Seorang Gadis Tergeletak di Trotoar

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen M. Irfan Hidayatullah
Dimuat di Pikiran Rakyat 07/05/2005



DIALAH tubuh yang akrab dengan debu. Dialah sosok yang tak punya esok. Seorang gadis tergeletak di trotoar. Kendaraan hanya menderu seperti angin yang tak pernah singgah.

Kemarin ia ceria. Menyambut ulang tahun ke 17 nya. Dialah sosok harapan esok. Pada tubuhnya ada jiwa yang menatap optimistis cakrawala. Dia bahkan ingin terbang seperti kupu-kupu. Yang kepaknya memberi indah. Yang lenggoknya menebar pesona. Yang sesekali hinggap untuk menghentikan waktu. Memberi gemas pada setiap hasrat.

Pagi hari sang gadis telah siap akrab dengan aktivitas. Ia juara kelas. Hari-harinya penuh trengginas. Belum lagi, kesupelannya telah membuat kehadirannya seperti tak terelakkan. Pendapat-pendapat dan guraunya selalu diharapkan bahkan dirindukan. Jelas, hobinya adalah baca buku dan membaca peristiwa. Ia betul-betul gadis cerdas.

"Hati-hati di sekolah, Sayang."

"Hati-hati bergaul, Sayang."

"Cepat pulang, Sayang."

"Ingat les pianomu sore nanti."

Kedua orang tua sang gadis ibarat seorang kolektor barang antik yang begitu cemas. Setiap harinya adalah doa bagi mereka. Gadis pintar, cantik, dan gaul adalah segalanya. Adalah masa depan. Pasti masa depan. Itulah inti kecemasan, menghindarkan sang gadis dari reretak karena goncangan zaman.

Sebulan sebelumnya sang gadis menikmati saat-saat pertama memakai putih-abu. Ia tak jemu becermin. Ia seperti tak yakin dengan kenyataan. Ia melihat sebuah zaman dalam tubuhnya, dalam seragamnya, dalam jiwanya. Namun, dalam hatinya selalu bertanya. Apakah masa depan? Apakah simbol hari esok adalah sebentuk perkembangan tubuh, atau perkembangan warna seragamnya, atau perkembangan kebebasan.

"Nah, sebagai hadiah ulang tahun sweet seventeen-mu, kami belikan .... Trereng... Mobil!: Honda Jazz ! keluaran baru, warna baru, warna kesukaanmu. Kecantikanmu akan semakin sempurna."

"Tapi kamu harus hati-hati, Sayang."

"Tapi kamu harus cepat pulang, Sayang."

"Ingat les bahasa Prancismu nanti sore."

Setahun sebelumnya sang gadis adalah sesosok anak tanggung cerdas yang menggemaskan. Siswa andalan di sekolah andalan. Juara lomba pidato bahasa Inggris. Juara lomba cerdas cermat bahasa Inggris. Juara lomba karya Ilmiah Remaja. Nominator lomba kecerdasan Matematika tingkat nasional. Mata sang gadis selalu berbinar saat menerima pelajaran baru. Ia bahkan bintang dalam arti sesungguhnya. Sesuatu yang tak terjangkau. Ia cahaya yang menyilaukan siapa pun. Gadis cantik tetapi cerdas adalah mutiara.

"Makasih, Sayang kamu telah membuat mama bangga."

"Kamu memang anak nomor satu sedunia. Prestasimu adalah prestise papi di tempat kerja. Makasih, Sayang."

Lalu kedua orang tua sang gadis memeluk sang gadis. Sang gadis hanya mematung. Dalam benaknya berkecamuk pertanyaan tentang kenapa kata prestasi sangat dekat dengan prestise. Hanya suku kata pres yang ditambahkan sesuatu, tasi dan tise. Hanya dua suku kata itu. Tapi kenapa harus disandingkan? Kenapa harus didekatkan? Kenapa hakikatnya begitu berlawanan pada kenyataan.

"Tapi kamu harus terus belajar, Sayang."

"Ya, agar kamu diterima di SMA terbaik di negeri ini. Agar kemudian kamu bisa kuliah di universitas terbaik di negeri ini atau bahkan ke luar negeri."

"Ya, Sayang... kamu adalah aset bangsa... kamu adalah aset kami."

Sang gadis masih merenung. Kini tentang kedekatan antara kata kamu dan kami.

Lima tahun sebelumnya sang gadis adalah anak SD yang hampir tak punya waktu buat istirahat. Setiap harinya adalah belajar, belajar, dan belajar. Setelah sekolah adalah waktu untuk kursus dan les privat. Namun, ialah anak cerdas yang tak pernah mengeluh itu. Ia bahkan terus menerus menambah pembendaharaan kebanggaan orang tuanya. Kedua pipinya yang putih adalah landasan mulus buat ciuman-ciuman sayang dan gemas. Para nenek dan kakek adalah sponsor utama bagi keberadaannya di setiap arisan dan pertemuan keluarga. Namun, pada benak gadis itu berjejal cita-cita sederhana dari sebuah kecemburuan. Ia ingin seperti anak tetangga-tetangganya yang tertawa lepas.

**

DIALAH tubuh yang akrab dengan debu. Dialah sosok yang tak punya esok. Seorang gadis tergeletak di trotoar. Kendaraan hanya menderu seperti angin yang tak pernah singgah.

Siang itu ia hanya menjerit sedikit. Ia tak sempat berbuat apa. Ia dibekap kemudian terlelap. Di lorong parkir sebuah mal kehidupannya terhenti padahal beberapa jam sebelumnya ia adalah gadis ceria yang mulai menemukan teman atau bahkan sahabat. Mereka berputar-putar di mal. Mereka hanya mencari-cari cuaca di mal.

"Bintang, lihat manekin itu cantik tapi kaku kayak kamu."

"Bintang, lihat berlian itu berkilauan, tapi ditutup rapat, tak tersentuh kayak kamu."

"Bintang, selamat datang di dunia nyata. Dan kamu akan mendapatkan banyak kesenangan."

"Bintang.... Bintang ... Bintang!"

Sang gadis merasa terus disapa oleh apa saja yang ia lihat. Karenanya ia merasa ada, meriah, tak sepi, berteman. Ia pun melangkah, bergandengan tangan dengan kenyataan. Dengan bayangan-bayangan teman atau bahkan sahabat-sahabatnya. Entah jelmaan dari apa.

Begitulah ia begitu senang sebelum hp-nya berdendang.

"Sayang, kamu di mana?. Cepat pulang... ingat kau harus les."

"Sayang, ingat ... kamu harus hati-hati."

Sang gadis kembali ditarik dari dunia khayalnya di mal itu. Teman dan sahabat-sahabatnya begitu saja menghilang. Ia kembali sendirian. Ia pun melangkah ke tempat mobilnya terparkir. Namun, ia sengaja tidak memakai lift. Ia berjalan dan menikmati kekesalannya. Langkah kakinya seiring degup jantungnya. Kemudian sampailah ia ke samping mobilnya, tapi ia tidak sampai bisa mengendarainya. Ia terhenti pada rasa kaget dan ia hanya menjerit sedikit kemudian terlelap gelap.

**

DIALAH tubuh yang akrab dengan debu. Dialah sosok yang tak punya esok. Seorang gadis tergeletak di trotoar. Kendaraan hanya menderu seperti angin yang tak pernah singgah. Ia dilempar begitu saja dari Honda Jazz-nya. Tubuhnya melayang, berdebam, dan berguling-guling membentur-bentur lantai trotoar yang membelah tengah jalur cepat jalan By Pass. Kendaraan hanya menderu seperti angin yang tak pernah singgah.

Seorang ayah di kursi mewah kantor di lantai kesekian puluh sebuah gedung tinggi sedang menelefon. Sosoknya tidak terlihat penuh, hanya ujung rambut dan siku tangan dan suara yang lirih khawatir.

"Ma, dari tadi papa ngehubungin Bintang, kok nggak diangkat-angkat. Ada apa ya, Ma, papa khawatir sekali. Diakan harusnya udah nyampe rumah. Kata orang rumah dia pun belum pulang."

Seorang ibu di kursi salon sedang menjalani pedicure. Matanya hampir terkatup karena begitu santainya ia duduk. Namun, ia tiba-tiba melek bahkan terlihat kaget saat hp-nya bergetar. Lewat fasilitas hands free ia menjawab.

"Iya, Pa ... mama juga khawatir sekali. Tadi mama berhasil mengontaknya sekali, tapi satu jam kemudian mama cek lagi, eeh malah pesan suara yang menjawabnya... Gimana, Pa? Papa cari dong?"

"Maaf Papa ngak bisa. Mama aja."

"Mama lagi tanggung, Pa. Paling sejaman lagi."

**

DIALAH tubuh yang akrab dengan debu. Dialah sosok yang tak punya esok. Seorang gadis tergeletak di trotoar. Kendaraan hanya menderu seperti angin yang memang tak pernah singgah.***

*) Bandung, April 2005.*