Ia dan Lelaki yang Dioperasi

Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Alimuddin
Dimuat di Batam Pos 18/01/2009



Pagi rumah sakit terlalu riuh dengan korban kecelakaan. Satu korban sekarat, sisa meninggal di tempat terjadi. Satu pick up memelanting pohon tepi raya hingga terjungkang balik ke tebing dalam.
Di saat para dokter berteriak-teriak garang agar lekas memasukkan korban ke dalam ruang operasi sentara mengambil kesempatan penyelematan seonggok nyawa di hujung tanduk, ia malah tengah menyeduh kopi, menyeruput dalam asap-asap yang berkepul—dengan gumaman kenikmatan—ia sangat tergila-gila yang bernama kopi. Terus meneguk genap perasaan berselip obrolan masa depan dengan masyik.
(minggu tak jatah di rumah sakit. Minggu-senin senggang hari merenggang penat. Di rumah. Di tanah sawah. Bercengkrama dengan sesama gadis di bawah meunasah gampong. Terkadang mencari sesak di peukan ramai.)

Ia pun bersama masyik1 melaju ke tanah sawah setelah berkopi. Tanah sawah sedang menghampar keindahan nian elok. Padi menguning. Pipit berkoloni-koloni mengepak sayap. Pematang riuh suara pemilik menghalau mangsa-an burung-burung. Sentara burung-burung bergerombol itu, mencuri-curi enap dalam lebat batang-batang.

Dalam hati ia mengungkap takjub indah panorama. Ia terlarung ketentraman tiada rupa. Potong senyum untuk siapa saja yang kebetulan melewat atawa menyapa.

Rentang waktu sama, di ruang rumah sakit, hawa-hawa ketegangan membulir. Detik yang berdetak menebar jarum-jarum kematian. Tiga dokter dikawani dua suster mengelilingi satu korban tak sadar diri.

Hanya degap jantung pelan. Baju loreng-loreng mendarah pekat. Mulut menganga-kan deretan gigi yang telah rentas. Dua bola mata terkatup semi rapat. Di hujung bawah, dua anak kaki puntung.

Kepala dokter yang paling senior mengangguk sebagai sebuah tanda. Lantas pisau-pisau, gunting-gunting bermula menari-nari di atas satu tubuh. Tiada bicara. Hanya gerak tubuh sebagai penjelas apa yang diingin.

Berbilang jam, ketiga dokter keluar dengan tampang semrawut. Keringat menempel di kening. Bagian belakang kemeja sembab serua membentuk satu pulau. Ketiganya berpisah dalam lorong berbeda.

Dua suster membereskan perkakas operasi. Tiada bercakap. Ligat melakukan pekerjaan mereka. Sekali-kali melirik pasien yang persis patung dengan penjuru mata.

Di pasar ikan ia tengah menawar harga. Peluh meleleh sebab angin terhalang banyak tubuh di tempat itu. Ba’da itu mengarah ke pasar sayur-mayur. Kembali peluh meleleh. Dengan punggung tangan ia menyeka seala kadar.

Pulang menumpang satu RBT2 orang sekampung. Setengah perjalanan, tiba-tiba saja—entah mengapa, pikirannya terloncat.
(Umurnya dua lima sudah. Ia belum menikah. Jangankah itu, pikiran untuk itu saja sangat tidak acap.)

Setelah itu ia senyum-senyum sendiri.

Malam, seorang perempuan baya yang dipeluk satu pemuda tanggung sudah menangis raya begitu turun dari sebuah mini bus. Mata perempuan itu bengkak. Di mata pemuda tanggung air mata tinggal bekas.

Kata si sopir, inilah tempat juju mereka. Dua anak-beranak itu tergesa bergerak masuk.

(Mereka datang dari tanah jawa. Dengan pesawat baru tiba petang tadi di bandara Blang Bintang. Lalu menumpang mini bus L-300 bertujuan Lhokseumawe. Tujuan tepatnya, Rumah Sakit Umum Lhokseumawe.)

Di sepanjang halaman pedagang eceran menjajakan rokok, kacang goreng dan aqua gelas. Lampu berkerlap-kerlip sehingga kelihatan benderang nyaris seluruh bangunan putih itu.

Perempuan itu masih saja menangis raya. Maka mereka dikerubungi orang ramai musabab begitu menarik minat.

Putra perempuan itu bercerita dengan suara tersendat-sendat. Dengan menyeka air mata yang mendadak saja berinai kembali.
: Ayah saya seorang tentara yang ditugaskan di Aceh. Tadi pagi, kami mendapat kabar duka, mobil yang ditumpangi ayah saya masuk ke jurang. Dan dari informasi yang dapat, kondisi ayah saya kritis. Kami pun memutuskan untuk segera ke sini!

(Rupanya dua anak-beranak itu adalah istri dan anak dari laki-laki yang dioperasi hari tadi.)

Seorang perawat menghampiri kumpul ramai itu. Sang pemuda tanggung mengulang cerita yang sama kepada perawat tersebut.
: Ayah saya seorang tentara yang ditugaskan di Aceh. Tadi pagi, kami mendapat kabar duka, mobil yang ditumpangi ayah saya masuk ke jurang. Dan dari informasi yang dapat, kondisi ayah saya kritis. Kami pun memutuskan untuk segera ke sini!

Sedangkan perempuan paruh baya makin erat memeluk tubuh putranya guna menopang tubuhnya yang tergungang-guncang.

Lalu keduanya mengikuti ke mana saja kaki perawat menjangkah. Orang-orang berkerumun tadi sudah pecah. Para pedagang enceran kembali berkeliling dengan teriakan khas mereka.

Di lorong-lorong rumah sakit, tetap saja perempuan baya itu mengundang minat. Sebab tak reda menangis raya. Para pasien yang sudah mulai sehat, tak tinggal mencelinguk kepala lewat muka pintu karena dibintik penasaran. Para pengunjung yang sehat bugar apalagi. Ragam komentar berdesis.

Sang perawat yang berada beberapa meter di depan mereka meletakkan telunjuk di tengah bibir.

(Entah apa maksud suster tersebut.).

Jadilah perempuan baya itu dengan pemuda tanggung menjadi sorotan tiap pasang mata. Mata-mata itu baru lepas ketika dua tubuh itu telah raib ditelan tikungan

Tiba di tempat tujuan,

( tempat itu adalah ruang di mana suami atau ayah mereka dirawat),

Si perempuan paruh baya tak tahan untuk tak menjerit melengking ketika telunjuk suster mengarah ke dalam ruangan.

(Satu lengkingan yang memerih hati.)

Kemudian irama tangis mendayu-dayu. Sang anak kian mendekap erat badan sang ibu. Air mata tumpah ruah dari mata keduanya. Suster membuka pintu ruangan. Terburu-buru perempuan baya menyongsong. Diikuti dengan sang anak.

Perempuan itu bersimpuh di sisi kanan ranjang besi. Ia memegang selang-selang cairan yang terhubung dengan pergelangan tangan suaminya. Lalu meremas-remas jemari yang sama sekali tak bergeming. Di raba jantung, berdegup dirasa, namun pelan sekali.

Sang anak bersimpuh di sisi kiri ranjang. Lekat menyimak rambut bergelombang-gelombang lebat sosok kaku di hadapan. Lantas tertarik menggesek dua codet di pipi kiri dan kanan muka ayahnya.

(Ia ingat sekali, dua codet itulah penanda termudah untuk menandakan ayahnya.)

Seraya air mata yang deras saja.

(Ia mengenang haru di waktu kebersamaan sang ayah dulunya.)

Suster yang mengantar mereka keluar dari ruangan sarat air mata itu.

Pagi di rumah, selepas sembahyang subuh, ia tercenung sendiri. Mendadak saja ia tereka ingatan mendiang mak dan ayahnya.

( Keduanya ditembak mati di depan mata. Ia bersumpah kuat untuk menuntut balas atas pembunuhan itu. Tapi sayang, ia mencari-cari, pembunuh itu seolah telah ditelan bumi.)

Namun ia tidak mungkin akan melupa potret sang pembunuh itu. Terus ia hafal dengan rambut bergelombang-gelombang lebat. Persis diingat codet kiri-kanan di pipi itu.***