Mawar dan Ilalang
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Tary
Dimuat di Suara Pembaruan 10/06/2007
Senja hampir selesai. Matahari serupa bola merah yang menggelinding ke balik bukit. Meninggalkan jejak jingga pada lengkung langit barat. Aku berdiri di depan jendela. Memandang rumpun mawar yang meremang di hadapanku. Mendadak ada mata pisau yang menghunjam dadaku.
"Kuncup mawar ini akan mekar dan mengharumkan kamarmu," katamu suatu senja, seusai menanam rumpun mawar di bawah jendela kamarku.
Aku meneliti kedua liang matamu. Ketulusan tampak benderang di sana. Kau tersenyum, menepuk-nepuk telapak tanganmu yang penuh tanah lalu menyeka peluh yang menetes di pelipismu.
"Kau yakin mawar itu akan mekar?" tanyaku ragu.
Sekilas mendung melintasi wajahmu. Kau menunduk, menghela nafas berat lalu berucap lirih, "kuharap begitu. Jika saja kau mau membiarkannya hidup lalu merawatnya."
Jika saja kau mau membiarkannya hidup lalu merawatnya....
Aku selalu mengulang kata-katamu itu setiap malam menjelang tidur. Sejak kecil, aku tak pernah menyukai bunga. Apalagi mawar yang penuh duri, terlihat cantik namun mudah melukai. Menurutku, ilalang lebih menawan ketimbang semua jenis bunga. Tampak tegar tanpa kesan menggoda.
Namun, setahun terakhir kau tak pernah absen mengirimiku mawar setiap senja akhir minggu. Bahkan sudi bersusah payah menanam rumpun mawar di bawah jendelaku. Tidakkah kau tahu? Membuat seseorang menyukai sesuatu yang tidak disukainya seperti menunggu pohon mangga berbuah kecapi. Aku tak sampai hati mengatakan itu padamu. Kuterima mawarmu setiap senja akhir minggu, kumasukkan ke dalam vas di pojok kamar lalu kubiarkan layu. Kelopak-kelopaknya mengering berguguran.
"Rawatlah mawar itu agar mekar," pintamu.
Aku memandang rumpun mawar di bawah jendela. Bimbang.
u
Apakah aku sanggup merawat mawarmu? Sedangkan sampai hari ini kubiarkan ilalang pemberiannya tumbuh liar di halaman rumahku. Masih kukenang pertemuan pertamaku dengannya. Suatu pagi berkabut ketika aku menyusuri jalan setapak di kaki bukit. Ia datang menghampiriku dengan senyum mengembang. Tangan kanannya mengulurkan seikat ilalang.
"Kau suka ilalang, bukan?"
"Siapa kau?"
"Aku seorang pengelana yang mencintai ilalang."
"Kenapa kau mencintai ilalang?"
"Karena ilalang mengajariku ketegaran."
Aku menyukai jawabannya.
"Kau sendiri kenapa menyukai ilalang?"
"Karena terlihat tegar tanpa kesan menggoda."
Kau tersenyum, mengerling. "Alasan kita sama."
"Ya, sama."
Tak butuh banyak waktu untuk membiarkan ilalang itu tumbuh. Hanya tiga kali siram, daun-daunnya mulai tegak menghijau. Lalu beberapa bulan kemudian tumbuhan itu merajalela. Memenuhi halaman depan dan belakang rumahku. Bahkan ilalang-ilalang itu tumbuh di tengah batu padas samping rumahku. Daunnya yang panjang menjulang ke udara dan sesekali bergerak gemulai tertiup angin, seolah ingin mengatakan "hei manusia, kenapa kalian putus asa? Lihatlah aku, tumbuhan yang tak pernah menyerah pada kesulitan hidup!" Dan aku benar-benar jatuh cinta.
Waktu yang bergulir menjadi milikku, miliknya dan ilalang. Banyak hal menarik kami jalani bertiga. Kami merasa hari-hari adalah pembelajaran. Kami tahu hari-hari semakin tumbuh dewasa. Kami ingin hari-hari tak akan pernah berakhir. Hingga suatu ketika ia datang padaku dengan raut wajah tak biasa. Sebuah ransel hitam menggelayut di punggungnya.
"Aku akan pergi," katanya.
"Mengapa kau pergi?"
"Pengelana selalu pergi ke tempat yang berbeda."
"Apa kau akan kembali?"
"Aku tidak tahu."
Mendadak ada mata pisau yang melukai dadaku. Ia akan pergi setelah memenuhi halaman rumahku dengan ilalang. Tumbuhan kesukaanku dan kesukaannya. Diam-diam aku memaki dalam hati. Mengapa ia harus pergi? Apakah ia pernah berpikir bahwa aku dan ilalang tak ingin kehilangannya? Apakah ia pernah berpikir bahwa aku tak bisa bertahan tanpa dirinya? Apakah ia pernah berpikir bahwa rasa telah menyelinap?
"Ilalang-ilalang itu akan menjagamu. Kau tak perlu merawatnya, namun ia akan tetap hidup di halamanmu."
Dan ilalang itu memang tak pernah mati. Bertahun-tahun setelah kepergiannya yang tanpa kabar, halaman rumahku semakin penuh dengan ilalang. Sampai kemudian ibu risih melihatnya.
"Ilalang-ilalang itu menjadikan halaman rumah kita seperti hutan. Ibu akan mencabut dan membakarnya."
Aku tak bisa menyanggah kata-kata ibu. Halaman rumah kami memang sudah menyerupai hutan. Ilalang liar tumbuh di mana-mana memenuhi setiap sudut halaman. Meski sedih, aku membiarkan ibu mencabut, membakar dan membuang abu ilalang itu ke tempat semestinya. Namun, tak kubiarkan ibu mencabut sebatang ilalang yang tumbuh di bawah jendela kamarku. Sampai kemudian kau datang menanam serumpun mawar di samping ilalang itu. Memintaku membiarkan mawar itu hidup dan merawatnya.
Apakah aku bisa menyukai mawarmu seperti ilalangnya?
u
"Mawar adalah bunga yang luar biasa, kau harus merawatnya," kata ibu ketika melihat rumpun mawar di bawah jendela kamarku. "Sayang sekali, ilalang ini akan merusak kecantikan mawarmu."
Tangan ibu terulur hendak mencabut sebatang ilalang di samping rumpun mawar. Aku menarik tangan ibu.
"Biarkan ilalang itu tetap hidup, Bu."
"Tetap hidup untuk membunuh rumpun mawar itu? Jarak keduanya sangat dekat, akar ilalang itu akan menjalar dan merusak rumpun mawarmu."
Aku menggeleng. "Mereka akan tumbuh bersama-sama."
"Sampai kapan kau akan mempertahankan ilalang itu?"
Aku membuang pandang dari tatapan ibu yang tajam, menghela nafas berat lalu menjawab lirih, "sampai waktunya tiba..."
Sampai waktunya tiba...
Namun waktu itu tak juga tiba. Waktu yang kuharapkan membawa ia kembali dengan seikat ilalang. Waktu yang akan kujadikan alasan untuk tetap membiarkan sebatang ilalang itu hidup. Waktu yang tepat untuk mengatakan padamu bahwa aku tak pernah menyukai bunga mawar.
Dan ibu mulai melibatkan diri mengurus mawar di bawah jendela itu. Setiap pagi dan sore menyiramnya dengan seember air. Setiap minggu menyiangi dan memotong batang-batangnya yang mengering. Bahkan ibu membelikan pupuk khusus untuk mawar itu. Perlahan batang mawar yang hampir mati itu menghijau dan bertunas. Ada kuncup-kuncup bunga di pucuknya.
"Terima kasih telah merawat rumpun mawar itu," katamu.
Aku ingin mengatakan bahwa yang merawat rumpun mawar itu adalah ibu, namun lidahku berubah kelu melihat ketulusan yang benderang di kedua liang matamu. Seharusnya aku belajar menghargai ketulusanmu.
"Sebentar lagi mawar itu akan mekar," katamu lagi penuh semangat. "Sekuntum mawar merah yang anggun, seperti yang kuberikan padamu setiap senja akhir minggu. Dan kuharap kau menyukainya."
"Ibu sangat menyukai mawar itu, tapi..." aku menghentikan kata-kataku, meyakinkan diri sendiri, apakah aku akan benar-benar mengatakan bahwa aku tidak pernah menyukai mawar? Sanggupkah aku menodai ketulusanmu?
"Perempuan memang selalu menyukai mawar," sahutmu, tersenyum percaya diri. "Kita tunggu sampai kuncup-kuncup mawar itu mekar."
Beberapa minggu lagi kuncup-kuncup mawar itu sepertinya benar-benar akan mekar. Dan waktu yang kutunggu tak juga tiba. Mungkin ia tak akan pernah datang membawa seikat ilalang. Sementara sebatang ilalang di samping rumpun mawar itu mulai menguning. Daun-daunnya yang biasanya tegak, kini terkulai layu. Ilalang itu tak lagi mampu menjagaku.
"Ilalang ini sudah mati, bolehkah Ibu mencabutnya?" tanya ibu suatu sore ketika hendak menyiram rumpun mawar di bawah jendela.
Aku menggigil. Benarkah sebatang ilalang itu telah mati? Dan ibu akan mencabutnya, menyingkirkan ke tempat sampah lalu membakarnya. Ilalang terakhir yang kumiliki, benarkah ia telah mati?
"Lihat! Mawar merah itu telah mekar! Kau akan menyukainya!" kata ibu esok paginya setelah mencabut sebatang ilalang terakhir yang mati.
Dan mawar itu benar-benar mekar. Kini, dari depan jendela tempatku berdiri, aku bisa melihat kelopak-kelopak mawar merah yang anggun bergoyang dalam remang cahaya petang. Aku suka melihat mata ibu berbinar bahagia. Aku senang melihat ketulusanmu benderang tak ternoda. Namun jauh di dasar hatiku aku masih selalu bertanya-tanya.
Apakah suatu ketika nanti aku bisa menyukai mawarmu?***
Telaga Sarangan196, 15.03.07