. Mungkin perih. Salahkah wajahku yang rupawan tapi cantik? Suaraku yang unik? Atau gerakanku yang kemayu? Bukankah itu pemberian-Mu juga? Ah, sepertinya kebahagiaan tak pernah berpihak padaku. Aku tidak diterima di mana pun. Lebih baik aku....
“Celaka! Sala dewi.”
“Bunuh saja!”
“Jangan, kita nikmati dulu.”
Entah dari mana datangnya, tiga orang pemuda menghampiriku, menyeringai bengis. Aku tak bisa apa-apa. Berteriak pun siapa yang mau dengar?
“Mari kita bermain-main, sayang....”
Mereka menceburkan diriku berkali-kali membuat aku megap-megap, kehilangan napas. Mencemariku beramai-ramai, berganti-gantian tak puas-puas. Lalu dengan keji, aku dikebiri seperti seorang kasim. Air keruh berubah warna merah. Mereka kabur saat melihat makhluk bersisik mendekat.
“Buaya!”
Aku terjepit dilema. Tak ada pilihan. Mulut hewan itu sudah menganga. Gigi taringnya menerkam dan mencabik-cabik tubuhku menjadi remah-remah daging. Tuhan, masih bisa kulihat nama-Mu menjulang ke langit. Setitik cahaya di kalbuku bermukim di bukit itu.
Hampir dua bulan kemudian.
Ditemukan mayat mengambang di tengah laut, menggembung, membusuk, dan tinggal separuh. Semua warga bertanya-tanya tentang perbuatan kotor apakah yang dilakukan jasad itu semasa hidupnya?
“Anak kita jadi tumbal atas dosa yang pernah kita perbuat,” kata Mak Rappe terisak, terkulai di pundak Puang Matoa Rala selesai upacara nilabuang, menenggelamkan jenasah ke dasar laut. Hati berkabung dibelai duka.
Sementara itu, di sebuah rumah panggung, seorang perempuan duduk di muka jendela menggeraikan rambutnya. Termangu, mata nanar memandang di luar sana. Tak lama berselang, senyum penuh luka tersungging di bibirnya. Ia mengusap-usap perutnya yang berisi janin.
“Ana beang....”
Daftar istilah
Dewata: para Dewa.
Calabai: asal kata sala baine, bukan perempuan; Waria.
Bissu: pendeta agama bugis kuno pra islam, kebanyakan waria atau putri bangsawan
Lego-lego: beranda rumah panggung.
Sanro: dukun
Puang Matoa: ketua bissu
Puang Lolo: wakil ketua bissu
Datu patoto: Sang Penentu Takdir
Bola arajang: rumah penyimpangan pusaka kerajaan, tempat tinggal bissu.
Basa torilangi: bahasa yang digunakan para bissu untuk berkomunikasi dengan Dewa
Batara guru: nenek moyang orang bugis
Toboto: kekasih bissu sesama jenis
Cenning rara: aura kecantikan.
Lette: petir
Pagenrang: penabuh gendang
Jennang: beberapa wanita tua bukan bissu yang mengatur rumah tangga rumah pusaka
Panati: seorang wanita yang mengatur tata upacara adat
Minyak bauk: minyak wangi berwarna merah
Tana bangkala: tanah suci tempat awal turunnya nenek moyang orang bugis
Sokko patanrupa: beras ketan empat warna, merah, kuning, hitam, putih
Anoa: sapi kecil khas sulawesi
Sala dewi: bukan dewi