Abu-abu

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Berita Pagi 11/10/2009



Aku hampir melonjak kegirangan ketika kubaca pikiranmu: Kau akan ke Bukit Sulap! Bersama beberapa rekan laki-lakimu yang lain, kau akan memulai pendakian pada subuh Minggu. Aku bertepuk sangat keras ketika mereka menyarankan agar kalian mengajak beberapa teman wanita. Mataku berbinar.

Aku ingat sekali, kau sedikit ragu memutuskan. Tahi kucing kering! Memangnya siapa dirimu sehingga pendapatmu harus didengar dan dijadikan pegangan untuk rencana pendakian itu!
Aku beralih ke rekan-rekanmu. Mereka sedang merencanakan sesuatu. Gerakan sebelah mata mereka yang saling berkedip, cukuplah membuatku merasa memiliki koloni. Setidaknya sampai kau benar-benar terjerembab.

Rekan-rekanmu menyeringai ketika kau mengkhawatirkan beberapa hal: keselamatan beberapa teman wanita itu, dan peluang terjadinya sesuatu yang kausebut zina lebih terbuka.... Dan memang bodoh teman-temanmu itu. Mereka justru berkoar kalau Isabel, Ratih dan Maria adalah para pemenang Dehe Silampari baru-baru ini.

Tak penting bagimu kontes putri-putrian kabupaten itu! Justru itu akan menguatkan kecenderunganmu untuk mengiyakan usulan mereka. Dasar,koloni bodoh!

Aku dapat melihat dengan jelas bagaimana kau mengernyitkan dahi. Sebuah pengantar penolakan baru dimulai. Aku juga melihat beberapa rekanmu menggaruk kepala mereka yang tidak gatal; seolah mereka baru saja melakukan kekeliruan yang tidak penting. Dan itu benar!

Dengan senyum tipis kau menggeleng. Rekan-rekanmu bersitatap. Kambing-kambing congek, kalian! Koloni bengak! Percuma. Ludah sudah muncrat. Aku paham benar bagaimana kau bertabiat. Kau takkan meralat sebuah ucapan, keputusan, atau tindakan, apabila itu benar adanya. Yang subhat—meragukan—saja kautinggalkan, apalagi usulan gila dari rekan-rekanmu yang buta agama itu. Selesailah semua.

Karena merasa tak dihargai atas keputusanmu, maka rekan-rekanmu memutuskan tak ikut denganmu. Kau pun paham bahwa kau tak ada kawan mendaki. Dan... inilah yang membuatku salut sekaligus membencimu. Kau bersikap biasa saja. Bahkan masih sempat merangkul mereka erat. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Ingat, Tuhan Maha Melihat,pesanmu. Hueekh!!!

Kau membatalkan rencana pendakianmu. Kau hanya berencana untuk maraton ke lereng bukit itu. Memapas jalan kecil sedikit mendaki yang beraspal-koral, dan berhenti di depan pagar kawat tower sebuah jaringan komunikasi. Di sanalah tempat tertinggi yang bisa dilalui sepeda motor, mobil, atau mereka yang maraton di pagi yang berkabut.

Kau juga berencana akan pulang dengan mengambil jalan lain. Kau akan menuruni sebuah tebing kecil di dekat lereng. Kau akan bertamasya ke kuburan-kuburan mewah, lalu berteriak di atas hamparan porselen mahal kuburan Cina yang paling besar. Di sana, kau biasanya kerap membayangkan bahwa tempat peristirahatan (ah, apakah benar kuburan tempat beristirahat?!) bak komplek perumahan mewah di negeri ini. Mengelompok dan tak peduli satu sama lain.

Setelah melompat dari satu kuburan Cina ke kuburan Cina lainnya, kau akan turun ke sebuah jalan kecil. Kau akan berjalan kaki saja; menikmati angin yang bermain-main dengan pepohonan di kiri-kanan jalan. Kau suka kerindangan. Kau suka memandang lama-lama pada pohon yang berkanopi rapat. Kau membayangkan, bila hujan lebat pun, kau dapat leluasa berpayung di bawahnya. Dan keadaan itu memang masih bisa kaurasai bila telah memasuki jalan keluar dari komplek kuburan Cina itu.

***

Entah bagaimana, tiba-tiba kau membatalkan rencana maraton ke lereng Bukit Sulap. Oh, adakah koloni lain yang berhasil meniupkan suara-suara itu ke pikiranmu? Kukibaskan dugaan. Maka, kudukung saja rencanamu. Terlebih setelah kutahu bahwa kau akan membakar lemak di alun-alun kota Lubuklinggau: Lapangan Merdeka.

Setelah solat Subuh di Masjid Baitul Amin, kau melepas sarung dan koko, lalu setengah tergesa menggantinya dengan trening dan kaus oblong agak ngepas di badan. O o, bidang dada dan enam kotak kecil di bagian perutmu, tiba-tiba membuatku membayangkan sesuatu. Sesuatu yang sangat aku.

Maka, kubisikkan ke telingamu agar mengganti trening dengan celana pendek sebatas lutut (karena aku tahu kau tak ingin memakai yang di atas lutut. Aurat, dalihmu suatu waktu). Kau menurutiku. Kalis! Aku melonjak kegirangan.

Tampaklah betis kokohmu—yang ditumbuhi rambut-rambut halus—yang akan membuat kaum Hawa meneguk liur. Aku tak berlebihan mengutarakan ini. Semua bukan hanya didasarkan pada otot betismu itu, tapi juga dadamu yang bidang, perutmu yang berlekuk, rahang kerasmu yang belum sempat kaucukur bulu-bulu halusnya, otot lenganmu yang menyembul dari balik tangan baju ketika kau melipat siku, bibir merah basahmu yang penuh, hidung bangir, bulu mata yang agak mencuat, dan tentu, kerupawanan wajah flamboyanmu. Lengkap!

Seperti yang telah kubayangkan. Beberapa gadis yang duduk di tepi alun-alun, dekat jalan yang dilalui orang-orang yang maraton di Lapangan Merdeka, beberapa kali menggodamu. Seperti biasa, kau tak termakan.

Seorang gadis yang memberanikan diri menjejer larimu, juga tak kau gubris. Ketika gadis itu mulai emosi, kau segera tersenyum; meminta maaf seraya melepaskan earphone. Maaf, saya keasyikan mendengarkan musik, katamu. Padahal aku benar-benar tahu, kau tak suka musik. Aku pun tahu, kalau earphone—yang tersambung ke handphone—itu hanya untuk mengetahui apakah ada pesan masuk, atau panggilan yang bisa kaujawab tanpa harus menghentikan lari-pagimu. Kau sangat cerdik!

Gadis itu tak jadi menyemburkan kemarahan. Dia melunak bukan karena alasanmu mengabaikannya dapat diterima, tapi lengkungan-bibirmu itulah musababnya. Walaupun kau tiada bermaksud melepas panah-amor dengan gerakan bibir itu, tapi adalah bohong bila kau tak menyadari kelebihanmu itu.
O o, apakah benar yang kulihat?

Kau ragu-ragu menyambut uluran tangan gadis itu. Kalian menyebutkan nama masing-masing. Tak kupungkiri, gadis itu memang cantik. Kulit hitam-eksotik, rambut sebahu, lesung pipit yang melubangi kedua pipi, dan tinggi badan yang hanya kurang lima sentimeter darimu. Molek, itulah istilah umum untuk menggambarkan dirinya.

Kalian tampaknya berjodoh (Tentu bukan untuk menjadi pasangan halal). Kalian meyusun rencana untuk esok hari. Ke Air Terjun Temam, itu yang sayup-sayup kudengar tadi.

***

Rupanya pesona gadis itu telah membuatmu lupa bahwa saban Senin kau harus mengikuti kajian keislaman di rumah seorang teman; bersama rekan-rekannya yang lain, tanpa kausadari, mereka berencana mengajakmu aktif di partai Islam yang mereka giati. Aku benci mereka yang sebagian besar berjanggut tipis itu! Lagak mereka itu, agamis-simbolik sekali; mengantongi Al Qur’an mungil ke mana-mana, dan acapkali menyebut nama Tuhan kalau terkejut oleh berita yang menurutku biasa-biasa saja. Berlebihan. Semoga mereka tak berhasil membujukmu....

Kau mengeluarkan mobil dari garasi. Ternyata gadis itu anak orang ber-uang. Untunglah kau sudah bisa menyetir. Kukatakan padamu: sebelum ke Air Terjun Temam, ajaklah dia makan di tempat makan-lesehan yang paling terkenal di kota ini: Pondok Hijau, setelah itu... selamat berleha-leha! hahahaha....

***

Bodohnya kau; tak tahu kalau semuanya telah kuembuskan. Pasti kau menganggap dompetnya yang jatuh di dekat sabuk-pengamanmu adalah sebuah kebetulan. Gadis itu mengambilnya dengan gerakan sedikit manja. Dan... ups! Mungkin kau juga menganggap seekor ayam yang ragu-ragu menyebrang di jalanan lurus Merasi juga sebuah kebetulan.

DRIIIIIT!!!

Kau mengerem mendadak. Engkau pun bingung, bagaimana bisa gadis itu tak mengenakan sabuk pengamannya lagi. Maka, seakan salah satu scene sinetron remaja diputar-ulang, gadis itu terjerembab di dadamu yang bidang. Dompetnya? Ah, tak penting lagi itu! Kalian bersitatap. Dalam sekali. Kau mungkin juga heran mengapa tiba-tiba wajah gadis itu sangat merona dan mengundang selera... Yaaa, tak mungkin aku meminta izin padamu untuk mendandaninya dengan tiupanku, bukan? Wajah kalian hanya berjarak kurang dari 10 senti. Aku ingin tertawa ketika melihat keringat dingin mengucur dari keningmu. Kau rasailah sekali-kali nikmatnya dunia, mumpung masih muda...!

Tin! Tin! TIiiiiinnn!

Kurang ajar! Bagaimana beberapa mobil itu sudah mengantri di belakang. Memangnya tak bisa mengambil langsung menyalib. Dasar! Tak bisa melihat orang melepas gairah!!!

Kau menyebut nama Tuhanmu. Gadis itu kembali ke tempat duduknya seraya menggigit bibir yang baru saja melepas mangsa. Tapi... aku tak putus asa. Gadis itu bilang ia hilang nafsu makan. Ia tak berniat ke Pondok Hijau yang masuk dalam agenda perjalanan kalian.

Ke Temam! Itulah yang diiginkannya. Kau tak bisa menolak. Entah bagaimana bisa, itu memang tak penting bagiku. Yang kutahu adalah, wanita memang sekutu yang paling dapat diandalkan! hahaha...!

***

AKU benci, kau!
Kau selalu menolak difoto dengan HP canggih gadis itu. Kali ini, ”licik” adalah julukan yang pas kusematkan padamu. Kau tak ingin teman-temanmu tahu kalau kau sudah sedemikian dekat dengan seorang gadis yang bukan muhrimmu, bukan? Kau lupa bahwa sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga. Aku percaya pepatah itu. Sangat percaya.

Kalian makin dekat saja. Walaupun orang bilang kalian salah hari: ke tempat wisata hari Senin! Namun, menurutku, justru ini waktu yang tepat. Orang-orang yang tepat. Perasaan yang tepat. Momentum yang tepat.

Selesai parkir, kalian masuk ke gerbang kecil tanpa menampakkan kemesraan—walaupun orang-orang yang melihat dari kejauhan berbisik-lirih: pasangan yang serasi.

Kalian menyusuri jalanan kecil yang disemen sekenanya. Kiri-kanan jalan ditumbuhi pepohonan yang—jangankan aku—kalian (saja) tak tahu namanya. Gadis itu mengajakmu berehat sejenak di sebuah pondokan yang sepi. Kau menurut saja. Kau tak melihat bagaimana gadis itu diam-diam memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada seorang pedagang asongan di dekat sana; tak lama, anak yang membawa aneka minuman dan makanan ringan itu pun raib di balik semak salak. Kau tak tahu kalau ia memerhatikan kalian sebagaimana aku menanti-nantikan bagian yang paling mendebarkan itu.

Kalian bercanda sangat intim. Kau sudah berani menangkap tangannya yang sesekali memukulmu dengan manja. Setiap kali jemari kalian bertangkup, gadis itu meremas tanganmu seolah menyalakan api yang sudah lama padam. Dan kau menyambutnya. La la la... kau sudah masuk istana-buatanku. Aku tinggal menyiapkan palang besi untuk menutup pintu agar kau tak lari-lari.

Kalian mulai merasa haus. Kau bermaksud memanggil pedagang asongan tadi untuk membeli satu-dua botol soft-drink, tapi... gadis itu sudah berubah menjadi singa. Ia mengajakmu turun mendekati air terjun. Dalihnya: ingin merasakan bagaimana air Sungai Temam berselancar di kerongkongan. Kau tak berkutik. Saling berpapah-papahanlah kalian menuruni jenjang yang memang agak licin itu. Beberapa kali ia memelukmu karena hampir terpeleset, dan tanpa kausadari, saat itu ia melepas kancing teratas dari kemeja putih polosmu. O o, kutangkap jelas ekspresi nakal gadis itu melihat bidang dadamu yang menggairahkan itu. Kau tahu, dari pertengahan anak jenjang, gadis itu sudah berimajinasi macam-macam. Kau tak menyadarinya. Dalam hal ini, kau cukup polos rupanya.
Kalian asyik bermain siram-siraman di dekat batu kali yang menyerak di tepian air terjun. Seperti biasa, sesekali gadis itu berteriak manja karena siramanmu menghalangi penglihatannya. Kau pun berhenti sejenak sebelum kembali larut dalam kesenangan di siang yang mulai tinggi itu.
Gadis itu kedinginan. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada. Kau beriba. Kau lihat sekelilingmu. Beberapa pasangan yang tadi ada di sana sudah menaiki jenjang. Tinggal kalian berdua lagi.
Apa yang kau tunggu, anak muda?! Apa yang kau tunggu, gadis sekutuku?!
Kau ajak ia duduk di pojok dekat air terjun. Gadis itu menurut saja. Tentulah hatinya bersorai. Sudah beberapa kali ia berpagutan dengan pemuda yang berbeda-beda di sana; tempat yang tersembunyi dari cahaya dan pandangan sesiapa.

Gadis itu meminta kau menghangatkannya. Kau pegang tangannya. Gadis itu meremas tanganmu. Kau membalasnya. Gadis itu memberi isyarat ingin lebih. Kau tak menangkapnya. Maka, bersama angin siang yang berdesauan di balik ranting-ranting pohon kelor; gemuruh air terjun yang bersiap melumat desahan; burung pipit yang bermain terbang-terbangan; kau diam saja ketika bibir basahnya yang setengah-direkahkan perlahan mendekati wajahmu. Kau masih mematung, walau jantungmu berdegup lebih kencang. Terlebih ketika kaubiarkan saja semua kancing kemejamu tak berkait lagi, kulit telapak tangannya yang halus seakan memberikan sengatan listrik pada dadamu yang bidang. Kini, kedua tangan itu sudah melingkari lehermu. Lagi, keringatmu menyeruak berbulir-bulir.
Hanya tinggal sejengkal lagi gadis itu akan memagut bibir-merahmu.... O o, kau dengan serta-merta menyebut nama Tuhan.

Puiiiih! Sejak kapan azan dapat memilih waktu untuk berkumandang!!!
Wajahmu merah kepiting laut. Segera kaukancingkan kemeja dan mengipaskan beberapa kerutannya. Kau meminta maaf pada gadis itu atas kelancanganmu. Huhh!! Gadis itulah yang memulainya, mengapa kau yang meminta maaf?! Tolol-botol!!!

Kalian tak bercakap lagi. Di jenjang, kau hanya memapah sewajarnya. Di mobil, kau hanya mendengarkan gadis itu yang mengatakan kau cemen, banci, dan kata-kata yang merendahkan lainnya. Kau diam saja. Kau menyetir dengan tangan yang menggigil. Bukan karena kedinginan, tapi oleh rasa berdosa yang membuncah. Kau sangat membenciku saat ini. Yang ada di pikiranmu adalah sampai di rumah segera; menunaikan Zuhur dan memohon ampun pada Tuhanmu. Kau benar-benar menyesal.

Sesalmu juga belum luruh ketika gadis itu berteriak histeris. Truk yang ada di depan kalian mengerem mendadak, dan... kau tak tahu apa yang harus dilakukan dengan sesegera, bahkan untuk menginjak pedal rem sekalipun.

Aku pergi sekarang. Sudah cukup aku menemanimu. Mulai detik ini, kau bukan lagi urusanku. Setelah Israil mengunjungimu, biarlah Raqib dan Atit bermusyawarah dulu untuk menempatkanmu di mana. Tapi menurutku, tak mungkin apa-apa yang telah kaulakukan sepanjang hari ini akan diputihkan begitu saja.... ***

/Lubuklinggau, 24 April 2009