Sepasang Suami-Istri Pemilik Warung Nasi
Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Alimuddin
Dimuat di Batam Pos 11/30/2008
Harusnya, sudah tiba waktunya untuk menambah sepuluh atau lima belas kursi lagi di warung mereka. Sayang para pembeli, kebanyakan terpaksa harus mengantri tempat duduk. Apalagi jelang siang yang memang ramai-ramaiya.
“Apa? Menambah kursi? Berapa uang lagi yang harus kita keluarkan?” Tukik Jeha setajam elang yang menggondol mangsa.
“Tapi dengan itu, kita juga akan mendapatkan uang lebih baik lagi,”
Sepasang suami-istri memang pernah bermufakat untuk membeli tambahan kursi.
”Kamu sudah gila ya, Bram? Mendapatkan uang?!” Bola mata Jeha akan loncat dari sarung mata.
”Yang ada uang kita malah keluar! Bukannya masuk! Dari mana sih terbesit ide sinting itu?”
Mulut Bram terkikik sembari bergumam kecerdasan sang istri. Sementara Jeha menghirup lega.
”Biar begini saja. Toh para pelanggan kita tidak keberatan,”
Pembicaraan itu tutup buku.
***
Hari itu sekitaran jam tiga seorang lelaki berdasi corak coklat mampir ke warung sepasang suami-istri itu. Jeha dan Bram yang tengah mencincang sayuran di belakang, tergesa ke depan.
Setelah meletakkan pesanan sang lelaki itu, Jeha kembali ke belakang menuntas pekerjaan. Sementara Bram mengobrol ala kadar dengan pria itu.
”Kerja di mana, Dik?” Braham mencoba basa-basi. Dari kulit muka, Bram tahu jikalau sosok di depannya itu jauh lebih muda dari dirinya.
”Di kantor pajak pak!” sahut lelaki itu yang sepertinya lahap sekali mengunyah dengan berlauk ikan bakar.
Air liur Bram berguncang-guncang. Sudah lama ia idam ikan bakar. Tapi istrinya selalu memelototkan mata api ke arahnya. Namun betul juga laku istrinya bila dipikir berat, jika ia turuti nafsu, pasti tak butuh waktu lama warung nasi mereka harus gulung tikar.
”Pasti banyak uang, ya?” sambung Bram di sela senyum simpul.
”Ah biasa saja lah, Pak. Paling cukup untuk sehari-hari saja,” jawab lelaki muda dengan mulut penuh.
Dua lelaki itu terlibat obrolan ala kadar sampai lelaki itu mencuci tangannya bersih.
Mata Bram melotot begitu melihat masih tersisa seper empat ikan di piring sang lelaki di depannya. Bila tidak dikuasai malu, tentu saja akan dilumat lekas ikan sisa itu.
Lelaki itu mengeluarkan suara kekeyangan halu-lalang. Tangan kanannya tampak sibuk meraba-raba saku celananya.
”Bapak merokok?”
Rupanya sang lelaki muda sedang mencari bungkusan rokok..
Bram menggeleng.
”Haha... Bagus Pak... Saya suka orang seperti Bapak. Orang yang sangat melindungi kesehatan... Saya sudah tahu sih kalau rokok itu merusak kesehatan. Tapi mau gimana lagi ya? Sudah kecanduan Pak!”
Ia mengakhiri omongan panjang dengan sebuah cekakakan.
Bram yang sedari tadi sibuk geleng-geleng kepala dengan mata sekilas-sekilas mengintip ke ikan bakar sisa bakar seper empat itu.
”Bukan gitu dik...Biar hemat, hihi....” Ujar Bram ganti cekikikan meski malu-malu.
Cekikikan lelaki itu muda padam laksana lilin yang diguyur angin.
”Berarti Bapak mau merokok dong!” tapi tak lama ketakjuban si lelaku muda sirna.
”Gimana ya? Habisnya, sudah lama tidak merokok,”
”Kalau sebungkus...” lelaki muda sengaja memotong omongannya sembari mengangkart bungkus rokok setinggi hidungnya. Di hadapannya seolah sedang duduk makhluk unik dari era purba kala.
”Ya,” Sela Bram. Jam-jam begini warung memang jatah sepi. Jadi bebas bagi lelaki itu untuk santai-santai sejenak. Istrinya pun tidk cerewet melihatnya mengobrol saja.
”Saya berikan untuk Bapak,” bertabuh-tabuh dada Bram mendengar itu.
”Bapak mau beli berapa?”
Padahal sang lelaki muda masih belum mengutuhkan kalimat.
”Ya... Saya kirain...” Bram tak dapat menyembunyikan kecewanya. Sedangkan si lelaki muda tergelak geli.
”Bercanda pak! Bapak mau kalau rokok ini saya berikan untuk Bapak?”” tiba-tiba raut lelaki muda berganti serius.
”Mau...” Tingkah Bram seperti seorang cilik yang diberikan permen kesenangan.
”Bapak mau merokok?” sepertinya lelaki muda menyangsikan jawaban Bram barusan. Namun anggukan berkali-kali kepala Bram, membuat sangsi itu hilang.
”E...E...” Namun Bram masih menyimpan ganjil di dalam hati. Terlebih ketika melihat lelaki muda berkemas beranjak.
”Kenapa pak?”
”E... Tapi adik tetp akan membayar uang nasi barusan, kan?' setelah mengucap kalimat itu, ruang dada Bram lega bukan kepalang.
Kali ini meledak tawa si lelaki muda hingga Jeha yang larut di belakang, terburu menolehkan pendang ke depan.
”Iyalah pak... Rokok ini tidak ada hubungannya dengan nasi. Ini hadiah saya buat Bapak! Gratis! Tis-tis! Meski tidak lagi terkakak-kakak, lelaki muda belum bisa menghilangkan kegeliannya.
”O.. Terima kasih kalau begitu. Adik baik sekali. Pasti Tuhan akan merahmati orang baik seperti adik ini,”
Rokok itu berpindah tangan. Bram tak lekang menimang-nimang bungkusan itu. Sejenak ia melupakan sama sekali tentang ikan bakar sisa.
Sepulangnya lelaki baik hati itu, Bram berlari girang ke dapur.
”Hari ini memang hari baikku sayang....” Seru Bram tak reda-reda.
”Kamu gila ya Bram? Menghambur uang untuk beli rokok kamu sebut hari baik? Jatah makan malam aku tahan sebagai gantinya!” kulit muka Jeha keras melihat apa yang ditampakkan Bram.
”Dengar dulu sayang. Aku tidak membeli rokok ini, tapi pria muda yang makan barusan, menghadiahkan rokok ini buatku,”
Wajah keras Jeha mengendur lamat-lamat. Bayang-bayang pundi yang tadi ia bayangkan masuk ke saku kedai sebelah, ternyata tidak kemana.
”Kamu mencari apa, Bram?” tanyanya lalu yang melihat Bram bak gasing putar dari pojokan satu ke pojokan lain.
”Korek. Kamu tahu korek di mana, sayang?” Begitu senangnya Bram sehingga selalu memanggil Jeha dengan sayang.
”Untuk apa?' seru Jeha tajam. Sebanarnya ia sudah tahu untuk apa suaminya itu menanyakan korek. Dan itu tidak boleh terjadi!
”Kamu betul-betul sudah gila Bram!” cepat Jeha bangun dan merebut bungkusan rokok itu dari tangan Bram.
”Kamu ingin membakar rokok ini, kan?'
Bram terpaksa menutup telinganya. Jerit istrinya persis kuntilanak yang melonglong ketika tengah mengamuk.
”Tidak ada yang salah kan, sayang? Toh, rokok dihadiahkan orang kepadaku,” namun Bram merasakan tidak ada yang salah pada dirinya.
”Tidak salah?”
Sungguh, mata Jeha jika dilihat anak-anak, niscaya akan membuat mereka tunggang-langgang.
”Terus setelah roko ini habis kamu bakar, kamu akan membakar apa lagi,hah?”
”Aku...Ee...Aku...”
Bram mulai paham ke mana arah bicara istrinya.
”Kamu mau bilang, 'O sayang, setelah rokok ini habis, ya sudah. Aku tak akan menghabiskan uang kita untuk membeli rokok,'. Begitu, kan?”
”Bukan begitu sayang...Aku...”
”Aku tidak percaya Bram! Rokok itu men-candukan!” Tangan Jeha meletakkan kembali rokok itu di dekat sayur yang belum habis dicincang.
Bram seolah tersadar bahwa baru saja ia nyaris melakukan kesalahan besar.
”Kerjaku jadi terbengkalai gara-gara rokok sialan!” maki Jeha entah untuk siapa.
”Mau kau apakah rokok itu?” Predeksi Jeha salah. Diam-diam tangan Bram sudah menjawil bungkusan itu.
”Tenang saja sayang. Aku tidak akan pernah membakar rokok ini. Lebih baik kukembalikan saja dari pada terkenang-kenang terus. Besok mungkin laki-laki itu akan ke sini lagi....”
Kalimat Bram belum usai.
”Braaamm...” Bila bisa pingsan, tentu saja Jeha akan memilih pingsan dari pada melihat ketololan suminya.
”Ya,” sedangkan Bram yang tidak tahu-menahu dengan musabab marah sang istri, menoeh bermekar stu senyum.
”Akan kugorok lehermu jika rokok itu sampai kau kembalikan. Kau betul-betul lelaki goblok Bram!
Jeha, perempuan itu dianugrahi kecepatan kilat. Dalam bilang menit, rokok itu sudah dimasukkan ke balik kutangnya.
”Biar saja kujual saja ke kedai sebelah nanti sore. Pasti mereka mau, haha...”
”Tak salah aku menikahimu dulu, haha...”
Sepasang suami istri itu cekikikan serempak. Tapi mendadak saja Bram teringat dengan ikan bakar sisa. Seketika air liur memenuhi rongga mulutnya.
”Betul-betul mujur hariku hari ini sayang... Tidak dapat rokok. Aku dapat ini...” Seru Bram yang sudah di depan iakn bakar itu. Dimakan cepat ikan sisa itu. Dan kembali menyongsong istrinya di belakang.
”Oh begitu ya kalau dapat makan enak?” muka Jeha nanar begitu kunyahan Bram begitu nikmat.
”kamu mau, sayang?”
Tidak menjawab, Jeha dengan tampang rakusnya merebut piring di tangan suaminya.
”Kapan kita bisa makan enak seperti ini ya, sayang?” padahal Bram baru mencicip sedikit ikan bakar itu.
”Nanti lah kalau kita sudah kaya.” jawab Jeha yang tenggelam dengan ikan bakar itu.
”Kapan kita kaya?”
”Makanya kita harus hemat Bram! Hemat!” ***