Perempuan Kota Hujan

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Suara Karya 27/08/2006



Senja hari. Gerimis. Aku mengempaskan tubuh di kursi pojok kantin. Meletakkan ransel hitamku dan merapatkan retsluiting jaket. Menghalau udara basah yang menggigilkan. Kunyalakan sebatang rokok lalu mengisapnya perlahan. Kepulan asapnya melingkar-lingkar seperti tarian ular.

Pedagang asongan mondar-mandir, menghampiri lalu lalang orang. Menawarkan cindera mata, makanan khas dan mainan anak-anak. Sesekali aroma gurih jagung bakar menerbitkan air liur. Mataku menerawang ke hamparan kebun teh. Pucuk-pucuk daun teh yang segar bergoyang tertiup angin. Meliuk dalam selubung kabut.

Kawasan puncak kota hujan! Aku kembali berada di sini! Seorang perempuan muda membawakan secangkir kopi panas pesananku. Ia tersenyum manis seraya menawarkan jenis makanan yang tersedia di kantin. Pipi kirinya berlesung saat ia tersenyum. Lesung pipit itu melesatkan kenanganku tentangmu.

Apakah aku datang bersama penyesalan? Aku menghela nafas. Menahan nyeri yang tiba-tiba menikam dada. Bukankah perjumpaan kita hanyalah sesuatu yang biasa? Untuk apa aku menyesal? Aku seorang pengelana yang memunguti cerita dari setiap perjumpaan. Dengan siapa pun, kapan pun dan di mana pun. Begitu juga saat berjumpa denganmu di tempat ini.

"Beli buah strowbery, Mas?" tawarmu seraya menyodorkan strowbery merah segar dalam kotak plastik.

Lima tahun sudah berlalu, namun suara beningmu ketika menawarkan buah strowbery itu masih lekat di telingaku.

"Strowbery-nya manis, Mas. Baru saja dipetik dari kebun. Banyak mengandung vitamin C lho! Atau mau mencobanya dulu? Silakan!"

Kutatap wajah bening yang sibuk dengan kotak-kotak plastik buah strowbery itu. Kutaksir usiamu tiga empat tahun lebih muda dariku. Celana jeans dan t'shirt putihmu tampak serasi. Kuakui, kau kelihatan cantik dan alami. Meski tanpa riasan, kamu tampak sangat menarik.
"Lima ribu dua kotak. Untuk oleh-oleh adik, kakak atau kekasih barangkali?"

Aku menerima strowbery yang kau ulurkan. Menimang-nimang sebentar lalu kembali menatapmu. "Kenapa kau berjualan strowbery?"

Kau mengerutkan dahi. Mungkin merasa aneh dengan pertanyaan menyelidikku. Pertanyaan tak lazim dari seorang pembeli. Wajahmu berubah mendung.

Tiba-tiba aku merasa bersalah dengan pertanyaanku, "Jangan pikirkan pertanyaanku tadi."
"Sebenarnya aku juga sedang mencari jawaban."

Perkiraanku tepat. Kau memang bukan seorang penjual strowbery yang sesungguhnya. Aku sudah menduganya sejak kau menghampiri tempat dudukku. Bahasa tubuhmu yang penuh percaya diri, intonasi kata-katamu yang sopan, dandananmu yang tak seperti kebanyakan penjual keliling dan caramu membalas tatapan mataku.
Maka, demikianlah.

Aku memutuskan tinggal lebih lama di penginapan dan waktu yang bergulir maju kemudian menjadi milik kita. Memetik buah strowbery segar dari kebun, mengepaknya dalam kotak-kotak plastik dan menjualnya di kawasan wisata Puncak Kota Hujan. Pada waktu yang lain, kita duduk mencakung di depan penjual jagung bakar. Menahan air liur terjatuh karena aroma gurihnya yang menggoda. Atau, menyusuri jalan setapak di antara hamparan perbukitan teh. Kau menghirup udara puas-puas, merentangkan tangan lalu berteriak lepas ketika pendakian kita sampai di bukit tertinggi.

"Mencari jawaban!" begitu katamu setiap kutanya mengapa kau selalu berteriak di sana.

Aku seorang pengelana. Memunguti kisah dari berbagai kejadian yang kutemui kemudian menuangkannya dalam berlembar-lembar cerita fiksi. Itulah duniaku. Itulah hidupku. Dan pertemuanku denganmu juga tak berbeda dengan pertemuanku dengan sosok-sosok yang lain. Kisah hidupmu adalah sebuah cerita yang menarik.

Kau menghentikan kuliahmu di salah satu perguruan tinggi negeri sebagai bukti pertanggungjawaban terlahir sebagai sulung dari lima bersaudara. Ayahmu menjual semua tanahnya pada orang-orang berdahi licin. Ketika vila-vila berdiri megah, uang ayahmu habis di meja judi dan minuman keras. Setahun kemudian ibumu mati merana. Pada cerita itulah kau, perempuan muda yang cantik, berdiri sebagai tokoh utamanya.

Dan aku sang pengarang, "Tuhan" dari setiap tokoh dalam cerita memutuskan pergi sebelum cerita berakhir. Sebulan mengenal kehidupanmu, dari pagi hingga malam setiap harinya, bagiku sudah lebih dari cukup untuk memulai sebuah tulisan. Masih kuingat air matamu meleleh ketika kulambaikan tangan dari jendela mobil L300 yang kemudian mengantarku pada pengelanaan selanjutnya.

Waktu terus berputar, mengubah masa kini menjadi cerita lalu dalam sekejap. Ketika perjumpaan dengan tokoh-tokoh baru yang akan menjadi model dalam ceritaku terus berlangsung di berbagai tempat, aku belum juga mulai menulis tentangmu. Aku bahkan tidak bisa menggabungkan imajinasiku dengan kenyataan. Aku tidak tega mendramatisir hidup yang tengah kau jalani. Cerita tentangmu terbengkelai. Hanya terhenti pada coretan-coretan dalam lembaran kertas. Teronggok berdebu di meja kamar.

Hingga suatu hari sepulang dari pengelanaan aku menemukan setumpuk suratmu. Selama aku pergi, rupanya kau mengirim surat setiap minggu. Aku memang memberimu alamat rumah sebelum berpisah. Membaca kata demi kata dalam suratmu yang bertumpuk membuat dadaku disesaki rindu. Dan aku yakin, kau pun demikian sesak oleh rindu ketika menuliskan surat-surat itu.

Namun, apa itu rindu? Aku menepis sesak yang melanda dadaku. Aku seorang pengelana. Berjumpa dengan bermacam-macam orang bukan untuk mengobati rindu atau mencari cinta. Aku hanya singgah sesaat untuk memungut kisah. Maka, jika aku kemudian mengabaikan surat-suratmu, apakah aku bersalah?

"Kau membohongi dirimu sendiri, Yan! Kau jatuh cinta pada perempuan itu!"
Aku terkekeh mendengar kata-kata Hasta, sohibku yang juga seorang pengarang.

"Kau terlalu kerdil untuk mengakui bahwa kau telah jatuh cinta. Kau takut kegagalanmu di masa lalu terulang. Kau hanya berani menuliskannya dalam cerita padahal kenyataannya sekedar bercerita pun kau gagal!"

"Perempuan bagiku hanya sumber inspirasi, Has. Tak lebih!"

"Itu kata-kata yang keluar dari mulutmu. Tapi hatimu berkata lain. Kau terlahir dari perempuan, punya saudara perempuan. Apa benar kau menghargai perempuan sebatas itu?"
"Sok tahu kamu!"

"Aku bukan sok tahu, tapi aku memang tahu. Apa kau kira aku tidak tahu bahwa kau sering melamun memandangi fotonya? Lalu diam-diam kau membaca ulang surat-suratnya. Ha ha ha! Tidak sebentar aku mengenalmu, Yan!"

Aku mendengus. Berusaha mengelak dari tuduhan Hasta. Pengelana tak akan menambatkan cintanya dalam perjalanan. Tapi benarkah? Siapa yang membuat undang-undang itu? Mungkin aku sendiri. Aku tidak ingin atau tepatnya belum ingin menambatkan cintaku lagi setelah kegagalanku di masa lalu. Jadi kata-kata Hasta benar? Aku seorang pengelana kerdil? Pergi ke berbagai tempat hanya untuk melarikan diri dari luka?

Aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku ketika suratmu kembali datang. Dalam surat itu kau menceritakan kondisimu yang terjepit. Untuk membayar utang-utang ayahmu di meja judi dan warung minuman keras, kau harus menikah dengan lelaki berdahi licin. Sungguh sebuah novel yang sendu! Siti Nurbaya di abad komputer! Tiba-tiba aku menemukan rangkaian cerita lama yang tak pernah sanggup kuselesaikan.
Dan, begitulah.

Aku mulai menulis. Merangkai penggalan cerita yang hilang dan mengabaikan suratmu. Aku ingin membuktikan pada Hasta bahwa tuduhannya tidak benar. Bahwa aku tidak gagal bercerita tentangmu. Tetapi, pada halaman ke sepuluh aku kembali berhenti. Aku tidak sanggup meneruskannya karena setiap saat menggoreskan pena dalam kertas yang berkisah tentangmu, dadaku mendadak nyeri.

Aku benar-benar berhenti menulis tentangmu. Hingga suatu siang suratmu kembali datang bersama selembar kartu undangan. Dadaku berdesir membaca namamu terukir di sana bersanding dengan nama si dahi licin. Kau menulis beberapa kata untukku.
Demi baktiku pada ayah, aku rela bersanding dengannya.

Tetapi, sebelum malam sempurna seusai pesta, aku akan mengakhirinya dengan caraku. Rayan, apa benar kau tidak peduli lagi padaku?
"Mau tambah kopi panasnya, Mas?"

Pertanyaan itu menyentakkan lamunanku tentangmu. Aku menggeleng pada perempuan muda berlesung pipit di depanku. Sebatang rokok di tanganku tak lagi berasap dan secangkir kopi panas telah tandas. Angin menderu kencang ketika kuseret ransel hitamku meninggalkan kantin.

Aku berjalan cepat menyusuri jalan setapak di antara perbukitan teh menembus gerimis yang makin rapat. Dalam surat undangan, kau akan bersanding dengan si dahi licin itu, besok, tepat jam 10 pagi.

Maka, aku telah memilih caraku sendiri untuk peduli padamu. Tunggulah aku perempuan kota hujan! Sebelum matahari terbit kau akan menemukan jawaban yang kau cari selama ini. Karena aku tak mau terlahir sebagai lelaki pecundang! ***