Pelukan Ayah

Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Alimuddin
Dimuat di Republika 06/07/2008



Bunda, tidak ada perang lagi. Perang sudah usai. Ayah Nur sudah pulang, Bunda. Cut juga sudah bisa memeluk tubuh gagah ayahnya. Dek Nong bahkan berkeliling kampung sambil berteriak girang bahwa ayahnya sudah pulang.

Tapi, mengapa ayah Dinda belum pulang, Bunda? Ayah Dinda di mana, Bunda?
Bagaimana rasanya dipeluk ayah, Bunda?

Bunda seolah tidak miliki jawaban lain untuk pertanyaan putrinya itu. Pertanyaan yang menyayat hati dan pikirannya. Seperti pisau yang membelah-belah dagingnya.

"Di mana ayah, Bunda?"
Dan, Bunda hanya bisa menjawab dengan lidah layu, "Ayah Dinda pergi mencari rezeki. Suatu hari pasti kembali." Perasaannya dia bujuk untuk tidak meledak di hadapan putrinya. Bibirnya dia paksa untuk tetap tersenyum.

Bunda menemukan cahaya mata putrinya tenggelam semacam sepotong petang yang karam di dasar laut. Mata itu dia tahu penuh rindu.

"Dinda ingin sekali dipeluk ayah, Bunda. Bagaimana rasanya dipeluk ayah, Bunda?"

Danau mata Bunda telah hancur berkeping-keping. Hatinya pun telah menjadi ranting kayu paling kering. Dan, dia peluk putrinya dengan tangisan luka. Bunda dan anaknya saling berpelukan. Detik seperti berhenti bekerja. Keheningan menjadi begitu menyiksa.

Dinda hanya ingin satu: ayahnya pulang. Tidak perlu ayah setampan ayah Dek Nong. Tidak usah ayah yang miliki uang banyak. Untuk hatinya, ayahnya pulang sudah cukup. Dan, kebahagiaan itu, baginya, bagai tangan mungilnya yang baru saja memeluk dunia.

"Bagaimana rasanya dipeluk ayah, Bunda?"

Bunda tidak pernah menjawab pertanyaan itu. Padahal tanya itu sering diulang-ulang putrinya. Dinda tak tahu apa yang yang tengah dipikirkan bundanya ketika dia tanyakan itu. Mungkin itu pertanyaan berat hingga Bunda sulit untuk menjawabnya.

Ketika ayah kawannya yang paling karib, Nur, pulang, dengan sejuta harap di dadanya, Dinda menarik lengan Nur. Mereka menjauh hingga ke bawah meunasah. Mereka menyepi seolah pembicaraan itu hanya untuk mereka berdua.

Dinda yakin sekali Nur tak akan menolak permintaannya. "Nur, boleh aku memeluk ayahmu?" tanya Dinda dengan gemetar.

Dan, Dinda takkan lupa mata Nur yang melotot ke arahnya. Mata yang, dia tahu sekali, hanya Nur berikan untuk si Agam -- anak paling bandel di kampung yang sering mengganggu main mereka.

Tapi, Nur adalah sahabat terbaik yang Dinda miliki. Dinda tak paham mengapa Nur bersikap begitu.
"Nggak boleh. Dinda nggak boleh peluk ayahku. Itu ayahku! Bukan ayah Dinda!" kata Nur.

"Sekali saja, Nur...," kata Dinda dengan mata bercahaya. Seolah sengaja dia penjarakan bebintang di dalamnya.
"Nggak boleh! Itu ayahku. Bukan ayah Dinda!"
Jalan di depan meunasah riuh oleh suara anak-anak sebaya mereka yang girang berlarian.

"Tapi, Dinda ini kawanmu, Nur...."

Nur kini menatap dengan bola mata yang menyimpan kemarahan.
"Nur benci Dinda.... Benci!"
Dan, Dinda tidak ingin mengejar Nur yang berlari menjauhinya. Hatinya telah menyempit. Lorong-lorong matanya telah sesak dengan air yang hendak keluar.

Dinda membawa jauh langkah kakinya dari bawah meunasah yang berpilar-pilar. Bau kuah pliek masih mengurung hidungnya. Dengan mata kabur dia pandangi baju-baju yang dijemur di pagar besi meunasah. Dia tatap langit luas. Siang tidak menyengat. Tapi, hatinya serasa tersengat.
"Bagaimana rasanya dipeluk ayah, Bunda?"
Dinda tahu bundanya tidak akan menjawab. Diapun bertanya pada angin, bagai hendak menangkap ikan di udara. Dan, bahu Dinda berguncang-guncang.

Sang ayah pergi suatu hari. Meninggalkan tanah sendiri dan menuju kampung lain, tanah seberang yang dijarakkan samudera yag bergelombang-gelombang.

Baginya, mencari rezeki di kampung sendiri mempertaruhkan nyawa. Di tanah seberang, mencari rezeki tidak dihantui ketakutan. Ia akan kembali satu hari, ketika perang di negerinya telah selesai, dan bedil tidak lagi haus darah.
Tapi, itu hanya cerita yang dipintal Bunda untuk putrinya, Dinda. Cerita sebenarnya, hanya tersimpan di dalam kenangan pahitnya.

"Di mana ayah, Bunda?"
"Ayahmu mencari rejeki, Dinda. Ketika perang telah usai, ayahmu akan kembali." Lidah Bunda pincang berucap. "Ia akan kembali bersama kita, Sayang."

"Tapi tidak ada perang lagi, Bunda. Kenapa ayah belum pulang juga?"
Perang memang telah usai. Maka sang ibu pun mengubah jawaban itu. "Ayah akan pulang suatu hari nanti, Dinda."

"Bagaimana rasanya dipeluk ayah, Bunda?"
Seluruh diri Bunda serasa lumpuh oleh pertanyaan itu. Dia hanya bisa diam. Bisa saja Bunda menjawab, "Hangat, Dinda. Dipeluk ayah itu hangat, Dinda." Tapi Bunda tidak siap dengan pertanyaan mematikan Dinda berikutnya. "Dinda ingin dipeluk ayah, Bunda." Karena, Bunda tak ingin hatinya lebur menjadi debu.

Dinda tak tahu mengapa, tiba-tiba saja matanya berkunang-kunang. Pohon pisang dimatanya seakan bisa berjalan. Pohon jambu berlari-lari seolah ingin menerkamnya dengan gaya harimau kelaparan. Dia lari terbirit-birit, lalu muntah-muntah sesampai di rumah.

Bunda menanyainya dengan perasaan khawatir. Dinda hanya bisa menggeleng dan mengangguk saja. Dia merasa rohnya tengah ditarik-tarik, lantas pingsan. Bunda membaringkannya di tempat tidur, menyelimutinya dengan air mata berderai-derai.
Hingga tengah malam tiba, Dinda belum sadar. Mulutnya mengigau, "Ayah... ayah....."
Bunda diserang gamang yang membadai. Dia tidak punya pilihan selain mencari kertas berisi alamat pria itu. Tapi, dia tidak menemukan kertas keramat itu di dalam almari pakaian lagi. Dia mengutuki kebodohan masa silam, sebab menolak lelaki baik hati itu. Akhirnya 'kertas sakti' itu pun ditemukannya di bawah tempat tidurnya.

Bunda berlutut di hadapan putrinya ketika akan pergi. Wajah Dinda tidak girang. Hanya pucat yang merona pada parasnya. Bunda terisak, dan menyeka air matanya sendiri.

Lalu Bunda kenakan pakaian terbaik yang dia miliki. Bibirnya dipoles merah menyala. Sebuah angkutan umum lantas membawanya ke suatu tempat, setelah menitipkan Dinda pada salah satu tetangga baiknya.

Tak lama Bunda pun pulang, dengan mengapit lengan seorang pria tampan. Sikapnya manja. Tapi cahaya matanya memancarkan kecemasan. Berkali-kali dia berbisik di telinga lelaki tampan tu. Mata tetangga pun menatapnya heran. Tapi, Bunda tak acuh saja. Yang ada di pikirannya, bagaimana kembali menemukan senyum di bibir Dinda esok hari.
"Dipeluk ayah hangat, Bunda..., hangat, Bunda."
Danau mata Bunda tenggelam, tapi kali ini sebab sejuta rasa bahagia.

Tahun-tahun timbul tenggelam. Dinda makin tahu bagaimana rasanya dipeluk ayah. Hangat. Tapi, pada suatu tengah malam hening, matanya tak bisa terpejam. Pembicaraan orang-orang kampung siang tadi telah merusak selera tidurnya. Maka Dinda ke sumur untuk mengambil air wudu. Lalu dia ucapkan doa untuk Tuhannya.
"Tuhan, bawa pulang ayah Dinda yang sebenarnya. Dinda mohon, Tuhan. Dinda ingin dipeluk ayah...."

Dari celah daun pintu kamarnya, Bunda hanya dapat menatap putrinya yang sedang berdoa sambil terisak, lalu dia menyeka air matanya sendiri dengan tangan gemetar. Luka masa lalu itu kembali menganga, memedihkan hatinya.***