Kotak Kenangan

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Suara Pembaruan 03/12/2006



Perempuan berwajah tertutup kain hitam itu meletakkan minuman kaleng di depanku. Matanya berkilat bahaya ketika bertubrukan dengan mataku. Aku membuang pandang, namun ekor mataku mengikuti langkahnya yang gesit. Berpindah dari satu meja ke meja lain untuk melayani pesanan pengunjung kafe.

"Kabarnya kau sudah jadi pengarang hebat?" suara berat menghampiriku.

Aku mendongak. Sesosok tubuh kekar dan kulit legam sedang berdiri di samping mejaku. Rambutnya gondrong dan dagunya penuh cambang. Aku mempersilakan lelaki itu duduk di kursi yang berhadapan denganku.

"Sepertinya menyenangkan menjadi pengarang."

Kuletakkan secangkir kopi yang baru saja kuteguk. Siapa lelaki ini? Kupandang matanya yang tajam menatapku. Dari mana dia tahu tentang diriku?

"Rokok?" tawarku menyodorkan sebungkus rokok putih.

Lelaki itu terbahak. Aku mengerutkan kening.

"Rokok putih seperti milikmu hanya untuk lelaki kota. Sedangkan lelaki nelayan sepertiku rokoknya seperti ini," katanya mengeluarkan kotak kecil dari dalam tas kumalnya. Dia mengambil botol tembakau, menuangkan ke atas lembaran kecil dan melintingnya menjadi sebuah rokok.

"Ini baru nikmat!" katanya seraya menyulut ujung rokok dan menghisapnya.

"Dari mana kau tahu tentangku?" Aku tak dapat menahan diri.

"Wija, biasanya orang macam kau memiliki ketelitian lebih dari orang-orang biasa, bukan?"

Dia juga tahu namaku. Aku memandangnya lama. Mungkinkah lelaki ini bagian dari kotak kenanganku?

"Baiklah, Wija. Kau boleh mengingat-ingat siapa diriku hingga semalaman. Tapi aku tak bisa menunggu hingga ingatanmu membaik."

Ada yang berputar ulang dalam otakku. Dan aku menemukan gambar lelaki itu di salah satu sisinya. "Hei! Tunggu!"

Namun, lelaki itu telah menghilang.

*

Ada sekotak kenangan yang menjadi alasanku mengunjungi tanah masa kecil ini. Isi kotak kenangan itu selalu terselip dalam lipatan hari-hariku. Aku tak bisa membuangnya ataupun membunuhnya. Bahkan sekarang menyeret kakiku untuk membuka gemboknya. Memunguti puluhan kisah yang masih tersimpan rapi.

"Sudah kau dapatkan inspirasimu?" suara berat itu kembali menggangguku.

Aku menoleh dan mendapati wajah lelaki yang sama. "Apa pedulimu?"

"Wija, kau belum mengingatku?"

Lelaki itu menatapku. Rambutnya berkibar diterpa angin malam. Dalam temaram rembulan, aku melihat sorot matanya yang berharap. Aku membuang pandang pada ombak yang berdebur menjilati bibir pantai.

"Memangnya kenapa kalau aku mengingatmu, Sarman?" kataku, tersenyum.

Beberapa saat kami saling menatap dan meneliti. Detik berikutnya tawa kami meledak. Satu kotak kenangan itu terbuka dan aku mulai memunguti salah satu kisahnya. Di depan sana, kulihat tubuh kecilku menyongsong ombak bersama tubuh kecil Sarman. Sejak kepindahanku ke kampung nelayan ini, aku terpesona kepandaian Sarman berenang dan menyelam. Setelah petang datang dan nenek berteriak-teriak memanggil, aku baru pulang. Aku harus menurut kepada nenek jika tak ingin ibu yang baru saja diceraikan ayah lebih bersedih.

"Aku membaca tulisan-tulisanmu di koran setiap ke kota. Hebat!"

Aku tak menanggapi kata-kata Sarman dan mulai menyulut rokok.

"Jadi kau kembali ke kampung ini untuk mencari inspirasi, bukan?"

"Apa kelihatannya begitu?" Aku balas bertanya.

Sarman tertawa sinis. "Kau bisa menulis cerita tentang pemuda nelayan miskin sepertiku, pernah sekolah ke kota dan ujung-ujungnya jadi nelayan miskin juga. Kau akan mendapatkan banyak uang dengan ceritamu itu, sementara aku di sini tetap miskin."

Aku tertawa datar. Apa dia pikir pengarang sepertiku ini kaya?

"Aku punya cerita hebat untukmu," kata Sarman sungguh-sungguh. "Itu jika kau tertarik."

"Sehebat apa?"

Sarman bangkit. Tanpa menunggu persetujuanku, serta merta ia menarik lenganku. "Ikut aku!"

*

Sarman berhenti di depan sebuah bangunan memanjang pinggir pantai tepat pukul 11 malam. Setelah memandang berkeliling Sarman mengajakku masuk. Dua puluh kamar berjajar membentuk hurup U. Berdinding tembok dan berlantai ubin. Sarman menyebut bangunan ini penginapan. Seperti kafe di pinggir pantai, aku juga tak melihat bayangan bangunan ini dalam kotak kenanganku. Laki-laki dan perempuan melintas bergandengan, sebagian yang lain duduk di kursi ruang tamu. Main kartu dan minum alkohol. Sesekali kudengar tawa cekikikan dari kamar-kamar berlampu redup. Sarman menghampiri resepsionis menor yang sibuk mencatat.

"Penghuni kamar paling ujung ada?"

Resepsionis itu mengangkat wajahnya lalu menatap Sarman dan aku bergantian.

"Ada. Kau atau temanmu?"

"Dia!" Sarman menunjukku sambil mengedipkan matanya. Resepsionis itu tersenyum genit.

Sebelum aku mengajukan beberapa pertanyaan, Sarman menarik lenganku menuju kamar paling ujung. Aroma parfum murahan menyengat penciumanku setiap berpapasan dengan perempuan-perempuan berbaju minim penghuni penginapan ini. Di depan kamar nomor 9, Sarman mengetuk pintu dan menunggu. Tak ada jawaban. Baru pada ketukan kelima pintu terbuka. Tak ada seraut wajah menyembul dari balik pintu. Namun ada suara lembut menghampiri telingaku.

"Silakan masuk, aku sedang kosong," katanya.

Dan Sarman mendorongku tanpa berkata-kata. Aku masuk ke dalam kamar dan pintu di belakangku kembali tertutup. Kudengar teriak Sarman dari balik pintu, "Kau akan mendapatkan cerita hebat, Wija!"

Aku tahu Sarman menjebakku. Cerita macam apa ini? Masuk ke kamar pelacur? Dengan sudut mataku aku melihat perempuan itu menunggu di tepi pembaringan. Aku mengangkat kepala membalas tatapannya. Jantungku meloncat cepat. Perempuan dengan wajah tertutup kain hitam di kafe itu! Bagaimana mungkin?

"Silakan Tuan, kau boleh memperlakukanku sesukamu lalu membayar," katanya.

Aku duduk di sebuah kursi samping pembaringan. Tidak melepaskan pandangan dari matanya yang berkilat bahaya. Memutar otak sebelum mengeluarkan kata-kata yang tepat.

"Aku hanya ingin ngobrol."

Ia bangkit meraih wajahku, mendekatkan ke wajahnya. "Dengar Tuan Besar, aku tak punya banyak waktu untuk ngobrol denganmu! Setiap detikku adalah uang."

"Kau akan menerima bayaran yang sama."

"Kau ingin ngobrol tentang apa denganku?" Ia melepaskan wajahku.

"Sarman bilang kau punya cerita hebat."

Perempuan itu bangkit dari duduknya dan tertawa mengejek. "Sarman benar! Banyak cerita hebat dalam hidupku! Kau mau yang mana?"

Aku menatap lantai ubin di bawahku. Mengatur napas yang tiba-tiba memburu. Perempuan itu duduk di depanku, lalu mengalirlah kisah itu.

"Aku seorang pembunuh, " katanya memulai.

Tatapannya menelitiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku merasa hendak dicincang atau ditelan hidup-hidup.

"Tapi aku tidak menyesal menjadi se- orang pembunuh." Dia tertawa datar. "Karena itu memang harus kulakukan."

"Siapa yang mengharuskanmu?" tanyaku.

"Keadaan."

Sejenak kami terdiam. Membiarkan desau angin malam dan debur ombak memenuhi lengang lalu perempuan itu mendesah. Dan aku menunggu.

"Membunuh itu melegakan. Saraf tegang jadi mengendur."

"Bagaimana bisa lega kalau kemudian kau masuk penjara?" Aku menukas.

Kurasa perempuan ini agak sinting. Dan cerita hebat macam apa yang mesti kubayar untuk malam ini?

"Masuk penjara itu adalah pembebasan bagiku." Dia menghela napas. "Karena suamiku adalah penjaraku yang sesungguhnya. Baginya aku tak lebih dari boneka pajangan yang bisa dihina dan disiksa sekehendaknya."

Aku bangkit dari duduk. Tak ada banyak waktu untuk mendengarkan keluh kesah wanita yang dianiaya suaminya. Sudah terlalu banyak cerita-cerita seperti ini, apa istimewanya? Dan aku harus segera mengakhirinya. Setelah meletakkan sejumlah uang di meja, aku menuju pintu.

"Aku menikahi lelaki itu karena letih menunggumu, Wija."

Apa yang baru saja kudengar? Aku berbalik dan mendapatkan wajah perempuan itu tanpa penutup kain hitam. Tubuhku terguncang melihat raut wajahnya yang pasi. Perempuan itu tersenyum. Dan pintu kotak kenangan itu terbuka lebar. Aku menemukan wajah perempuan itu di setiap sisinya. Wajah kenangan yang selalu tersimpan dalam lipatan hari-hariku. Tak bisa kubuang atau kubunuh.

Kulihat tangan mungilnya yang putih mengumpulkan pasir dan membentuknya menjadi istana. Sarman suka menggoda gadis kecil itu dan aku selalu melindunginya. Ketika remaja aku berkelahi dengan Sarman memperebutkan gadis itu. Beruntung, gadis itu memilihku. Setelah pindah ke kota, aku tak pernah menghubunginya. Kupikir, menyimpan gadis itu dalam kotak kenanganku akan aman. Semua bakal baik-baik saja hingga tiba saatnya aku datang menjemput dengan kereta kencana. Ternyata aku salah.

"Aku datang untuk menjemputmu," kataku parau.

Perempuan itu terbahak. "Setelah belasan tahun tanpa kabar?"

Aku mengangguk, entah untuk apa anggukan itu.

"Telan saja janji-janjimu, Wija. Aku bukan gadis yang kau kenal dulu. Sekarang aku adalah pembunuh, mantan napi dan pelacur. Semua sudah lengkap setelah aku kehilangan cintamu."

Ada sembilu yang menghajar ruang hatiku. Seharusnya aku sadar, waktu tak bisa diam menunggu. Waktu bisa mengubah segalanya dalam sekejap. Dan aku tahu kini semuanya tidak baik-baik saja.

"Pergilah Wija, semua sudah berakhir," katanya menjejalkan uangku dan mendorongku keluar kamar.

"Aku akan memenuhi janjiku untuk menjemputmu," kataku.

Tetapi tangannya begitu kuat mendorongku keluar kamar. Lalu pintu di belakangku menutup keras. Samar kudengar isak tangis perempuan itu di balik pintu. Dan aku berbalik untuk mendorong pintu agar terbuka. Namun tak bisa kulakukan.

Kunci yang pernah dia berikan padaku telah kupatahkan. ***

Pesisir Blado, 15.11.2006