Ulat-ulat pada Kematianku
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen M. Irfan Hidayatullah
Dimuat di Republika 10/07/2005 Telah
Lalu pagi itu terlewati. Lalu siang itu terlewati. Lalu malam itu terlewati. Lalu pagi lagi. Aku hanya bisa termanggu menunggui tubuhku. Dan aku tak seperti biasanya lagi. Aku tak dirundung lapar dan haus. Aku telah bebas. Aku bahkan tidak merasakan lagi nuansa mewah kamarku. Karpet tebal penutup lantai. Ranjang kayu jati. Spring bed keluaran terbaru. Bed cover bermotif bendera Juventus. AC pintar plus mutakhir. Poster-poster pemusik hip-hop metal. Komputer dengan segudang game. TV platron 25 inc. Lampu tidur yang bercaping. Dan kamar mandi yang harum terawat.
Perasaanku telah lain. Aku seperti hampa. Aku mungkin telah berpindah wujud dari segumpal darah, sejumput daging dan sebongkah tulang menjadi udara. Dan, aku tak merasakan sejuknya udara karena aku udara, tepatnya mewujud udara. AC di kamarku telah hanya sekadar benda yang tak punya arti apa-apa. Kehampaan ini bagai sebuah wilayah yang tanpa batas, seperti tanpa sekat, seperti suasana tengah laut, atau seperti di tengah gurun, atau bahkan seperti di langit yang setelah kusampai di sana ditinggalkan biru, lazuardi.
Namun, aku tak bisa bergerak. Aku hanya termangu melihat tubuhku tak bergerak. Namun, aku juga tidak tahu pada apa kini berada. Aku seolah menyatu dengan ruang, tak bertubuh. Dan, aku tak membayangkan ini sebelumnya. Bahkan, sepertinya memoriku hilang. Aku tak punya sejarah lagi. Satu yang kutahu adalah bahwa yang tergolek itu adalah tubuhku. Dan, tubuh di sampingnya adalah tubuh entah.
Kadang aku merasa ada pada tubuh asalku, kadang pada ranjang itu, kadang pada lampu tidur itu, kadang pada AC itu, atau kadang aku tak di mana-mana. Ini rumit, pikirku.
Telah ruhkah aku? Telah mayatkah tubuhku? Lalu kenapa aku masih di sini? Kenapa aku tak beranjak perpindah alam, ke dunia lain? Atau inikah dunia lain itu? Tak mungkin. Aku masih merasakan wujud dunia walau aku tak bisa menyetubuhinya. Aku tertegun, tepatnya merasa tertegun. Aku tak mempunyai gestur lagi saat ini. Yang kupunya hanyalah entah apa. Mungkin hakikat segala sesuatu.
Tiba-tiba tubuhku bergerak. Namun, gerakannya aneh sekali seperti gerakan mundur. Memutar ulang. Begitu cepat. Sepertinya ada wujud lain yang menekan tombol replay. Sampai pada satu titik peristiwa. Saat tubuhku baru masuk ke kamar itu.
"Naah. Inilah kamarku, Sayang."
"Oh, ya? Bagus juga."
"Kita santai saja. Semuaku sedang ngak ada."
"Semuamu?"
"Ya, ibuku, ayahku, adikku, bahkan pembantuku."
"Oh, lalu yang tadi?"
"Ya, itu memang pembantuku, tapi kuanggap tak ada. Dia takkan bicara apa-apa. Dia saksi bisu."
"Tapi kamu harus hati-hati, Sayang."
"Tenang saja. Ia telah kubungkam dengan uang. Dia manusia juga. Butuh segalanya."
"Seperti kita?"
"Ya, seperti kita yang butuh kamar ini. Butuh kebebasan. Tempat saat hanya kita yang ada. Tak ada keluarga, teman, dan masyarakat yang selalu menghakimi dengan alasan dogma-dogma."
"Kalau begitu, ayo...."
"Nanti dulu, Sayang. Kita akan lakukan semuanya dengan sempurna. Jangan tergesa-gesa. Kita nikmati semuanya dengan sebuah rasa yang terjaga. Detik-detik kita jangan sampai terbuang karena nafsu yang menggelora. Kita harus menikmatinya seperti aliran air di sebuah muara, tenang, tapi menuju sungai yang deras menuju lembah-lembah, bahkan jurang. Kita bukan sungai yang airnya tergesa."
Aku tercekat melihat tubuhku yang segar-bugar itu tengah berbincang dengan seorang perempuan atau wanita atau, ah.... Aku betul-betul tak mampu mengingatnya. Atau putar ulang ini adalah proses ingatanku? Aku sepertinya disetting untuk objektif. Menjadi saksi atas diriku sendiri yang dengan penglihatanku yang tanpa mata ini menyaksikan tubuhku berbuat sesuatu. Aku subjek yang melihat aku objek.
Pemutaran ulang itu kemudian seperti dipercepat. Perbincanganpun berubah menjadi menggelikan. Nada menjadi lebih tinggi dan sambung menyambung. Aku tak mampu melihat setiap adegan dengan jelas. Tapi aku bisa simpulkan bahwa aku tubuh dan perempuan itu tengah melakukan sesuatu. Sesuatu yang menurut aku tubuh tadi ingin teralami dengan sangat lambat dengan detik-detiknya tak terlewat.
Namun, aku melihat justru pada sebuah proses yang sangat cepat. Pemercepatan itu telah membuatnya sangat cepat. Sesuatu pun terlakukan sudah. Sangat cepat dan cepat. Bahkan, seperti hanya sekejap. Aku bengong, betapa cepat peristiwa itu terjadi.
"Terima kasih, Sayang. Kau telah memberikan sesuatu yang berharga buatku. Aku takkan menyia-nyiakan itu. Aku janji."
"Betulkah, kau berjanji?"
"Kau sepertinya diliputi ragu, Sayang?"
"Karena banyak kejadian--"
"A...a, kau terpengaruh senetron-sinetron itu rupanya, atau novel-novel itu?"
"Aku hanya takut kehilanganmu setelah aku menghilangkan diriku sendiri." "Kita memang telah menyatu. Karena itu, kita tak bisa lagi saling berpisah."
"Kamu romantis sekali, Sayang."
"Itulah aku. Semua yang kumiliki hanya untukmu. Termasuk sifatku yang satu itu. Hanya untukmu. Apa, sih di dunia ini yang takkan kuberikan padamu setelah semuanya terjadi. Kita bahkan harus saling memberikan nyawa kita."
"Ah, sudah, Sayang. Kau mulai berlebihan."
"Sudah, kalau begitu. Kau nampak lelah. Kita tidur saja."
"Aku pulang saja."
"Tidak. Kau tidur saja di sini. Malam ini milik kita sepenuhnya."
"Kadang sesuatu yang tak terduga bisa terjadi."
"Aku sudah antisipasi. Aku sudah perhitungkan matang-matang."
"Lalu bila tiba-tiba mereka datang?"
"Percayalah padaku semua telah kuatur."
"Tapi Dia pun mengatur."
"Kau...."
"Ada apa, Sayang?"
"Kau menakut-nakutiku."
"Aku hanya menyebut Dia. Kau takut pada-Nya?"
"Ya, aku takut. Karena itu, kau jangan pergi. Temani aku agar aku tidak takut lagi pada-Nya. Kita berdua bisa menghadapi-Nya bersama, hmm.... Bagaimana?"
Tiba-tiba kejadian di kamar itu dipercepat lagi. Gerakan gerakan aku tubuh dan wanita itu jadi semacam bayangan yang berkelebat, cepat. Peristiwa-peristiwanya pun tidak hanya terjadi di atas ranjang itu, bahkan di bawah shower. Sekejap. Di bath tub. Sekejap. Di tolilet. Sekejap. Lalu terakhir kembali di (ke) ranjang. Sekejap. Setelah itu tak bergerak lagi tubuh-tubuh itu. Diselimuti atau bahkan ditutupi oleh bad cover dan selimut bermotif bendera Juventus itu. Tubuh mereka seperti dibenamkan pada ranjang itu atau disemayamkan.
Memoriku telah penuh. Aku jadi tahu masa laluku. Sehari semalam yang lalu. Namun, hanya itu yang kutahu. Sisanya hitam. Mungkin harus ada yang memutar ulangnya lagi. Dan, aku hanya saksi bagi diriku. Aku ternyata hanya mengenal nama, tidak peristiwa.
Entah ketukan yang keberapa kali, sejak malam tadi. Terdengar. Tergesa. Panggilan-panggilan berbisik, setengah teriak, lalu penuh teriak. Ketukan menjadi gedoran. Gedoran menjadi dorongan. Dorongan menjadi pembongkaran. Lalu jeritan. Histeris.
Mereka berempat. Ibuku, ayahku, adikku, dan pembantu kami itu. Mereka masuk sambil menutupi hidung mereka dengan baju-baju mereka. Bahkan adikku muntah di kamar mandi. Sedangkan aku heran. Ada bau apa gerangan? Mereka menghampiri aku tubuh, tubuhku yang terbenam sempurna di ranjang itu. Mereka membangunkanku. Tak berhasil. Mereka menggoyang-goyang tubuhku. Namun, keheranan terpancar pada mereka. Bukan tubuh yang mereka goyang, tapi benda lunak yang seperti terkelupas karena gesekan. Mereka saling pandang lalu seperti sepakat membuka selimut itu.
"Aaaaaaaa, Bagus anakku!"
"Ooooooh, Bagus anakku!"
"Haa? Kak Bagus? Ya, Allah!"
"Iiiiiii, Den Bagus?"
Histeris, heran, tak percaya, dan mual bercampur baur. Dan, aku hanya hening. Udara yang mungkin dingin. Tercekat oleh apa yang kulihat. Tiba-tiba aku berubah. Mulai bisa merasakan. Aku seperti membeku. Aku tak bertiup lagi. Raga gaibku yang entah apa wujudnya terpaku dan entah menancap di mana. Tubuhku tinggal wajahku, juga tubuhnya tinggal wajahnya. Wajah tercekat, tercekik, tersiksa, tak kuat, menjerit. Wajah tragedi. Sementara badanku dan badannya hampir tinggal tulang. Ulat-ulat yang gemuk dan penuh lendir kemerah-merahan tercampur darah memagut-magut setiap inci badan itu. Menuju wajah. Aku tak mampu mengekspresikan perasaanku, sementara mereka pingsan kecuali pembantuku. Ia terduduk sambil meraba saku celananya.
Depok, Oktober '03