Air yang Menakutkan

Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Alimuddin
Dimuat di Suara Pembaruan 05/07/2009kali



Mengapa tak saja angin pantai yang membunuh? Mengapa tiada juga petir kesepian yang menarik lembaran-lembaran nyawa?

Mengapa musti air yang menjadi makhluk Malaikat Maut Izrail?

Aku sukai air. Air seumpama bayi bidadari yang tengah mengikat mimpi di jendela-jendela langit. Berkulit mengesankan. Miliki harum kasturi menghanyutkan.

Aku sukai air. Kemudian air mencurah dari atap-atap langit. Melalui atap-atap rumbia berenang-renang di tanah daratan. Bernyanyi-nyanyi di tanah sawah bersama bocah-bocah petani.

***

Aku idam sekali rumah kayu yang punyai pilar-pilar gagah. Dinding-dinding rumah penuh dengan tulisan kaligrafi mengesankan. Rumah itu rumah idaman untuk orang-orang yang tergila-gila akan kenangan pahlawan bangsa.

Memasak di rumah dapur1. dua jendela--hanya cukup untuk mengisi setengah badan di sisi barat dan sisi timur. Jendela-jendela itu akan beri sinar matahari untuk rumah. Menyimpan dan mengambil padi di lumbung padi.

Anak-anak akan riuh bermain kelereng di bawah rumah. Sebagian mempermainkan jingki penumbuk padi yang sebenarnya tidak boleh dimain-mainkan. Sebagian berputar-putar di pilar-pilar kokoh rumah. Sisanya mungkin akan bergelayut di cabang-cabang delima demi dapati buah yang masak.

Rumoh Aceh. Rumah manyang (tinggi) Aceh. Begitulah namanya.

Tapi di mana kini?

Petang kemarin, Sakdiah datang ke rumah bantuan kami yang gersang. Segersang wajah mukaku. Matahari masih merdeka--meski petang. Sinarnya menyengat sebab tiada badan pohon menghalau cahaya itu agar kembali ke awan langit.

Tangan kiri Sakdiah menjinjing rantang yang mengeluarkan harum.

Berbinar sakdiah berkata,”Kuah pliek2 ini aku bikin sendiri. Tidak pedas biar kamu suka, Fauziah.”

Ia amati garis mukaku yang tidak bersemengat.

Mengapa masih hidup dengan kenangan buruk Fauziah?

Sakdiah, baru empat tahun, mengapa telah lupakan kenangan?

Ia menggulung-gulungku Sakdiah--Kamu juga kan? Aku dibawa ke samudera lepas. Ia mengkaramkan Mak, abi dan Dek Nong. Ia menyeret rumah manyang idaman kita.

“Ah, Fauziah..”

Hingga kapanpun aku tak tahu harus menjawab apa. Mengapa masih hidup dengan kenangan buruk, Fauziah?

Lupakan kenangan buruk fauziah. Empat tahun bukan waktu yang pelan untuk melupakan.

Sakdiah. Sakdiah. Ini saja yang kau ulang-ulang.

“Laki-laki pendamping hidup akan buat kau lupakan kenangan buruk, fauziah!”

Sakdiah pulang.

Laki-laki pendamping hidup? Seperti Mala yang berbahagia?

Hujan. Air dari langit mencurah. Mengapa aku tak sadar? Melengking aku memanggil masyik (nenek).

Masyik berjalan lahan-perlahan seolah tidak tengah mengalami hal parah di luar. “Hujan adalah anugerah Fauziah. Air hujan akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.”

“Hujan ini raya masyik,” aku berlari ke muka jendela. Aku menunjuk biji-biji hujan yang seperti terpeleset dari badan langit.

Hujan akan semakin raya masyik. Hujan ini akan lahirkan samudera. Lalu ombak besar akan datang. Menggulung-gulung kita.

Danau mataku telah banyak memenjarakan bintang.

Suara bahagia anak-anak lahir di jalanan. Anak-anak itu girang kejar-mengejar.

“Lihat mereka yang tergila-gila dengan hujan fauziah. Hujan-hujan ini tidak akan menggulung kita. Hujan ini adalah rahmat.”

“Suruh anak-anak itu pulang masyik! Sebentar lagi hujan ini akan memanggil gelombang besar..”

“Oiii.. Pulang cepat!!”

“Po (Ya) Allah rabbi, kapan derita ini aka

Aku sukai hujan. Dulu. Aku sukai laut. Dulu. Aku jatuh cinta dengan air sumur. Dulu. Aku tergila dengan jernihnya air sungai. Dulu. Diam-diam aku juga masih simpan ingin untuk mencebur badan ke kali? Dulu.

Dulu. Sebelum gelombang besar itu datang dan membuat karam.

***

Yang kau butuh cuma laki-laki pendamping hidup untuk lupakan kenangan buruk, fauziah.

Terkenang-kenang aku dengan ucapan Sakdiah.

Aku bergumam, laki-laki? Siapa dia gerangan?

Suara masyik merdu mengaji. Hujan petang telah pergi. Tapi sepertinya akan datang lagi--yang membuatku berjaga. Sebab angin begitu hilir-mudik di sekitar rumah kami.

Aku tidak boleh lengah. Air tak boleh kalahkan aku lagi!

Tapi malam larut telah kalahkan kekuatan mataku. Dan malam itu hujan kembali mencurah. Lebih deras dari hujan petang.

***

Dengan Manan, pria tampan itu, diam-diam aku simpan suka. Tak pernah berani aku sebarkan. Bahkan untuk Manan yang kusukai itu. Dulu. Sebelum gelombang besar itu datang dan membuat karam.

Ketika pagi ini, angin begitu sejuk menerpa badan, hati siapa yang tidak terkejut ketika temukan yang mengetuk-ngetuk pintu adalah Manan.

Aku merasa mukaku telah merah padam seketika.

Masyik tergopoh menyuruh Manan masuk. Aku temani Manan duduk di ruang depan sementara masyik akan membuat kopi. Diam begitu diam menguasai setiap jarak kami.

“Saya baru pulang dari kota semalam masyik,”

Baru ketika masyik telah menghidangkan kopi untuk Manan, diam itu telah pergi. Meski aku hanya menjadi pendengar yang budiman. Ketika masyik kembali harus pergi, diam kembali menjadi pembicaraan kami.

Kata Sakdiah muka wajahku tak terlalu layu lagi.

“Manan memegang tanganku Sakdiah,”

Wajah Sakdiah diliputi kaget. Kemudian ujarnya pelan,”betulkan kataku, laki-laki pendampiang akan buat kau lupakan kenangan buruk.”

Telunjuk sakdiah mengarah ke jalanan. Manan tersenyum di atas sepeda motornya.

Ia membawaku jalan-jalan dengan sepeda motornya. Entahlah, atau ini hanya sekedar perasaan sesaat, laki-laki pendamping akan buatku lupakan segala kenangan buruk.

Di antara deru sepeda motor Manan berkata,”aku ingin menikahimu Fauziah…”

Terpaksa kupeluk pinggang Manan agar tubuhku tak terjerambab.

***

Petang ini aneh, Manan mengikat mataku dengan kain hitam berukuran kecil. Katanya, ia akan bawa aku ke suatu tempat

Manan mengunjungiku setiap petang. Dengan kunjungan itu, petang-petangku menjadi bunga yang jatuh cinta dengan sang kumbang.

Kurasa betul kini, manna telah buatku lupa akan segala kenangan buruk. Kurasa kini, aku bisa lagi mencintai air hujan seperti dulu.

Tapi hujan sama sekali tak lagi tercurah.

Kemudian sepeda motor mulai menderu. Aku tidak tahu menahu ke mana akan dibawa Manan. Sudah kucoba membuka mata, tapi hanya gelap saja yang kudapati dibalik kain hitam itu.

Lama perjalanan gelap itu. Lama sekali sampai hatiku begitu tidak sabar ingin tahu. sampai Manan menghentikan laju sepeda motornya. Telingaku menangkap bunyi-bunyi yang menghempas-hempas. Di mana ini? Angin pun begitu kuat menampar-nampar. Di mana ini?

Manan membuka kain hitam yang menyiksa penglihatanku.

Kurasa mata laut lepas itu akan menerkamku! Kurasa nyawaku tengah ditarik si Malaikat Maut.

Ia menggulung-gulungku. Menghantam kepalaku. Menganyutkan aku hingga timbul-tenggelam. Aku dibawa ke samudera lepas. Ia mengkaramkan Mak, abi dan Dek Nong. Ia menyeret rumah manyang idaman.

“Fauziaahhh….” .***