Stasiun

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Nova 18/09/2006



MEMANDANG wajah hujan pada setiap penghujung tahun, bagaikan menyelami sebuah kisah. Kisah yang menyeret kakiku menapaki kembali halaman stasiun tua ini. Tak banyak yang berubah dari tahun ke tahun. Bocah-bocah gelandangan menggigil kedinginan, meringkuk menahan lapar. Pedagang asongan hilir mudik menghampiri penumpang, mengais rezeki. Jajaran gerbong tua tak terpakai di tepi stasiun. Kereta-kereta datang dan pergi, silih berganti seperti kehidupan.

Aku duduk di sebuah bangku hitam panjang. Menikmati dingin air hujan yang menetes melalui celah atap stasiun. Kudekap tubuh Aini dalam gendongan. Bocah perempuanku itu lelap bersama mimpi masa kanak-kanaknya yang indah. Setiap ada kereta yang datang, aku berlari memburu. Dengan jeli kuperiksa penumpang yang turun dari puluhan gerbong. Berharap akan datang satu kereta. Membawa sosok yang selalu menyambangi mimpi-mimpiku. Mematahkan kebenaran kabar yang telah tersiar.

Di ujung musim hujan sewindu yang lalu, kami kembali bertemu di stasiun tua ini. Mula-mula, kulihat ia sibuk dengan teman-teman kecilnya, bocah-bocah gelandangan di pojok stasiun. Bermain tebak-tebakan menggunakan koin uang logam. Sesekali terdengar bocah-bocah itu terbahak senang. Lalu ia tersenyum menghampiriku.

"Akhirnya kita bertemu lagi," katanya.

Aku memandangnya lekat. Banyak yang berubah setelah waktu bergulir lama. Gurat-gurat kedewasaan menghiasi wajahnya. Rambut gondrongnya berderai tertiup angin lembap bulan Desember. Jemarinya sibuk merapatkan resleting jaket, seakan hendak mengusir hawa dingin yang menusuk tulang. Ia mengulurkan tangan dan aku menangkapnya.

"Menikahlah denganku," ucapnya tiba-tiba. Tegas namun lembut.

Aku tersentak. Dadaku mendadak bergejolak. Ada panah api menusuk pinggir hatiku yang paling rawan. Membuat tubuhku limbung dan menggelepar. Aku jatuh cinta lagi kepada lelaki pengelana ini.

Ia, lelaki pengelana itu, bernama Azka. Kami terlahir pada bulan yang sama, di penghujung tahun yang basah. Rumah kami berdampingan dan hari-hari kami bersamaan. Masa kanak-kanak yang indah kami lewati penuh tawa. Bermain petak umpet, bersepeda keliling kompleks dan mencuri kue-kue lezat bikinan ibu yang seharusnya kami antarkan ke pelanggan. Masa remaja yang berwarna kami lewati penuh gairah. Menggosipkan para idola sekolah, membolos karena takut pelajaran Kimia, dan mencari jati diri. Lalu, getaran-getaran aneh itu tumbuh di dadaku. Tepat ketika aku dan Azka menemukan jati diri yang sesungguhnya. Aku meneruskan sekolah, sementara Azka memilih berkelana. Menjelajahi kota demi kota mempelajari makna kehidupan.

Ada yang bergelora di dadaku setiap kali dia menemuiku sepulang berkelana. Mendengar cerita petualangannya di berbagai kota membuatku cemburu. Tetapi, aku tak punya hak mencegah kepergian Azka. Aku hanyalah seorang sahabat. Meskipun hatiku berteriak-teriak enggan ditinggalkannya, namun seperti pengertianku kepadanya; Azka terlahir sebagai pengelana.

"Apa kau pernah merasa kehilanganku?"

Ini pertanyaan mengejutkan setelah umurku merambat dewasa. Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir pengelana yang tak pernah mengerti hati seorang perempuan. Pertanyaan yang melibatkan perasaan setelah berpuluh tahun kami bersahabat. Apalah arti rasa kehilanganku bagi seorang pengelana seperti Azka? Aku tidak peduli. Seperti yang selalu kulakukan saat mengantarkan keberangkatannya mengelana dari stasiun ini.

"Aku akan pergi dengan tenang jika kau tak pernah merasa kehilanganku. Jika pun aku tak kembali menemuimu, aku tak akan merasa bersalah."

Aku terperangah. Mendung memekat, hujan semakin deras.

Ketika Azka menyandang ransel hitamnya dan menyongsong kereta yang datang, aku berdiri linglung. Sebenarnya, banyak hal yang ingin kuungkapkan padanya. Tentang gelora di dadaku, tentang kecemburuanku dan tentang harapan-harapanku. Namun, bibirku hanya bergerak-gerak tanpa suara. Lidahku kelu.

Tak ada yang kulakukan selain memandangi sosok Azka menyelinap di antara hilir mudik penumpang lalu kembali muncul di jendela kereta, gerbong nomor empat. Sempat kutangkap rona muram pada raut wajahnya. Senyumnya menghilang. Bersama kereta yang bergerak menjauh, aku membalas lambaian tangannya yang terkulai, seakan terempas angin kencang.

Namun, cinta membawanya kembali ke stasiun ini. Kami menikah sewindu lalu dan membangun keluarga baru. Hari-hari kami senantiasa penuh bunga. Rentang waktu yang lama menunggu kehadiran Aini tidak membuat kami putus asa. Dan lengkaplah kebahagiaan itu ketika enam tahun kemudian Aini lahir. Gadis mungil yang cantik itu adalah malaikat kecil dalam rumah kami.

"Aku akan berkelana," kata Azka suatu malam ketika Aini sudah lelap.

"Ke mana?"

"Ke mana saja. Bukankah aku terlahir sebagai pengelana?"

Aku terdiam. Mencoba mengembalikan pengertianku tentangnya.

Azka menyentuh lenganku lembut, membujuk. "Sejak kecil, hanya kau yang mengerti bahwa aku terlahir sebagai pengelana."

"Tetapi, Aini?"

"Aku tetap Ayah Aini, katakan padanya aku pergi bekerja. Pengelanaanku kali ini memang untuk bekerja. Seorang teman menawarkan sesuatu yang menarik. Jadi jangan khawatir, aku akan bertanggung jawab dengan mengirim biaya hidup kalian. Aku juga akan pulang."

"Kapan?"

"Musim hujan penghujung tahun." Azka mengembangkan senyumnya dan merengkuh bahuku. "Aku mencintaimu dan Aini. Sungguh!"

Malam berdetak. Hatiku giris.

* * *

"KAPAN Ayah pulang dari bekerja, Bu?"

"Kenapa Ayah lama sekali pergi?"

"Apa Ayah tidak merindukan Aini?"

"Ayah akan membawa boneka beruang di hari ulang tahun Aini kan, Bu?"

"Jangan-jangan Ayah tersesat di hutan?"

"Aini akan meminta tolong Ibu Peri untuk memulangkan Ayah!"

Aku tak dapat menjawab atau membantah kata-kata Aini. Gadis kecil itu merindukan ayahnya. Dan waktu bergulir semakin lamban. Tahun demi tahun telah berlalu. Setelah mengirim sejumlah uang pada bulan ketiga kepergiannya, tak secuil pun kabar kuterima dari Azka. Bahkan alamatnya pun tak kumiliki.

Mungkin Azka terlampau sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin Azka ingin mengumpulkan uang yang banyak. Mungkin Azka ingin konsentrasi mewujudkan mimpi-mimpinya. Mungkin Azka terpikat seorang gadis menarik. Mungkin Azka memutuskan menikah dan menetap di suatu kota. Mungkin Azka telah memiliki gadis kecil lain sebagai pengganti Aini. Mungkin Azka mengakhiri pengelanaannya. Mungkin Azka telah melupakan kami. Dan, mungkin Azka…

Berbagai kemungkinan yang penuh prasangka buruk menyesakkan dadaku. Membuat bibirku ingin berteriak, "Wahai pengelana! Jika kau telah mempelajari ribuan makna hidup, seharusnya kau tahu, aku dan Aini membutuhkanmu!"

Namun, teriakanku tak pernah sampai. Waktu demi waktu terus beringsut maju. Penghujung tahun yang basah datang dan pergi tanpa peduli. Hingga orang tua Azka memutuskan pindah ke kota lain karena pensiun dan aku tak sanggup membayar kontrakan lalu pulang ke rumah orang tuaku, Azka belum juga kembali. Untuk meredakan kegundahan Aini, aku sering mengajaknya mengunjungi stasiun tua ini. Mengharapkan sosok Azka menyembul dari pintu gerbong kereta, tersenyum lebar seraya membentangkan tangan dan berteriak lantang, "Aini sayang, Ayah datang!"

Setelah letih mengungkung dan putus asa diam-diam menyergapku, kabar itu datang. Aku sedang menyiram kembang ketika loper koran cilik langganan keluarga menghampiriku pagi itu.

"Mbak, ada berita bagus. Lihat halaman depan! Polisi berhasil menangkap teroris! Hebat, bukan?"

Aku menerima koran pagi langganan keluargaku dalam diam. Kuamati sekilas sambil lalu. Seraut wajah berahang kukuh yang terpampang di halaman depan menyentakku. Dalam gambar insert, kulihat tubuh bagian bawah lelaki itu hancur. Meskipun namanya berganti, namun aku tak pernah sangsi. Ia, lelaki pengelana yang selalu kutunggu kedatangannya di musim hujan penghujung tahun!

"Apakah Ayah mengirim pesan lewat koran itu, Bu?"

Aini menghampiriku dengan senyum bocahnya yang bening. Pandanganku berkunang-kunang ketika menjangkau tubuh mungilnya. Lalu semua gelap.

* * *

MEMANDANG wajah hujan pada setiap penghujung tahun, bagaikan menyelami sebuah kisah. Kisah yang menyeret kakiku menapaki kembali halaman stasiun tua ini. Aku masih duduk di sebuah bangku hitam panjang. Menikmati dingin air hujan yang menetes melalui celah atap stasiun. Kudekap tubuh Aini dalam gendongan. Azka pasti datang di musim hujan penghujung tahun. Aku akan terus menunggunya. Ingin kubuktikan kesetiaan dan cintaku. Meski hanya kepada jasadnya…***

Jakarta, 2005/2006