Tujuh

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Pembaruan 27/09/2009



Wak Anang ditujuh1. Berita itu tak urung mengemparkan Talang Rejo. Bujang-bujang tanggung warung kopi, ibu-ibu di Pasar Inpres, tukang ojek-tukang ojek, menjadikan kemalangan yang menimpa dukun termahsyur itu sebagai bahan percakapan.

"Berarti lupa orang-orang yang melihat tujuh terbang tu berseru tu-we-ge-pat-me-nam-juh2!" Demikian pendapat mereka tentang tujuh yang mengenai sasaran itu.

Memang, biasanya tujuh yang- konon katanya-berbentuk bak roket emas sebesar botol Malaga, yang melesat rendah beberapa meter di atas atap-atap rumah penduduk itu tertangkap mata, maka demi menghindari tujuh itu mengenai sasaran, mereka harus berhitung satu sampai tujuh dengan sigap. Kata orang, apabila itu benar-benar dilakukan, bahkan tujuh itu dapat saja kembali ke pengirimnya: senjata makan tuan!

Sebenarnya perihal sesiapa yang ditujuh bukanlah sesuatu yang bisa merunyamkan bibir-bibir penduduk kampung itu. Tapi... yang ditujuh ini bukan orang sembarangan: Wak Anang! Alahai, bagaimana mungkin ahli nujum itu kena tujum, dukun kena dukun, penujuh kena tujuh!

Siapa yang ditujuh biasanya adalah orang yang bermasalah dengan orang yang menujuhnya. Dan... itulah Wak Anang, si tukang tujuh itu. Pastilah banyak penduduk yang tak senang padanya. Terutama orang-orang yang anggota keluarga atau temannya pernah-atau mungkin hanya merasa-jadi korban tujuhannya.

Semuanya mati dengan keadaan yang beragam-ragam. Ada yang diawali muntah darah, ada yang tiba-tiba saja tercekat dengan salah satu sisi leher bak dibolongi panah enau, ada yang gagu tiba-tiba, atau juga dengan cara yang biasa saja, tapi diyakini juga kena tujuh.

Nah, yang terakhirlah yang menimpa Wak Anang. Tiada yang berbeda tampak pada diri lelaki legam itu. Wak Anang masih lahap makan. Masih minum seperti biasa. Tiada pantangan. Tapi kata Bi Sa'diah, istrinya yang tukang urut betuah3 itu, pagi hari setelah kabar tujuh bersinggah di rumahnya, badan Wak Anang panas-dingin saja.

Memang, katanya, banyak penduduk yang melihat tujuh itu melesat- melangkahi Masjid Al-Falaq, warung pempek Mang Saim, dan akhirnya terjerembab hilang di atas atap rumah dukun yang disegani itu. Kabar-kabari yang berembus adalah telah ada tukang tujuh baru di kampung itu. Tetapi, siapa tukang tujuh anyar4 itu dan se-betuah apakah ia, masih sumir.

Nah, pada perkara inilah dugaan itu memusingkan. Memang, orang-orang tua di Talang Rejo tahu bahwa tukang tujuh termahsyur di Lubuk Aman juga ada beberapa. Tapi sudah beberapa hari yang lalu, mereka semua meninggal di tengah malam sepulang dari sedekahan5.

Saat itu, banyak orang yang menerka bahwa dukun-dukun itu termakan racun tebang6, tetapi semua bungkam-redam ketika dengan jumawanya Wak Anang berkoar bahwa mereka ditujuh pada malam harinya. Orang-orang tak berhasrat menanggapi apa-apa yang dikabarinya. Orang-orang hanya mengangguk ragu. Menyimpulkan dengan cepat: hebatnya kau, Wak Anang!

u

Syahdan, Wak Anang yang sudah murka sedari pagi ia ditujuh, mencak-mencak di dipannya. Menyuruh Bi Sa'diah dan anak-anaknya mencari tahu siapa tukang tujuh baru di Talang Rejo. Bi Sa'diah gulana saja. Anak-anaknya yang sudah bujang-gadis itu susah sekali dicari.

"Bertahunbaruan mereka, Bi!" kata beberapa orang yang mendengarkan kegalauan Bi Sa'diah.

"Tadi kami lihat Susi ke Merasi dengan ceweknyo7!"

"Adam ke Curup, Bi. Jam 10 malam tadi berombongan berangkat. Nak bertahunbaruan di situ!"

Matilah kau, Bi Sa'diah!

Bi Sa'diah cemas saja. Tiada mungkin ia berkabar bahwa anak-anaknya yang sudah bujang-gadis itu berleha- leha malam tadi. Ah, inilah karma. Bi Sa'diah seakan menyesali apa-apa yang menimpa keluarganya. Lebih tepatnya, menyesali mengapa suaminya memilih tukang tujuh sebagai tempat mencari penghormatan.

Memang, di mana-mana keluarganya seakan-akan mendapatkan perlakuan berlebih dari penduduk. Dalam pesta-pesta pernikahan, Wak Anang dan Bi Sa'diah duduk seleretan dengan kadus, kades, bahkan camat. Apalagi dalam rapat-rapat RT/RW, kehadiran dua laki-bini itu seakan-akan menjadi syarat bahwa pertemuan itu sah dimulai dan diberlakukan apa-apa yang diputuskan. Malam tadi saja, mereka baru menghadiri undangan acara tahun-baruan di tarup dekat simpang Pelita. Tentu saja, sangat dihormatilah mereka di sana.

Tetapi, sesungguhnya, Bi Sa'diah tahu juga bahwa semuanya adalah topeng emas saja. Di belakang, mereka yang tampak sumringah-raya itu acapkali mencibir apa-apa yang dilakukan oleh Wak Anang, namun Bi Sa'diah jarang sekali memerkarakannya. Kecuali Wak Salma, Bi Jiran, dan Mang Karim yang terang-terangan merendahkan, menghina suaminya, bahkan sampai membawa pekerjaan tukang urutnya sebagai bahan hinaan di hadapannya. Dan... tak perlu ditebak lagi, bagaimana nasib mereka. Kini, bila ingin bersua dengan para penghina itu, pergi saja ke tanah luas Es-Es dekat Pertamina Kota. Di sana pun, hanya nama- nama mereka yang samar-samar terbaca dari nisan-nisan yang sudah buram-lapuk.

Sudah empat belas hari berlalu dari ditujuhnya Wak Anang. Orang-orang banyak yang menjenguknya. Membawakan macam-macam buah tangan. Mereka makin takut saja sejak berita sedih-mungkin gembira bagi penduduk lainnya-itu terus menggelayut keluarga Wak Anang.

Mereka berkeyakinan bahwa belum meninggalnya si tukang tujuh itu, bukan karena ilmunya belum diturunkan pada Adam atau Susi, atau juga Bi Sa'diah. Bukan juga karena anak- bininya tak sudi mendapat warisan ilmu hitam itu. Tapi... lebih pada pertarungan hebat-tak kasatmata-yang masih berlangsung antara Wak Anang dan si Tukang Tujuh baru itu-yang hingga kini tiada terungkap jua.

"Coba dibawa ke dokter saja, Bi." Salah satu ibu-ibu mengusulkan.

Bi Sa'diah membelalak sempurna. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk si wajah pengusul. Ya, mana bisa terbaca oleh ilmu pasti apa-apa yang menimpa orang yang ditujuh. Tujuh perihal gaib, metafisika, bukan matematika, atau ilmu pasti orang-orang berkacamata dan berbaju putih bersih di Rumah Sakit Sobirin itu. Maka, bermerah- marun sajalah air muka si ibu-ibu itu, baru menyadari dengan siapa ia berkoak.

Keadaan Wak Anang makin parah. Makan, minum, mandi, dan apa-apa yang menjadi keseharian orang-orang yang tak ditujuh telah hilang dari dirinya. Seakan-akan menunggu hari saja Wak Anang menyerahkan sebatang badannya pada tanah liat yang terliang di kompleks pekuburan.

Banyak yang menyarankan agar Wak Anang menghentikan perangnya dengan si tukang tujuh misterius itu. Tetapi, tiadalah dianggap usulan itu. Atau mungkin, Wak Anang memang tidak sedang berperang, tetapi sedang meregang-regang. Ia sudah patah arang, kalah perang!

u

"Di, enak ya kalau tahun baru terus."

"Iya, Mus. Kita bisa main kembang api-kembang apian terus!"

"Nanti kalau tahun baru lagi, aku mau beli seperti punyanya Ali."

"Punya Ali?"

"Seperti Apa, Yo?"

"Bisa terbang jauh."

"Ah masak?"

"Iya, punyanya Ali bukan mercon biasa. Katanya, belinya mahal."

"Trus?"

"Waktu itu terbangnya lewat rumah Mang Malin, Bi Jalim. Mmm... Masjid Al Falaq juga lewat!"

"Trus berhentinya di mana?"

"Wah lupa. Pokoknya jauh. O..ya, Warung Mang Sa'im juga lewat...."

Anak-anak seusia SD yang bercengkerama di kebun pisang dekat pesantrennya Ustaz Hasan itu tiba-tiba berkeriapan bubar. Orangtua mereka sudah memanggil-manggil. Sudah Magrib. Mungkin saja, malam nanti tujuh terbang lagi. ***

Lubuklinggau,

24 April-September 2009

1 Santet yang populer di Lubuklinggau dan sekitarnya.

2 Satu-dua-tiga-empat-lima-enam- tujuh yang diucapkan dalam logat Col-

salah satu bahasa daerah Lubuklinggau-dengan tergesa-gesa.

3 Hebat, sakti, atau semacamnya.

4 Baru

5 hajatan

6 Racun yang dikirim lewat angin-disebar dalam persedekahan/hajatan.

7 Pacarnya -cewek bukan hanya berafiliasi pada teman perempuan,

tapi juga teman laki-laki (khusus)