Kalajengking
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen M. Irfan Hidayatullah
Dimuat di Republika 18/03/2007
Aku tercekat. Nafasku seakan terhenti, saat aku membuka kado dari wanita itu. Kado yang unik sebenarnya, tapi bagiku seperti ancaman. Benda yang bagiku begitu hidup. Ya, karena aku selalu membayangkan sebuah bahaya tengah menerkamku. Bahkan, aku sering bermimpi diburu mereka. Ya, mereka yang sekarang menjadi benda di genggamanku yang wanita itu berikan padaku, tepatnya, yang wanita itu sodorkan padaku. Aku jelas nggak mau menerimanya. Seekor kalajengking asli yang telah dipermentasi.
''Ini hadiah untukmu. Hari ini kan ulang tahunmu.'' Wanita itu tersenyum manis sekali, tapi beberapa detik kemudian aku melihat benda itu menjelmanya. Senyumnya begitu menakutkan.
''Kenapa? Ada apa?'' Dia heran saat melihatku tercekat. Aku melihatnya seperti sangat aneh dengan perubahanku.
''Kenapa? Ada apa?'' tanyanya lagi. Dan, kini dia betul-betul berubah menjadi binatang itu. Kalajengking. Aku berlari. Dia berteriak.
''Sudah kubilang kau jangan menghubungiku lagi!'' teriakku, menggegerkan cafe di mal itu.
''Mas, aku kemarin bermimpi kau disengat kalajengking.''
''Apa?'' tiba-tiba aku tercekat. Aku menyibakkan selimut yang menyatukan kami. Aku terbangun dan takut.
Istriku terlihat kaget. Ia ikut beranjak dengan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Aku langsung ke kamar mandi dan mengguyur tubuhku.
Membiarkan kepalaku dihunjam air dingin dari shower yang kumaksimalkan derasnya. Sebentar saja, aku sudah agak tenang. Guyuran air itu menyadarkanku. Degup jantungku lambat-laun normal kembali, sehingga aku bisa menjawab pertanyaan istriku.
''Aku nggak papa, Yang,'' teriakku.
Namun, sedetik setelah itu aku tercekat kembali. Aku teringat Ibu. Aku pun teringat wanita itu, yang berubah menjadi kalajengking, yang memberi hadiah kalajengking mati tadi siang.
Tiba-tiba saja dari saluran pembuangan kamar mandi seperti bermunculan makhluk-makhluk kehitaman yang membentangkan tangan-tangannya lalu mencapit-capitkannya di udara. Mereka datang satu per satu. Ekornya tegak dengan ujung lancip penuh bisa. Kalajengking-kalajengking di kamar mandiku. Aku segera menyelesaikan mandiku dengan teriakan histeris. Aku langsung menerjang pintu kamar mandi sambil bersijingkat, takut sekaligus jiji. Kehidupanku betul-betul terancam. Aku hampir menabrak istriku, yang berkostum selimut.
''Ada apa, Mas? Kenapa? Sadar, Mas!'' Ia mengikutiku yang kembali ke ranjang dan bersembunyi di bad cover yang tebal. Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku hanya menggigil ketakutan. Istriku tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia hanya membuka selimut itu dan melindungiku dengannya. Lalu ia bergabung dengan tubuhku, masuk ke dalam bed cover menghangatkanku. Ia berkata dengan lembut, ''Tenang, Mas. Aku di sisimu selalu.''
''Namaku Syam, tepatnya Syamsul. Kau?''
''Namaku Luna. Luna saja.''
''Sepertinya kita pernah bertemu.''
''Hm, itu gaya pendekatan yang sudah basi. Bilang saja kau tertarik padaku dan ingin berkenalan lebih jauh.''
''Rupanya, wanita sekarang lebih agresif.''
''Baru tahu atau pura-pura tidak tahu?''
''Ahha, lagi-lagi kau ....''
''Ya, aku tak suka basa-basi. Sekarang sudah tidak zamannya lagi. Kau akan ketinggalan kereta. Kau pun sepertinya masih gugup berkenalan dengan perempuan. Kau pasti sudah punya istri dan berusaha setia padanya. Iya, kan?''
''Lagi-lagi kau....''
''Ah, sudahlah. Ayo kita duduk. Ngak enak ngobrol sambil berdiri. Standing Party memang telah jadi gaya hidup pesta seperti ini, tapi aku lebih suka duduk dan relaks. Dengan begitu kita bisa lebih lama ngobrol tanpa diganggu oleh kaki lelah kita. Kenapa kau tidak minum wine? Ohho, I see, rupanya, you are mister conventional.'' ''Ah, sudahlah. Aku memang aku. Aku berusaha menjadi diriku sendiri. Tapi, sudahlah, yang jelas kau wanita paling cantik malam ini. Betul, aku nggak basa-basi.''
''Nah, gitu, dong! Itu baru gentlement sejati. Aku juga suka kau walaupun kita ditakdirkan untuk tidak bertemu.''
''Lho, emang kenapa?''
''Ya, iyalah. Kau matahari aku rembulan. Kau ada pada siang, aku pada malam. Penyatuan kita hanya pada mitos. Tapi kita bisa bersenang-senang dengan posisi seperti ini. Sepertinya kau harus kuajari tentang kehidupan sesungguhnya. Tentang gerhana.''
Malam itu, aku begitu puas. Terus terang aku baru merasakan suspensi hidup bebas seperti saat itu. Aku begitu terlepas. Aku matahari, dia rembulan. Malam itu adalah gerhana terdahsyat dalam kehidupanku. Nafas rembulan yang harum itu, saat itu, bergitu teratur dalam buaian mimpi setelah gerhana usai. Dan aku hanya bisa memandangnya.
Gila, aku telah mendapatkan kehidupan baru. Huh, aku manusia baru. Aku telah seperti manusia kota ini seutuhnya. Aku telah memasuki kehidupan lain lagi. Mungkin, akan sering terjadi gerhana itu.
Tiba-tiba vibra alert HP-ku mengagetkanku. Siapakah yang iseng menelponku tengah malam? Aku pun melihat layar hpku. Ibu! ''Assalamu 'alaikum, Ibu. Ada apa, Bu? Ini kan sudah malam, bahkan dini hari.''
''Ibu tidak bisa tidur, Syam.''
''Kenapa, Ibu?''
''Ibu mimpi buruk. Kau digigit kalajengking.''
''Ah, ibu sudahlah. Itu kan hanya mimpi. Sudahlah, Bu. Ibu tidur saja lagi. Syam nggak apa-apa, kok.''
''Kau di mana, Syam?''
''Aku di rumah, Bu. Udahlah Bu, Syam ngak apa-apa, kok.''
''Betul, kau di rumah, Syam?''
''Betul, demi Allah, Bu. Syams di rumah. Ini Agni di sampingku sedang pulas. Nanti dia bangun, Bu. Sudahlah, Bu.''
''Ya, udah kalau begitu. Hati-hati, Syam dan salam buat Agni, ya.''
''Ya, nanti Syam sampaikan. Waalaikum salam.''
Sejak detik itulah aku hidup tak tenang. Kalajengking sepertinya telah berada dalam tempurung kepalaku. Di dalam setiap sel otakku. Saat itu aku pun menemui tubuh berselimut yang tengah pulas itu. Namun, aku tak bisa tidur. Dia betul-betul menjelma kalajengking. Aku kabur dari hotel itu dengan menuliskan pesan pada selembar kertas dengan tangan gemetar.***
Depok, 28 Juni 2005