Sakila
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Hamzah Puadi Ilyas
Dimuat di Suara Karya 09/08/2008
Namanya Sakila. Ia benci manusia, tapi bukan yang berkelamin wanita. Itu menurut ceritanya dari balik jeruji penjara. Apakah ia berdosa?
Sakila telah menatap kekerasan, mereguk kemarahan, dan berselimut kesedihan dalam setiap detak jam. Suatu pemandangan yang indah jika engkau tak pernah mengenal kebaikan. Apa itu kebaikan? Tak ada yang bisa mengukurnya dan tak punya standar. Sakila melihat itu dengan samar, tak sadar sedang berada di wilayah mana karena ia tak mengerti apa-apa.
Ia baru mengerti dosa saat berada dalam penjara. Itu juga saat ada orang yang datang - lelaki tampan mantan preman- sambil membawa kitab tebal. Dari sikap orang itu yang ramah, sopan dan menyejukkan, Sakila mulai mengenal kelembutan hati serta kepasrahan jiwa. Jauh di dalam ruang kosong dirinya, Sakila merindukan hal itu.
Lelaki itu mulai membimbing Sakila, mengajarinya mantra-mantra penyejuk rasa dan pembangkit jiwa. Lelaki itu menyebutnya doa. Katanya, "doalah yang telah menjauhkan diriku dari kehancuran. Begitu pun dengan engkau Sakila. Kau akan segera mengetahui mukjizatnya. Berdoalah."
* * *
Sakila cantik, tapi tak mengerti arti kecantikan. Yang ia tahu hanyalah berada di antara perempuan-perempuan perkasa. Mereka silih berganti menghirup harum bunga yang baru mekar. Tingkah mereka bagai kumbang jantan yang sedang bermain-main di kelopak bunga. Kadang Sakila juga menikmati, terutama saat gejolak beranjak panas.
Sakila menjadi gemulai jika berdekatan dengan perempuan perkasa. Itulah yang diharapkan oleh Mela, kumbang betina yang suka menghisap putik bunga. Ia sangat berkuasa bak seorang raja.
Mela buas. Ia biasa menjilat dan menggigit. Lidahnya menyapu setiap titik-titik keringat yang muncul dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia akan terus begitu hingga kelelahan menyapa dan kepuasaan menyundut raga, dan akhirnya terlentang lemah di atas kasur busa.
Syakila -perempuan polos yang tak tahu ada kata 'dosa'- tak mengerti bahwa Mela juga serpihan luka, walau berasal dari sayatan pisau berbeda. Tapi Mela sangat mengerti dengan sebutan yang ditujukan padanya, karena selama bertahun-tahun ia duduk di bangku ruang kuliah, mendengarkan ceramah tentang ketidaknormalan. Bahkan ada yang menyalahkan. Orang-orang tak sadar bahwa Mela adalah bagian yang sedang mereka perbincangkan. Bila tahu, mungkin akan bergidik atau meludah.
Sesekali Mela muak. Kadang pada dirinya sendiri, kadang pada para penuduh yang dianggapnya sok suci. Tapi ia sebenarnya sengsara, cuma pandai memainkan kaca. Sehingga yang tampak adalah tertawa.
Siang malam Sakila menjadi penyedap rasa, pemanis duka, penawar hasrat dan bantal guling yang bernyawa. Ia bisa berada dimana saja - dada, muka, tangan, paha. Dunia menjadi begitu indah karena dia, terutama untuk Mela yang perkasa. Tapi Sakila tetap tak bisa mengerti. Ia sekedar menjalani hidup yang telah ditakdirkan.
* * *
Sakila sedang menghisap puting ibunya ketika tangan kekar sang ayah menarik lengan wanita sendu itu.
"Anak sudah besar masih dibiarkan menetek!" Ayahnya membentak. Sakila menjerit. Ibunya berusaha meneruskan, tapi tangan itu terlalu kuat untuk dilepaskan.
Dengan mata indahnya, Sakila melihat ibunya yang sudah sangat jenuh dan lelah, tetapi harus melayani lelaki mabuk. Lelaki itu terus memacu kelaparannya atas sebuah pelepasan. Sakila telah didorongnya menjauh. Punggung anak itu meraba dinding sudut ruangan. Berjongkok dan menangis.
Lelaki itu melolong bagai srigala dan mengerang penuh kepuasaan. Tangannya yang legam membawa pecut. Bagai seorang penunggang kuda, ia memecut kudanya agar berlari lebih kencang. Suaranya bagai kilatan halilintar.
Sakila melihat ibunya bagai kuda yang merintih kesakitan. Wanita itu telah melepaskan suara penderitaan dan erangan menyayat, tapi ayahnya sama sekali tak peduli. Lelaki yang mulutnya bau comberan itu terus memberikan sabetan-sabetannya. Ia makin bersemangat mendengar suara yang keluar dari rasa kepedihan. Gairah yang muncul dari buhul-buhul yang dilemparkan iblis.
Sambil mengeluarkan lolongan, ayahnya jatuh terkulai di atas kuda tunggangannya. Perlahan-lahan ibunya akan melepaskan diri dari dedemit itu. Ia merasa sangat kotor, lalu berjalan lunglai menuju kamar mandi. Kemudian wanita itu akan kembali kepada Sakila dan mereka pindah ke kamar lainnya.
"Kenapa ibu mandi?"
"Lelaki itu najis anakku." Kata ibunya. "Jangan kau biarkan najis lelaki menempel pada kulitmu. Apalagi memasuki pintu gerbangmu. Ia akan membuatmu menderita busung lapar dengan perut membesar."
"Kenapa begitu?"
"Kelak kau akan tahu. Tetap ingatlah kata-kata ibu."
Lalu ibunya memeluk Sakila dan melanjutkan memberikan putingnya agar dihisap Sakila. Telah lima tahun Sakila melakukan hal itu. Ia tak lagi bisa membedakan apakah benda yang menggelantung di dada ibunya itu masih mengeluarkan minuman segar atau tidak.
Jika lelah, kedua wanita itu akan berpelukan mesra. Sakila merasa seperti kembali ke rahim ibunya, dilindungi dinding-dinding perkasa yang menjauhkannya dari mahluk-mahluk yang siap memangsa. Itulah saat-saat bahagia yang tak akan pernah terlupa.
Sejak itu tertanam di jiwa bahwa kedamaian ada dalam rangkulan wanita, bukan pria. Pria itu cuma penunggang kuda dan penyiksa.
Sakila makin lengket pada ibunya. Walaupun sudah masuk sekolah, pada saat-saat tertentu Sakila masih menetek, dan ibunya tidak peduli. Ia biarkan saja Sakila mencari kepuasan. Tak ada lagi yang bisa diberikan untuk menyenangkan hati anaknya.
Tapi lambat laun kesenangan itu dirampas. Oleh siapa lagi kalau bukan seorang pria yang mengeluarkan napas comberan. Ia selalu datang tiba-tiba dan memaksa ibunya untuk memberikan uang. Jika tidak, tangan iblis itu melayang ke pipi ibunya.
"Kita akan pindah dari tempat ini anakku." Ibunya berkata dengan suara parau suatu ketika. Suara merdunya hilang karena terlalu sering menjerit kesakitan. Ada jejak pagutan di lehernya yang pucat. Orang-orang berperasaan yang melihatnya pasti akan ngeri. Makhluk apa yang telah menancapkan taringnya di sana.
"Kamana Ibu?"
"Kamu akan tahu nanti." Kata wanita itu. "Yang pasti ke tempat yang lebih murah."
"Kenapa kita tidak boleh tinggal di sini?"
"Ibu tidak mampu lagi."
"Kenapa?" Sakila terus bertanya.
"Ibu sudah tidak punya uang." Wajah ibunya semakin muram. "Cepat bereskan barang-barangmu. Ini dua kantong plastik."
Syakila tak bergerak.
"Tapi kita akan kemana Ibu?" Sakila merengek.
"Anakku. Jangan bertanya terus. Kita akan pindah ke rumah di dekat kali itu. Di sana sewanya tidak semahal di sini."
Terbayang oleh Sakila rumah-rumah kayu yang berdiri sepanjang kali yang biasa ia lewati sewaktu berangkat ke sekolah. Ia membayangkan anak laki-laki yang biasa meledeknya saat melewati jembatan. Mereka sangat jahat seperti ayahnya. Dan ia selalu mengingat kata-kata yang sering diucapkan ibunya - Laki-laki itu najis anakku.
Sakila bergegas ke kamar. Ia memasukkan baju-bajunya yang kebanyakan sudah lusuh ke dalam kantong plastik pertama, lalu buku-buku pelajaran ke dalam kantong kedua. Terakhir ia mengambil boneka berambut pirang kesayangannya. Setelah itu ia kembali ke ruang tengah.
Saat Sakila duduk di kursi menunggu ibunya yang sedang membereskan barang-barang, tiba-tiba muncul ayahnya sambil membawa botol minuman.
"Mana ibumu?" Ia berteriak. Sakila sangat takut. Tubuhnya mengkerut. Ia terbayang peristiwa-peristiwa malam hari yang membuat ibunya menjerit kesakitan.
Sakila berlari ke dalam dan merangkul ibunya. Ayahnya mengikuti dengan pandangan srigala liar yang kelaparan.
"Aku butuh uang. Berikan!!!"
"Aku sudah tidak punya uang lagi. Sudah kupakai untuk membayar uang muka sewa rumah." Ibunya berkata terbata-bata. Tangannya memeluk tubuh Sakila.
"Apa?! Kamu ingin melarikan diri dariku." Pria itu menenggak lagi air haram. "Cepat berikan! Kalau tidak..."
"Sungguh, sudah tidak ada." Ibunya memelas.
Lelaki itu mendamprat dengan kata-kata kotor. Ludah bercipratan, bagai semburan bisa ular. Lalu tangannya menarik rambut wanita itu dan menyeretnya ke luar kamar. Wanita itu berteriak minta tolong. Sakila hanya bisa menangis sambil memegangi daun pintu.
Pipi wanita itu kembali ditampar. Entah yang keberapa kali. Ia kehilangan keseimbangan. Tubuh kurusnya terhuyung dan kepalanya membentur tembok. Sesaat ia diam, dan secara perlahan tubuhnya runtuh ke lantai.
Mendengar jeritan Sakila dan teriakan ibunya, beberapa tetangga berlarian ke rumah itu. Beberapa orang menangkap tangan lelaki mabuk itu. Tapi ia berontak sehingga kepalan tangan mendarat ke wajahnya. Ludah kembali muncrat, kali ini berbau bangkai.
Para wanita datang mendekati tubuh yang terbaring di lantai. Suara-suara sanjungan Tuhan dikumandangkan. Sakila memeluk ibunya sangat erat. Seerat lakban.
Mulutnya terus memanggil-manggil ibunya.
* * *
Sakila berada dalam selimut bersama Mela yang sedang tertidur lelap. Sakila perlahan menyingkap selimut karena mendengar suara itu lagi, berkali-kali. Laki-laki itu najis anakku. Laki-laki itu najis anakku.
Ia termangu beberapa saat, lalu membuka jendela untuk mencari dari mana datangnya suara itu. Tiba-tiba angin menabrak dirinya. Ia melangkah ke belakang. Angin itu seolah terpental kembali, menghalangi cahaya bulan. Kemudian angin itu seperti membentuk tubuh seorang wanita. Ya, itu adalah ibunya. Laki-laki itu najis anakku. Laki-laki itu najis anakku.
Sakila bagai terhipnotis. Ia berbalik, menatap ke tempat tidur dan melihat tubuh kekar Mela yang telanjang bagai sesosok laki-laki perkasa. Suara itu kembali berbisik di telinganya. Kali ini seperti ada beratus-ratus pembisik, menghunjami pikirannya dengan suara-suara. Laki-laki itu najis anakku. Laki-laki itu najis anakku.
Sakila tiba-tiba menjadi liar dan merasakan kekuatan yang luar bisa. Matanya nanar. Jari-jarinya membentuk cakar. Kebenciannya pada laki-laki memuncak, terbayang ibunya yang terus-menerus disiksa hingga menderita. Dalam diri Sakila ada 'dia' yang tak bernama, namun daya sihirnya bagai magma.
Tanpa diduga Sakila melompat ke atas tempat tidur dan dengan cepat mencekik leher dari seonggok tubuh yang dianggapnya sebagai sosok lelaki jahat. Tubuh itu mencoba berontak, tapi tak memiliki tenaga karena telah terkuras pada permainan dahsyat beberapa jam sebelumnya. Lambat laun gerakannya menjadi lemah dan akhirnya diam dengan lidah menjulur.
Laki-laki itu najis anakku. Laki-laki itu najis anakku.
* * *
Sakila mengenal dosa setelah datang seorang lelaki mantan preman yang membawa kitab tebal. Dialah yang mengajarkan kata itu. Tapi sebelumnya Sakila tidak pernah tahu dan mengerti apa itu dosa. Kini ia jadi suka termenung.
Ada perasaan kangen yang dirasakan Sakila untuk kembali bertemu dengan orang itu bila ia telah pergi. Perasaan yang dulu tak pernah ada dalam benaknya. Apalagi yang bernama laki-laki. Tapi akhirnya Sakila bercerita tentang dirinya, tentang ibunya, tentang ayahnya, tentang Mela, dan juga tentang perasaannya pada lelaki mantan preman yang membawa kitab tebal itu.
Itulah cerita yang telah dituturkannya kepadaku. Karena akulah lelaki mantan preman yang membawa kitab tebal itu dan telah mengenalkan kata 'dosa' padanya. Aku mengajarkan doa, bukan mantra.***