Hari Matinya Ketib Isa

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Koran Tempo 18/10/2009


Ketib Isa meninggal dunia pukul enam pagi ini. Pada pukul tujuhnya, ruangan dalam rumah sudah lapang. Kursi dan meja yang selama ini tertata sedemikian rupa di ruang tengah dan ruang tamu, kini telah bertebaran di luar. Tempat duduk dan tatakan benda itu berjajar sembarangan di beranda yang hanya 2x5 meter, di tanah sempit nan gersang yang dipaksa disebut pekarangan, hingga di sepetak tanah belakang rumah. Tentu saja bapak-bapak dengan kopiah hitam lusuh telah menjatuhkan pantatnya di sana. Atau ibu-ibu yang berkerudung mendadak telah membebankan puluhan kilogram tubuh di atasnya. Juga, di atas meja-meja telah meliuk asap-asap halus kopi dari gelas-gelas berwarna coklat bening. Para pelayat yang berdatangan—khususnya bapak-bapak dan bujang tanggung—akan menyeruput larutan hitam itu sebelum mencangking rokok (dan menyalakannya) yang telah disiapkan ahli musibah dalam cangkir melamin setinggi telunjuk.

Berbeda halnya dengan kaum laki-laki, sebagian besar ibu-ibu berada di dalam rumah, di dapur, dan di halaman belakang. Ya, setelah membuka kain kafan sebatas leher mayit dan menutupkannya kembali, mereka biasanya bertanya sekenanya perihal asma akut yang sudah lama diderita penghulu kampung itu, pukul berapa meninggalnya, perilaku tak biasa yang dilakukan menjelang hari-hari terakhirnya, atau permintaan aneh apa yang sempat Ketib Isa utarakan pada hari meninggalnya. Kemudian, ibu-ibu itu merapat ke Mak Zahar dan berwasiat ikhlas dalam melepas kepergian penghulu kampung itu. Ba’da itu, mereka naikkan lagi kerudung yang sedikit melorot, lalu dengan setengah bergumam melafal Al-Fatiha, membuka Yaasin dan melagukannya dengan lirih, sayup-sayup, dan sangat mendayu-dayu. Ai, adakah sampai do’a itu kepada yang baru saja digandeng Israil?

Pelayat makin banyak yang berdatangan—walaupun tak sedikit pula yang pulang. Ketika pagi sudah agak meninggi, bergemerincahlah rumah itu. Karung goni di dapur hampir penuh oleh beras dari bokor—baskom kecil--ibu-ibu yang datang. Bokor seng berukuran sedang dengan motif bintik-bintik putih-hijau pun sudah merunju—penuh—oleh uang belasungkawa sukarela. Di belakang, empat tangkai nangka muda dibelah, dipotong kotak-kotak. Air dalam dua buah ember besar telah disiapkan untuk membersihkan getah-getahnya. Di pojok kanan, dekatkandang, pagar bambu yang bersisian dengan batang pisang yang sekarat, pantat belanga sedari tadi dipagut api. Mulut belanga tengah menguapkan hawa panas. Minyak bergemerutupan.

“Laila, mana balur tadi?!”

Sreeengg!

Minyak panas memercik-mercik. Menari-narilah aroma khas ikan asin, menusuk penciuman hingga ke dalam rumah, melangkahi mayit, berbelok ke beranda, dan mampir di bulu-bulu hidung sesiapa.
Ya, sebentar lagi mayit akan dimandikan. Orang-orang yang melayat: para tetangga, pemuka masyarakat, pejabat yang menyelipkan amplop—tentu dengan ketebalan yang tidak sama—pada Mak Zahar, apalagi ustadz yang siap memandu pembersihan raga suaminya, mestilah ditanggapi sebagaimana orang-orang dahulu menyuguhi. Makanlah barang sepiring. Seperti halnya di rumah orang mati kebanyakan, hanya nasi panas dengan gulai nangka muda, balurgoreng, sambal asam, dan beberapa kelopak kubis mentah. Walaupun tak ada daging, tapi sebagaimana tuan rumah yang berterimakasih karena telah didatangi, maka seolah wajiblah hidangan itu disantap para pelayat. Dan berkecipakanlah mulut yang membuka-katup oleh hidangan rumah mayit itu. Bersendawalah mereka setelah membiarkan satu-dua gelas teh campa membersihkan tenggorokan.

“Mak, bilik sudah siap, lagipula hari sudah tinggi. Takkah mayit akan segera dimandikan?” suara dari depan.

“Tunggulah sebentar, Dul!” Mak Zahar menyahut setengah berteriak dari dapur. ”Ustadz Sadam baru selesai makan. Belum turun semua nasi-nasinya ke perut. Kausiapkan dulu semuanya. O ya, ceret untuk mandi Wak-mu sudah kausiapkan?”

“Belum, Mak. Sedang dipakai untuk tempat air kopi. O ya, Lurah Midin baru datang, Mak. Dengan istrinya. ”

Mak Zahar mengencangkan gulungan kain di pinggang. Terburu ia melangkahi bokor dan kelapa tua yang berserakan di dapur. Mak Zahar menyambut sepasang laki-bini itu di muka pintu. Seperti biasa, dipasangnyalah air muka kelabu. Mak Zahar sangat berduka, itu yang ada dibenak sesiapa yang melihatnya, tak terkecuali bagi lurah dan istrinya saat itu.

Tak lama setelah melihat mayit Ketib Isa, kedua pelayat itu pamit. Mak Zahar mengantar mereka hingga ke kandang depan.

“Kami minta maaf, Mak. Tak bisa berlama-lama. Sebenarnya baru subuh tadi Midin sampai di Linggau. Rencananya setelah dari tempat Mak ni, Midin nak berehat. Eeeh... barusan ada panggilan mendadak dari Petanang,” ujar Lurah Midin.

“Rapat di rumah Walikota, Mak,” sambung istrinya.

Berpindahlah amplop—yang sedari tadi digenggam Lurah Midin—itu ke tangan Mak Zahar. Tentu saja dengan terlebih dahulu ditingkahi gaya malu-malu dan setengah menolak dari istri Ketib Isa itu.

***

“MAK, Komar dan Zul baru balik!”

Mak Zahar memutar badan. Ubun-ubunnya panas. Gigi-giginya bergemeratakan. Dadanya turun naik. Kembali, dikencangkannya gulungan di pinggang hingga hampir sebatas betis saja kainnya kini.
“Mana Setan itu!”

Orang-orang menyingkir, memberi jalan pada perempuan tua yang sudah miring letak songkoknya. Anak-anak yang sedari tadi sibuk bermain hantu-hantuan di beranda kini sudah membuntuti Mak Zahar. Orang-orang mengerumuni rumah duka.

Mak Zahar sudah di ruang tengah, tempat mayit Ketib Isa dibaringkan. Ia berkacak pinggang dengan mata membelalak pada dua anak bujangnya. Orang-orang kini ramai berdesakan, menantikan adegan yang garis besar ceritanya mereka tahu: Mak Zahar yang muntab akanmenyeracau pada dua preman yang tak jelas juntrungannya itu.

Benarlah dugaan orang-orang itu. Mak Zahar meneriakkan kata yang tak selayaknya pada Komar dan Zul. Ya, tak selayaknya, karena Mak Zahar istrinya Ketib Isa, penghulu yang selalu mengimami solat Magrib dan Isya di masjid kampung.

Namun… bila tak ada mayit suaminya terbujur di situ, sebenarnya sikap Mak Zahar itu wajar-wajar saja. Mak Zahar memang dijuluki perempuan pemarah, tukang ghibah, cerewet, keras kepala, dan tentu saja tukang ngutang mungkin bila utang-utang keluarga mayit pun dapat diputihkan sebagaimana orang-orang biasa menghapuskan beban utang si mayit, Mak Zahar adalah orang yang paling berseri-jemawa saat ini). Untuk perkara yang terakhir ini, bila tak memandang Ketib Isa yang dulu menikahkan mereka (sebagian besar orang asli kampung ber-ijab kabul di hadapan Ketib Isa), sudah lama para pemilik kedai menyita satu-satu perabotan dari dalam rumahnya. Ya, utang Mak Zahar pada Bi Ona 500 ribu, pada Mang Salim 300 ribu, dan beberapa puluh ribu pada orang-orang atau kedai lain.

Bukan perkara Ketib Isa tak mampu menafkahi Mak Zahar dari hasil penjualan karet—yang disadap oleh beberapa orang upahan—yang akhir-akhir ini harganya turun, dan bukan pula sebanyak apa sayur atau bumbu dapur yang dibeli, hingga hutangnya menggunung, tapi… Mak Zahar kerap datang ke kedai hanya untuk meminjam uang dalam jumlah yang tak sedikit—tentu saja tak tahu kapan ia akan mengembalikannya. Mak Zahar juga jarang, bila tak ingin dikatakan “tak pernah”, solat ke masjid. Ada hadisnya bahwa perempuan itu eloknya solat di rumah, dalilnya seolah membela diri. Ya, bak langit dan bumi perbedaan tabiat perempuan itu dengan suaminya. Bagaimana dulunya Mak Zahar sangat beruntung dipersunting Ketib Isa?Orang-orang menjawab tanya itu dengan menganggap kehidupan Ketib Isa seolah cerita keluarga Nabi Luth yang dikisah-ulang.

Satu lagi, kemarahan Mak Zahar saat ini akan dapat disebut sebagai kewajaran, apabila mengingat tingkah kedua anak laki-lakinya yang brutal itu. Brandal, preman, penjahat, copet, pemerkosa, entah apalagi hal buruk yang kerap dijabani Komar dan Zul. Yang terang adalah, mereka berdua kini buron. Ruko elektronik Marwan yang kebobolan Selasa kemarin dipergunjingkan sebagai musababnya. Bagaimana Ketib Isa dapat berketurunan anak-anak serupa itu? Nah, untuk pertanyaan ini, orang-orang menanggapinya dengan menganggap kehidupan Ketib Isa seolah cerita keluarga Nabi Nuh yang dikisah-ulang.

“Keluar kalian dari rumahku ini!” Mak Zahar menarik bahu Komar yang baru saja membuka kafan mayit. “Sudah tahu sesak napas Bak kalian kambuh malam tadi, kusuruh panggil mantri Alim saja kalian tak gubris. Masih lebih penting bagi kalian untuk berkeliaran di luar rumah. Kini, mana uang untuk beli obat di apotik dua hari yang lalu? Tak ada lagi, kan? Sudah kalian habiskan main bola sodok di tempat lonte Marni itu, kan?!” Didorongnya bahu Zul hingga hampir terjerengkang.

Beberapa ibu-ibu mendekati Mak Zahar, mengingatkannya untuk istighfar. Perempuan itu bergeming. Maka, mundur teraturlah ibu-ibu itu. Masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Mak Zahar hampir melukai Bi Yun karena wanita paruh baya itu kedapatan sedang membicarakan keburukannya di hari bemasak(1) kawinannya anak Haji Jamil dua minggu lalu.

“Sekarang, setelah Bak mati, kalian ingin bersedih-sedihan pula. Tak pantas kalian menangis! Apa sudah jadi pemainpilem pula kalian, hah?”

“Mak tu yang tak tahu diri. Istri ketib tapi merepet sembarangan!” Komar naik pitam.
“Omongan Mak tu yang serupa setan!” timpal Zul berapi-api.

Orang-orang diam. Bila pada Mak Zahar saja tak ada yang berani menenangkan, apalagi pada kedua bandit itu. Apalagi di pinggang mereka, terselip pisau bersongkok kulit yang semua orang tahu kerap mereka asah di pandai besi dekat simpang Pasar Bukit Sulap.

“Kalian yang setan!” Mak Zahar memukul sembarang pada Komar dan Zul. “Pergi…! Pergi…!” teriaknya kesetanan.

“Ya setan juga ber-umak Setan!” Komar menunjuk-nunjuk wajah Mak Zahar sebelum mengeruk sejumlah uang dalam bokor di dekat kaki mayit.

Orang-orang terbelalak. Benar-benar tak berotak Iblis-Iblis ini, batin seorang ibu-ibu yang berdiri di dekat bokor. Zul menyeringai, seolah mendukung tindakan adiknya itu.

“Mak, kami pergi. Kami takkan balek!” Komar menunjukkan uang-uang kertas yang digengamnya sembarangan. “Kami ambil ini sekedar untuk ongkos merantau.”

Mak Zahar sudah dipegangi beberapa ibu-ibu. Seperti kebanyakan perempuan yang sedari tadi berteriak tertahan, matanya kini berair.

Komar dan Zul keluar. Orang-orang memberi jalan dengan air muka tak bersahabat. O o, rupanya Mak Zahar masih belum menyerah. Maka, ia membentang bahu, melepaskan tangannya dari cengkraman ibu-ibu yang memintanya mengalah. Mak Zahar menerobos kerumunan. Ketiga beranak itu bersitegangan lagi dekat kandang halaman. Sumpah serapah, teriakan kasar, dan caci-maki, berkoar-bingar lagi. Tapi… itu tak berlangsung lama, karena giliran teriakan dan istighfar dari sebagian besar pelayat kini mengisi udara.

Orang-orang berlarian membopong Mak Zahar, bersamaan dengan derap langkah seribu Komar dan Zul yang tak berpisau di pinggang lagi. Beberapa amplop di tangan dan gulungan kain perempuan itu berserakan di tanah. Tubuhnya perlahan membiru. Dingin. Kaku. Kain lasem salah seorang ibu-ibu yang digunakan untuk menutupi lukanya, tak cukup membantu. Darah segar terus mengucur, berceceran dari luar kandang hingga ke dalam rumah.

Mak Zahar baru saja menyusul Ketib Isa. Dua bilah pisau baru saja dicabut dari dada kirinya. Ustadz Sadam yang sedari tadi diam saja, kini bersuara: meminta orang-orang untuk tenang; menyuruh mereka mengambilkan air dan kain bersih untuk membersihkan darah di dada dan baju kurung Mak Zahar; meminta salah seorang untuk segera ke masjid, mengumumkan berita duka itu….

***

Beberapa saat setelah kematian Mak Zahar diumumkan lewat mikropon soak masjid, azan Zuhur dilagukan agak sedikit sumbang. Di rumah duka, kesibukan makin rincah. Sudah tegak atap-atap seng sewaan di halaman dan tanah kosong seluas dua meter di samping kanan rumah. Asap-asap kopi mengepul lagi. Nangka-nangka muda dipetik lagi. Belanga bergemeretupan. Aroma balur beterbangan.

Kini, bersama istrinya, Ketib Isa masih terbujur di ruang tengah, seolah menanti waktu mandi yang tak kunjung tiba. Orang-orang masih sibuk menyambut pelayat yang datang untuk keduakalinya—bahkan kali ini lebih ramai: mereka menyeruput kopi setengah pahit, menghisap rokok, mengutuk kebejatan Komar dan Zul, membicarakan harga karet yang masih murah, memuji kesalehan Ketib Isa sekaligus mengarang cerita tentang kebaikan yang pernah diperbuat istrinya kepada mereka…. Sementara itu, dengan gelak sengau yang bersahut-sahutan, anak-anak masih asyik bermain air di sana, di bilik mandi mayit. ***

/Lubuklinggau, 09 April 2009

Catatan:
(1) Hari Bemasak yaitu satu hari menjelang pesta pernikahan, di mana orang-orang—sebagian besar ibu-ibu—membantu tuan rumah menyiapkan dan memasak aneka makanan (nasi, gulai, rendang, semur, sayur, lalap, dll.), mencuci dan menyusun piring, dll. Untuk kelancaran pekerjaan dapur tersebut, kaum ibu-ibu biasanya membawa pisau dari rumah ke tempat hajatan.