Dilarang Meminang Gadis Berkereta Unta
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Merdeka 09/27/2009
BAHU Romli naik-turun bersamaan dengan napasnya yang megap-megap menahan buncah, mencoba meredam marah yang sangat. Bila tak menenggang bahwa malam itu ranjang pengantinnya digelar di sebuah kamar kediaman mertua, sudah sedari tadi ia mengusir Siti: perempuan yang baru pagi tadi menjadi halal baginya. Halal? Ai, tak ada gunanya itu, bila bunga yang baru dipetik, bentuknya saja yang serupa mawar, tapi baunya lebih jadah dari tahi ayam!
Masih tanpa sehelai kainpun yang membalut badannya, Romli membuka almari, mengambil selipatan kaus oblong dan sepan; celana panjang. Memakainya terburu-buru. Menutup kembali tempat pakaian itu dengan tenaga beberapa kali lipat dari biasanya. Lagi, ia menatap tajam Siti yang mencangkung di sudut ranjang. Perempuan itu menangis dengan sedu-sedan yang diredam. Kedua tangannya memegang kain songket dengan gerakan menutup dada. Adakah laki-laki itu mau menerima penjelasan bahwa sesungguhnya dirinya masih suci? Jangankan seranjang dengan lanang lain, sebelum malam itu, berlinjangan—berpacaran—pun ia tak pernah. Demi Allah! Demi Rasul!
Siti sudah membayangkan: setelah malam itu, hari-harinya akan buras. Esok, orang-orang kampung pasti telah mencium semuanya. Bukan menanam prasangka bahwa Romli akan mengumbar aibnya, tapi… bila alam dapat meletuskan kalam, langit dan bumipun membela laki-laki itu: Memang sakit hati suami kau tu…. Tapi bolehkah dibuat perbandingan tentang siapa yang lebih jatuh ke jurang dengan malu yang tak tepermanai oleh takdir? (0h, Siti tak marah dengan Tuhan, tapi apa kiranya istilah yang layak menyimpul keperihan itu?).
PRAAAK!
Bak almari tadi, pintu kamar juga ditutup dengan tenaga lebih dan serampangan. Siti bersegera menuju daun pintu yang berderit. Menutupnya segera dengan palang ruyung. Tak ada jua maksudnya untuk berteriak agar laki-laki itu jangan pergi jauh, jangan pergi lama, jangan menjadikannya janda kilat. Tak ada perempuan yang sudi menjadi istri dalam sehari saja. Tak ada istri yang sanggup makan talak sebanyak tiga kali setelah meneguk ijab kabul satu hari sebelumnya. Tak ada dalam sejarah. Tak terukir di dalam adat. Tapi… Siti tampaknya akan membuat itu. Paling tidak, itu yang berpusingan di kepalanya. Oh, hancurnya perasaan. Buruknya nasib.
Bahkan, bercerita pada Bi Salma dan Mang Sadi saja ia tak ada daya. Walaupun ia sudah dianggap layaknya putri sendiri, namun laki-laki yang suci pasti muntab dengan apa yang didapatnya. Sesiapa yang bertegak pada keadaan Romli pasti jua menyalahkan dirinya. Dan kemestian itu jua berlaku pada dua orang yang membesarkan dan mengawinkannya pagi tadi itu. Mereka tak akan menyalahkan mempelai pria. Oh, mengapa Tuhan tak menurunkan tanda untuk mengetahui kesucian laki-laki sebagaimana perempuan memiliki gendang-kacang di antara kedua pangkal pahanya? Adakah tanya—yang takkan pernah terjawab—itu hanya sebuah pelarian dari ketakterimaan Siti sebagai perempuan yang menjadi korban sebuah ketaklaziman—yang ia sendiri tak memahaminya?
Memang, tiada penting itu digesah, tapi… Siti masih sebenar gadis, perawan ting-ting. Hanya Tuhan yang dapat menjelaskan bagaimana nasib kelam itu turun padanya, bagaimana gendang itu pecah!!!
***
ADAT dicipta untuk membuat rupa-rupa tingkah, kerja, dan kata-kata menjadi legenda. Adat melahirkan dan menjadikan semua. Jangan menyapu ketika malam memeluk bumi, tak elok, berkurang rezekimu. Ai, adakah malaikat banyak berderma ketika matahari sudah terlelap? Bersiap-siaplah—dengan selayaknya—karena akan ada orang yang bertandang, itu yang dikatakan Wak Sambit suatu waktu, ketika kebetulan ia melihat seekor kupu-kupu tengah menari-nari masuk ke rumah kami. Bukankah dikau sendirilah tamu itu, Wak?
Siti juga masih ingat, ketika usianya belum sama dengan jumlah jari tangan, bersama teman sebayanya (hanya Romli, anak Haji Asep, yang sudah SMP saat itu), ia berlomba-lomba membetet cicak demi mengumpulkan mereka sebanyak-banyaknya. Ini malam Jumat. Berkumpulah di beranda siapalah. Siapkan karet gelang yang masih kuat. Kalian dapat amal banyak nantinya lewat kadal langit-langit itu. Waktu itu Siti baru tahu tahu kalau cicak adalah hewan mulia yang mesti bernasib malang di malam ia biasa mengaji.
Dan… ternyata semua hanya sebagian kecil dari umbul-umbul adat. Ya, Siti tak pernah duduk di depan pintu rumah karena takut jadi gadis tua. Siti tak pernah keluar magrib karena Hantu Wewe—yang tak pernah ia lihat—sudah menanti di pohon belimbing di sisi kanan kandang rumahnya. Siti selalu mengibaskan kain ke kasurnya karena tak ingin dipeluk hantu ketika tidur. Siti tak pernah menyisir rambut di luar rumah karena takut dipinang duda atau lelaki yang sudah beristri tiga. Siti memercayainya. Semuanya. Namun empat tahun yang lalu, ketika ia harus memamah kenyataan sebagai yatim-piatu, larangan seakan dicipta untuk dirinya.
Tak elok anak gadis bersepeda!
Dan Siti merasa bukan saatnya lagi bunga bibir orang yang mengatur hidupnya. Ia tak sedikitpun menggubris hal itu. Bukan perkara ia menemui jawaban yang berbeda-beda dari orang-orang kampungnya atas pamali itu. Tapi… banyak hal yang membuatnya harus menutup telinga.
***
SITI lahir di Batu Urip, salah satu kelurahan di Lubuklinggau. Di usianya yang ke-10, ia sudah ditinggal-mati orang tuanya dalam sebuah tabrakan sepur—kereta api—di Muara Enim. Sejak itu pula ia diboyong keluarga teman lama bapaknya ke Binjai. Ya, hingga kini, ia tinggal di pedalaman Muara Kelingi itu. Membantu Bi Salma dan Mang Sadi nakuk—menyadap karet—di sebuah rimba. Tapi, Siti lebih banyak di rumah kayu (ia tidak menyebutnya “pondok”). Mengurus rumah; menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam mereka; kadang juga masak pempek taghuk—daun—ubi; dan tentu saja bersekolah.
Sekitar enam kilometer jarak rimba dengan sekolahnya. Itu belum termasuk jarak yang harus ditempuhnya agar keluar dari rimba. Oleh karena itu, Siti merasa sangat beruntung ketika mengetahui Mang Sadi memiliki sepeda. Walaupun dengan berat hati, laki-laki itu membolehkannya juga. Siti pun menunggangnya saban hari ke sekolah. Orang kampung biasa menyebut kendaraan roda dua itu kereta unta. Tinggi tempat duduknya hampir setara pinggang orang dewasa, kulit dudukannya mengkilap dan licin, stangnya sangat lengkung, rodanya sebundar lubang derum, ciri khas kehadirannya yaitu, kring-kringnya yang sangat nyaring berdengking. Ya, sejak kelas enam SD hingga menamatkan SMP, Siti menunggang unta besi itu.
Pamali itu?
”Sebenarnya tak elok, Nak. Tapi… dengan apa lagi kau bisa bersekolah kalau tidak menunggangnya,” ujar Bi Salma suatu hari. Nah, bagaimana gadis itu dapat menanggapi gunjingan orang-orang, bila perempuan—yang sudah dianggapnya orang tua—itu saja tak melarangnya. Lagipula, adakah orang-orang kampung akan bersedia memindahkan SMP ke tanah lapang dekat rimba karet-nya? Begitulah. Akhirnya bibir orang kampung pun capai juga. Dan… semuanya berlaku dan berlalu dari waktu ke waktu.
Sampai suatu hari, Bi Salma dan Mang Sadi mengajak Siti berbicara khidmat di beranda rumah kayu. Siti terdiam. Pikirannya berlayar pada keinginan masa kecilnya: Jadi Bu Guru! Sejak Bu Mayang, gurunya di kelas dua SD dulu, memperkenalkan padanya sebuah kata yang langsung menyetrumnya: cita-cita, Siti seakan tersadar bahwa ada mimpi yang lebih harum daripada bunga tidur. Cita-citanya itu seringkali ia utarakan pada orang tuanya sepulang sekolah. Siti harus sekolah yang rajin, yang tinggi, lalu masuk PGSD, begitu kata ibunya, sebelum bapaknya meraih tubuh mungilnya, menggendongnya, dan mengungkapkan bangganya ia pada gadis kecil itu.
Tapi… itu masa lalu, kenangan yang sudah dirampas oleh waktu. Waktu jua yang membawanya harus menjadi gadis yang tahu diri. Bahkan sebagai keluarga yang tak bersanak di Linggau saat itu, ia sangat beruntung dibesarkan dengan penuh kasih-sayang oleh Bi Salma dan Mang Sadi. Maka, cita-cita itu diremasnya hingga remuk, dan melemparkannya ke keranjang sampah yang ia sendiri lupa di mana tempatnya.
“Bagaimana, Nak?”
Siti mengangguk. Gadis itu maklum bila Bi Salma terkesan setengah memaksanya. Ya, ia sadar telah memberatkan ‘orang tuanya’ itu. Lagipula, bila pun ia lebih memilih bersekolah daripada menikah, apakah sanggup pasangan tak berketurunan itu membiayai SMA-nya nanti?
Siti kibaskan semua resahnya. Ia harus mencari pelarian pikiran untuk memerahmudakan semuanya. Romli, ya Romli. Sungguh, tak ia sangka bila kawannya membetet cicak itu menanam rasa padanya, sampai-sampai ia merasa perlu menyusulnya ke Binjai. Oh, Tuhan memang pandai menyusun teka-teki. Siti larut dalam ketakjuban pada ketentuan yang dihadiahkan padanya itu. Ia tak terlalu menyimak Mang Sadi yang bercerita macam-macam: perihal Bi Salma yang seumuran dengan dirinya ketika dipinang dulu; perihal Romli yang akan mengambil kuliah di Kairo, dan… pemuda itu baru dipersilahkan Kiai Asep untuk ke sana bila sudah menikah.
Ah, tak peduli Siti pada itu semua. Mendengar nada dan gaya bercerita Mang Sadi saja ia sudah tahu kalau lelaki itu begitu bangga dengan pinangan Romli. Bi Salma pun diyakini Siti setali tiga uang saja. Mungkin, ini saatnya pula bagi Siti menghidangkan madu pada mereka, setelah sekian lama ia selalu disuapi susu….
“Tentu saja, anak orang alim itu akan memilih istri yang baik. Dan itu kau, Siti.” Mang Sadi memberi tekanan lebih pada kalimat terakhir ini hingga membuat Siti sedikit jumawa. “Tak usah kau pikirkan perihal pandangan orang tuanya. Mereka orang yang baik. Bahkan minggu depan mereka akan ke sini langsung meminangmu. Hanya satu pinta kami, ijab-kabul kalian mesti terselenggara di Binjai, Nak. Biar orang-orang tahu kalau anak gadis ambikkan kami bertuah, dapat dibanggakan….”
Siti tersenyum.
“Sekalianlah malam pertama kalian di rumah panggung sanak kita di kampung ujung…” lanjut Mang Sadi.
Wajah Siti berona-rona. Malu.
“Cukup luas, Nak,” sambung Bi Salma.
“Ya, setelah itu pergilah kalian ke Linggau, ke Mesir sana…. Ai, bangganya kami, Nak.” Mang Sadi menerawang . Air mukanya cerah.
“Jadi…” kata Bik Salma.“Tak usah kau ber…kereta….”
Wajah Mang Sadi tiba-tiba tegang. Tatapannya tajam pada Bi Salma, seakan-akan wanita itu baru saja mengutarakan sebuah kekeliruan (sebenarnya telah melakukan kekeliruan: kekeliruan yang besar selama empat tahun gadis itu bersama mereka!!!).
Dua laki-bini itu bergegas ke dalam. Dan… perang pun menyala di situ. Mereka saling menyalahkan sekaligus menakutkan terjadinya hal-hal yang dikhawatirkan. Ohhh... pamali itu? Siti tak berani mendekat, bahkan menguping sedikitpun. Tapi… mereka terlampau keras suaranya. Walau tak begitu jelas kalimat yang mereka lontarkan, tapi beberapa kata yang sayup-sayup terdengar, membuat Siti bergidik. Malam pertama, kereta unta, gendang, pecah, darah, perawan….
***
SUBUH masih basah. Embun baru saja menyingkir dari pucuk-pucuk karet. Tapi penduduk kampung sudah mengerumuni rumah panggung itu. Bukan, bukan beberapa mobil mewah Haji Asep beserta rombongannya yang mereka kerubungi. Tapi… perihal gadis berkereta-untalah yang menyeret mereka ke sana. Selanjutnya, mulut-mulut mereka mulai bekerja. Melumat kebanggaan Bi Salma dan Mang Sadi yang belum genap berusia satu hari.
“Pak Sadi, kami malu. Malu sekali. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kami tak akan memanjangkan tali kelambu. Sesegera mungkin akan kami urus ke KUA. Bila perlu dalam hitungan hari saja surat cerai akan dikeluarkan.” Haji Asep berusaha meredam emosinya.
“Romli…!!!” Hajjah Mala memanggil anaknya. “Sudah kau talak si Siti?!”
Maka bergegaslah Romli menaiki jenjang, menuju kamar pengantin itu. Secepat kilat ia kembali. (Oooh, terbayangkah bagaimana bila engkau yang menjadi gadis pucat bermata sembab di kamar itu?). Lalu Romli segera masuk ke mobil. Diikuti kedua orangtuanya dan serombongan sanak keluarga yang lain.
Kendaraan-kendaraan mewah itu menderu menerbangkan embun-embun debu. Mereka ke Binjai cuma mengantarkan orang-orang kampung seikat bahan gunjingan baru, untuk mereka lalap di kedai, meja makan, anak jenjang, jamban anak Musi, dan rimba-rimba karet. Tak ada yang peduli pada gadis yatim-piatu di dalam rumah pengantin itu. Sambil mengulum senyum, mereka hanya menonton Bi Salma yang menenangkan suaminya yang membanting-banting unta besi di halaman rumah panggung. ***
/Lubuklinggau, 12 April 2009