Dia Mengirim Surat Empat Kali
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Pembaruan 08/11/2009
Surat-surat itu sudah lama ditulis untuk sebuah negeri. Sebenarnya, ada banyak sekali surat yang ditulis. Tapi, dengan semua keterbatasan yang melingkupi penduduknya, hanya empat surat yang diketahui alamat pengirimnya. Mereka tahu bahwa surat-surat (yang tentu saja lebih dari empat) itu pastilah memiliki pengirim. Mereka juga tahu siapa sejatinya si pengirim. Ya, pengirimnya tak lebih dari satu. Alamatnya pun berasal dari negeri yang sama. Tapi, layaknya sebuah kediaman: ada rukun warga, rukun tetangga, jalan, gang, bahkan nomor rumah. Nah, perihal itu, tak banyak yang tahu, kecuali tentang empat surat itu. Inilah alamat-alamat surat-beserta isinya-itu.
1. Kampung Hijr, Rumah Ke- empat dari Sembilan Puluh Sembilan
Surat ini menceritakan bahwa luluhlantaknya kampung-kampung dan kota-kota, atau juga negeri-negeri, sejatinya telah dituliskan jauh-jauh hari. Di sebuah pohon yang hanya si pengirim yang tahu-dan sekehendaknya merajah-rajah di sana.
Ditulislah bagaimana orang- orang yang dihikayatkan, dan bagaimana ketentuan menyertai kelahiran mereka. Termasuk juga tentang tanda-tanda yang disiratkan pada sebuah tempat. Oh sungguh, adalah kemahatahuan yang tak separuh-separuh makbul dipercayai.
Surat itu diketahui alamatnya bakda si pengirim melemparnya ke bagian barat dari daratan tengah laut yang diapit Tanah Andalas dan Pulau Para Dewa; setelah lebih dari 1400 tahun diturunkan di tanah Aminah melahirkan putra yang buta-membaca. Ya, surat itu diketahui asalnya ketika orang-orang telah dapat rehat sejenak; menyelonjorkan kaki dekat dinding rerumah yang merapuh tiba-tiba; lelah seharian mencari anak-bini (atau anak-laki) di antara remahan batubata yang menyerak di jalan- jalan, kediaman, dan tempat-tempat khalayak.
Kala itu, hari baru saja memasuki pintu kedua dari sebuah bulan yang dimusabab-namai dari kata "septa". Bulan hujan yang pertama. Di senja yang masih muda. Tanpa rinai dan hujan renyai. Asar baru saja ditandai oleh sebuah seruan yang dilenggak-lenggokkan dari corong suara rumah-rumah sajadah. Ibu-ibu-yang masih memiliki waktu lapang-tengah berlatih membuat bunyi-bunyi indah dari angklung; bapak-bapak baru saja pulang dari mengebiri kerbau meloyakkan tanah sawah. Biasanya, bila ada anak meranjak bujang, ia akan disilahkan menunggangi binatang bertanduk-lengkung itu sambil meniup seruling. Syahdu nian, oi! Syahdu nian. Hingga, bila kesyahduan itu berembus menerabas angin, maka akan berlabuhlah di lubang- lubang telinga. Turun ke hati. Lalu, terasailah sebuah kesejukan....
Ah, itu adalah cerita tentang keelokan barisan puncak-yang banyak ditanami teh-di petang yang belum oranye; kampung-kampung tetangga dari sebuah kota yang ditamsilkan sebagai Paris. Juga diumpamakan sebagai kota yang ber-taburan kembang-entah kembang yang sebenar kembang, atau kembang yang mengumpamakan geulis-geulis yang aduhai rupa dan perita-biatnya.
Surat itu dikirim ke bukit-bukit teh yang dingin. Istimewakah negeri itu? Bila iya, apakah keutamaannya? Bila tidak, apa yang menyebabkan daerah-daerah itu dipilih sebagai titian (atau juga tumbal?) untuk memudahkan alamat-pengirim terendus? Hanya si pengirim yang tahu alibinya. Ialah yang berkuasa. Sangat berkuasa.
2. Kampung Isra, Rumah Ke- enam Belas dari Seratus Sebelas
Beginilah isi surat yang sampai tepat lima belas hari setelah bulannya 1000 bulan itu melepas makhluk bertanduk merah dari kerangkeng.
Bila si pengirim hendak membinasakan suatu negeri, maka dengan menitahkan makhluk-makhluk cahaya ia tintahkan orang-orang yang hidup berlebihan meninggalkan kejemawaan mereka (bahkan untuk menyembah Tuhan sekalipun mereka jemawa). Bila tidak, maka (sekali lagi: Ialah yang berkuasa) si pengirim akan membinasakan.
Demikian peringatan (kata orang-orang, ancaman) itu telah dikisahkan. Lalu dilalaikan. Hingga surat itu pun dikirim lagi.
Tak ada yang berbeda perihal apa-apa yang menimpa negeri yang dikirimi surat dari Hijrah. Mungkin hanya tentang bentuk-bentuk rumah yang meluruh, dan garis muka orang-orang yang diserang pias dan ketakutan yang sangat, atau juga tentang waktu datangnya surat. Surat kedua ini diterima jelang pertengahan Syawal.
Jadi, tak cukupkah Paris Jawa menjadi semacam tumbal untuk sebuah kedatangan surat-maut itu? Mengapa kampung-kampung yang menyeruk dari bukit barisan di barat Sumatera itu, harus jua tersembul sebagai satu dari halaman sebuah buku hikmah: hati-hati jalan ke jannah semakin terbuka, jalan-jalan ke jahim semakin menganga?
Atap-atap bagonjong itu menudung tanah. Nyiur di tubir pantai melindas gubuk nelayan di tepian Air Tawar. Kerajaan-kerajaan muara ilmu pun retak-kamaretak. Bahkan, sebagian ambruk sedikit miring menyeruduk batubujang berjubah semen, yang menyangganya.
3. Kampung Isra, Rumah Ke- lima Puluh Delapan dari Seratus Sebelas
Negeri yang sama. Rumah dengan atap lengkung. Ranah di mana saluang dilagukan, bansi mengembang-kempiskan hidung, sate-kuning dikerumuni, ubi dilumuri saus merah, jam gadang berdentang-denting.
Dan mustajablah prakira, taklah mungkin surat itu dikirim dari kampung yang berlainan. Ya, surat itu dari kampung yang sama. Hanya berselang beberapa puluh rumah saja. Tentu saja penduduk negeri kembali berhamburan. Bukan dari luar rumah-karena rumah tak lagi layak ditempati sebagai lapak memanja raga atau pikiran, tapi dari tepi-tepi jalan, dari kemah-kemah yang tegak tiba-tiba, atau dari kumpulan yang awalnya saling menguatkan-tentu saja seraya mengharapkan agar semuanya baik-baik saja.
Bakda mendapati alamat surat, mereka dapati kata-kata yang merajut kabar lama. Kabar yang kini mereka baca lagi, dan bagai kabar baru yang menyemburkan api yang siap menjilat-jilat.
Ya, di Lauhul Mahfuz telah dirajah semuanya. Tentang negeri yang rupa-rupa peradabannya akan digemeratakkan dari bawah tanah.
(Tapi, mengapa harus negeri ini? Bukankah ini negeri para ulama?)
O, ini bukan perkara pilah-pilih negeri yang akan dikirimi surat. Ini pula bukan perkara kurir-langit salah kirim. Ini adalah sebuah rahasia yang tak terjangkau dari batang-pikiran manusia. Mungkin, perihal Maryam yang hamil tiba-tiba, tentang Muhammad yang melesat tujuh lapis langit, atau bagaimana mungkin serambi Sumatera dicengkeram air bah-biru pekat?
4. Kampung An Fal, Rumah Ke-lima Puluh Dua dari Tujuh Puluh Lima
Sebenarnya maksud surat ke- empat ini tak jauh berbeda dengan ketiga suratnya. Namun, di surat ini, si pengirim membawa-bawa Firaun yang tak sedikit pun wajahnya tak bermaruah. Raja Mesir yang sangat memusuhi laki-laki sang pencari Tuhan. Laki-laki yang pernah ia bakar. Laki-laki yang memiliki tongkat maha-ajaib.
Namun, di sinilah hikmah itu terukir. Belajarlah dari Ibrahim. Belajarlah bagaimana menelisik bahwa kadangkala tingginya batang kelapa bukanlah tandingan pohon durian di ladang. Di atas langit keenam, ada yang ketujuh.
Namun, setelah kampung- kampung di seputar Kota Kembang, Ranah Pagarruyung, mengapa-bak bergiliran-orang-orang yang menjala ikan di sepanjang aliran Batang-hari jua yang mesti dikirimi surat? Adakah banyak Qabil-Qabil baru, atau Firaun-Firaun muda di situ?
Ayam-ayam berkeriukan dalam tudung anyaman, rerombongan burung berkeok dari barisan Siguntang, kaki-kaki jenjang kaum-kubu sigap menerobos rimba Kerinci. Hari itu, satu hari bakda surat ketiga dikirim ke negeri tetangga, Duha yang masih muda dipilih untuk membuat orang-orang memuja-muji si pengirim. Mendadak.
*
ITULAH alamat surat-surat yang 'dikirim'. Surat-surat yang terungkap dari sebuah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Surat-surat yang-entah dengan mengendarai apa si kurir mengantarnya- selalu menggetarkan bumi, membelahnya terburu-buru, merusak kubus-kubus yang beratap, meretak tembok-tembok beton, mengombang-ambing menara-menara, hingga akhirnya memaksa orang-orang-yang menaikkan bahu dengan dagu pongah-beriman tiba-tiba: menggemuruhkan pujian dan doa yang berebutan dan tak beraturan.
Dialah yang dalam kurun tiga puluh harian mengirim (atau juga membaca-ulang) surat-surat itu sebanyak empat kali. Surat-surat yang akhirnya menggelatungkan buah yang dapat dipetik: dari waktu ke waktu bumi zig-zag bergemuruh. Nama kampung adalah serupa nama surat, dan urutan rumah adalah tingkatan ayat dari surat yang termaktub dalam kitab-langit terakhir itu. Kitab yang biasa dibaca dengan napas yang tertib, lagu yang bermacam-macam, pikiran yang sebenar satu, dan hati yang tak ke mana-mana. Kitab yang kini bersampul abu-abu. Oleh debu. Oleh waktu. ***
Lubuklinggau, 10 Oktober 2009