Ruang Bawah Tanah

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Hamzah Puadi Ilyas
Dimuat di Suara Karya 08/12/2007



Di rumahku ada ruang bawah tanah. Tapi aku tidak pernah membuka pintunya, apalagi memasukinya. Entah mengapa aku tidak begitu tertarik. Kupikir paling-paling isinya hanya barang-barang bekas milik ayah - mesin ketik tua, pakaian-pakaian lusuh, sepatu-sepatu kumal, dan barang-barang elektronik yang sudah rusak.

Yang ada di benakku sejak lama adalah semua rumah pasti memiliki tempat seperti itu. Tapi sewaktu bermain dengan anak-anak tetangga, aku baru tahu bahwa tak seorang pun yang memiliki gudang bawah tanah di rumah mereka. Timbul rasa ingin tahu. Malam hari menjelang tidur, aku bertanya tentang ruangan itu pada ayah.

Aku tercengang. Kata ayah ruangan itu dihuni oleh makhluk halus bernama Mbah Suro. Bulu kudukku berdiri, sehingga aku minta kepada ayah agar jangan meninggalkan kamarku sebelum aku pulas. Lampu juga harus tetap menyala. Aku membayangkan sosok lelaki tua renta dengan rambut putih panjang yang menyentuh lantai.

Semenjak mendengar cerita itu pikiranku tak pernah lepas dari ruang bawah tanah dan Mbah Suro. Pernah aku membayangkan Mbah Suro yang sedang mengaduk bejana besar dengan air mendidih. Asap mengepul, menyebarkan aroma daging manusia yang sebentar lagi akan disantapnya.

Suatu hari, ketika hendak menuju dapur, aku seperti mendengar suara perempuan merintih. Rasa penasaran timbul, diselingi rasa ragu. Kudekati pintu ruang bawah tanah, dan kucoba melihat ke dalam melalui lubang kunci. Gelap terlihat. Sambil menarik napas dan berdoa kutekan gagang pintu. Keras. Lalu kulekatkan telinga kananku ke daun pintu untuk mendengarkan suara itu lagi. Sesaat tak terdengar apa-apa, hanya jantungku yang berdentum tak karuan. Tiba-tiba rumah seolah semakin sunyi dan ada angin yang menyapu kudukku. Secepat kilat aku kabur dari tempat itu.

Khayalanku semakin menjadi-jadi. Kepada teman-teman sepermainan aku sering bercerita bahwa di rumahku ada hantu bernama Mbah Suro. Aku juga menambah cerita bahwa makhluk itu memiliki mata hijau yang bisa bersinar dalam gelap. Semua temanku percaya, sehingga tak seorang pun yang mau datang ke rumahku.

Bukan hanya pada teman-teman sepermainan, aku juga bercerita pada semua orang - penjaja es keliling, tukang bakso, penjual kue, pemilik warung di ujung gang, tukang sayuran dan guru-guru di sekolah. Hingga pada suatu malam ayah datang ke kamarku.

"Anakku, kenapa kamu cerita tentang Mbah Suro ke semua orang?"
Aku memandang wajah ayah.
"Kamu terlalu memikirkan cerita ayah."
"Mengapa Mbah Suro ada di rumah kita, Ayah?"
"Ceritanya panjang, Anakku."
"Tolong ceritakan, Ayah."

Ayah menarik napas. "Asal kamu berjanji untuk tidak memikirkan Mbah Suro lagi dan jangan cerita pada siapa pun."
"Aku berjanji."
Ayah kemudian bercerita:

Mbah Suro dulunya adalah dewa yang tinggal di kayangan. Suatu ketika ia ditugaskan ke bumi untuk membuat dunia ini aman. Ia berwujud seorang pria. Wujud inilah yang lambat laun membuat sifat manusia melekat pada dirinya dan ia jatuh cinta dengan gadis cantik berbulu mata lentik. Ini membuat misinya tidak berhasil, dan ia diperintahkan untuk kembali ke kayangan.

Mbah Suro tidak bisa menghapus bayangan gadis itu. Bulu mata lentiknya selalu terbayang. Selama beberapa bulan ia terus memohon agar dikembalikan ke bumi, dan akhirnya keinginan itu dikabulkan. Dengan perasaan berbunga-bunga Mbah Suro segera menemui gadis pujaannya. Tapi ternyata gadis itu sudah menikah.

Mbah Suro sangat kecewa. Ia mencoba menemukan gadis lain. Tapi setelah lima tahun pencarian, tak seorang pun yang menyamai gadis berbulu mata lentik itu. Mbah Suro putus asa, dan akhirnya ia bunuh diri. Karena ia adalah setengah manusia dan dewa, ruhnya tidak bisa langsung kembali ke kayangan. Ia harus menunggu selama seribu tahun. Sejak itulah ia mendiami ruang bawah tanah.

"Itulah kenapa ayah selalu mengunci pintu ruang bawah tanah. Jangan pernah mencoba untuk memasukinya, atau kamu akan menemui makhluk berumur lebih dari tiga ratus tahun. Sangat menyeramkan dengan rona kesedihan abadi."

Aku langsung terpejam. Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku.

* * *

Aku berhenti memikirkan ruang bawah tanah dan Mbah Suro saat masuk SMP. Tapi aku merindukan figur seorang ibu. Ketika kutanyakan ayah apa yang sebenarnya terjadi pada ibu, ayah berkata bahwa aku tidak perlu memikirkan ibu karena ia telah berada di suatu tempat yang aman.
"Tempat apa, Ayah?"
"Tempat dimana tak seorang pun bisa melukai perasaannya."
Aku tak mengerti, tapi aku hanya diam.

Ayah kembali bercerita tentang Mbah Suro. Tapi aku sudah tidak tertarik lagi. Cerita ayah yang dulu kuanggap sebagai akal-akalan saja agar aku tidak menjadi anak nakal. Ayah akhirnya tak lagi bercerita tentang ruang bawah tanah dan Mbah Suro. Kisah itu adalah bagian dari masa kecilku yang kuanggap sebagai dongeng sebelum tidur.

Hidupku terasa sepi. Ayah selalu pulang malam hari. Untuk membunuh rasa sepi, aku menghabiskan waktu dengan membaca cerita silat. Aku seperti kecanduan, hingga aku jarang berbicara pada ayah. Tapi ia selalu memberikan apa yang kuminta.

Hari berlalu. Aku mulai naksir teman di sekolah. Setelah sekian lama kupendam perasaan itu, kuberanikan diri untuk berterus terang. Ia menolak cintaku. Aku sangat kecewa. Berjam-jam kupandangi wajahku di cermin. Apakah aku jelek? Tapi pemilik warung di ujung gang bilang bahwa aku tampan seperti ayahku.

Suatu hari aku lewat di depan rumah tetangga yang sangat percaya mistik. Aku terkejut karena tiba-tiba ada yang menarik lenganku. Aku diminta duduk di kursi tamu. Kupandangi wajah kotaknya saat ia berkata bahwa ketampanan dan jiwa mudaku telah diserap oleh ayah. Itulah mengapa sampai saat ini ayah masih tetap muda dan disukai banyak wanita. Sedangkan aku sampai kapan pun tak akan pernah dicintai wanita.

Aku menganggap itu hanya kelakar saja dan ia cemburu melihat ayah yang berwajah tampan. Tapi lambat laun pikiran itu mengusik hatiku karena hampir setiap hari libur ada saja wanita yang bertandang ke rumahku. Mereka selalu bercakap-cakap dengan ayah di ruang tamu. Kadang-kadang kudengar tawa mereka.

Ayah selalu mengenalkan tamu wanitanya kepadaku. Mereka semua bilang bahwa aku juga sangat tampan. Awalnya aku merasa terhibur, tapi lama-kelamaan aku menganggap itu hanya pujian untuk menarik hatiku. Mulai saat itu aku memasang wajah cemberut saat diperkenalkan kepada tamu ayah, meskipun kutahu ayah tidak suka dengan sikapku.

"Anakku, kamu harus sopan dengan tamu-tamu ayah. Siapa tahu salah satu dari mereka akan menjadi ibumu." Kata ayah suatu malam saat aku sedang membaca cerita silat di tempat tidur.
Aku diam saja. Ayah mengusap rambutku sebelum pergi.

* * *

Tamat SMA aku pergi ke ibu kota untuk kuliah. Aku jarang menghubungi ayah karena sibuk dengan pelajaran dan kegiatan kampus. Sesekali ayah menghubungiku, menanyakan tentang kuliah, kesehatan dan biaya hidup. Aku bilang pada ayah untuk tidak khawatir karena aku mendapat beasiswa dan bekerja paruh waktu.

Lima tahun kemudian aku lulus, dan langsung bekerja sebagai reporter di sebuah stasiun televisi. Tugas-tugas peliputan membawaku pergi ke berbagai tempat, hingga ke manca negara. Aku semakin sibuk dan semakin jarang menghubungi ayah. Lambat laun hubungan kami seperti terputus.

Kadang-kadang aku seperti lupa bahwa aku masih memiliki seorang ayah. Kadang pula ingatan akan ayah muncul saat aku sedang tidak sibuk bekerja. Tapi aku seolah merasa bahwa ia sudah menikah lagi dan memiliki beberapa anak. Itulah mengapa ia juga tak pernah lagi menghubungiku.

Aku merasa sudah waktunya untuk berumah tangga. Tapi anehnya setiap wanita yang kuajak menikah selalu menolak, meskipun mereka sangat dekat denganku sehari-hari. Ada-ada saja alasannya. Aku jadi teringat kata-kata tetanggaku. Apakah memang benar ketampananku telah diserap oleh ayah?

Pada saat kesepian semakin memuncak dan aku membutuhkan seorang pendamping di sisiku, tiba-tiba ayah menghubungiku dan memintaku untuk pulang. Setibanya di rumah, kulihat ayah sedang duduk di kursi goyang. Ia masih tampan, tapi tubuhnya terlihat lemah.
"Anakku, maafkan ayah."

"Aku yang seharusnya minta maaf. Aku telah meninggalkan Ayah begitu lama." Aku hampir menangis melihat tangan ayah yang gemetar.
"Tidak, Anakku. Selama ini ayah telah bersekutu dengan iblis."
"Apa maksud Ayah?"

"Mari kita ke ruang bawah tanah. Akan ayah tunjukkan sebuah rahasia. Ayah ingin mati dengan perasaan tenteram dan damai."
Ruang bawah tanah? Seketika kenangan tentang Mbah Suro mencuat.

Ayah membuka pintu yang selama ini digembok. Aku mengikuti langkah ayah yang sangat pelan. Rupanya ada undakan-undakan seperti anak tangga yang menurun. Aku dapat mendengar napas ayah di kegelapan. Napas itu sudah sangat lemah.

Saat aku menginjak undakan terakhir, ayah menyalakan lampu. Terlihat peti kayu besar di tengah ruangan. Ayah sudah berada di samping peti itu. Ia sekilas memandang ke arahku. Mata ayah seperti mata kucing di kegelapan, tetapi tidak menakutkan.

Aku masih tetap berdiri di undakan terakhir sambil tanganku memegang dinding yang terasa dingin. Aku berada sekitar lima langkah dari ayah yang kulihat sedang membuka gembok peti itu.

"Anakku, inilah rahasia ayah." Kata ayah saat peti itu terbuka. "Kemarilah dan lihat!"

Aku mendekatinya. Tapi tiba-tiba aku mundur lagi beberapa langkah. Jantungku seperti melompat keluar menembus dada. Tubuhku gemetar. Ada kerangka manusia di dalam peti itu.
"Ayah, kerangka siapa itu?"
"Inilah ibumu."
Udara seperti menggumpal di tenggorokanku. "Kenapa Ayah membunuh ibu?"

"Ayah tidak membunuhnya. Ia meninggal saat melahirkanmu. Karena sangat mencintainya, ayah meletakkannya di sini agar selalu dekat dengannya. Ayah telah berusaha untuk mencari penggantinya, tapi tak seorang pun yang mampu mengalahkan kecantikan ibumu."

Ayah berlutut di samping peti. Ia mengusap kerangka ibu. Tubuhku kaku. Mataku tertuju pada kerangka itu. Lalu kupalingkan pandangan ke arah ayah. Ia kini tampak sangat tua dan keriput. Rambut putihnya seperti memanjang dan menyentuh lantai.

Tiba-tiba ayah mengangkat wajahnya, dan melihat padaku. Aku sedikit takut. Apakah ia benar-benar ayahku.
"Ayah," kataku. "Apakah Ayah Mbah Suro?"
Tatapannya penuh kepedihan. Lalu ia mengangguk. ***