Pisau yang Bergetar
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Tary
Dimuat di Lampung post 09/25/2005
AKU meraba pisau lipat yang bergetar di saku bajuku. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, kulihat seorang perempuan sedang tidur pulas. Rambut berombaknya tergerai berantakan, matanya mengatup rapat, napasnya naik turun teratur dan daster merahnya tersingkap menampakkan kulit tubuhnya yang langsat.
Aku melihat jam. Pukul sembilan malam, hari kelima ayah bertugas ke luar kota. Di luar hujan. Rumah lengang. Hanya terdengar denging nyamuk dan suara air menetes dari celah-celah genting bocor. Besok ayah pulang. Dan aku tak mau kehilangan kesempatan seperti hari-hari kemarin. "Aku harus melakukannya malam ini!"
Pisau lipat itu semakin bergetar. Permukaannya berkilat tertimpa sinar lampu. Aku menoleh ke kiri ke kanan. Memastikan tidak ada siapa pun. Kutarik napas panjang, mengusir ragu yang tiba-tiba mengepung. Hati-hati kudorong pintu dan melangkah ke dalam kamar. Mataku berkilat mencermati tubuh perempuan itu. Aku tersenyum. "Malam ini kau akan mati di tanganku! Malam ini aku akan merebut ayah dari tanganmu!"
Aku maju beberapa langkah. Mendekati pembaringan perempuan yang tak menyadari maut tengah mengintainya. Setelah mengumpulkan keberanian dan kekuatan, aku mengangkat pisau lipatku tinggi-tinggi. Tepat di atas jantungnya, pisau itu kuhujamkan. Darah muncrat.
"Awww! Aduh! Kauuu!" Perempuan itu menjerit. Matanya mendelik menatapku.
Aku tak menunggu lama. Kutarik pisau lipat itu dari jantungnya, kembali kuangkat tinggi-tinggi dan kuhujamkan dengan kekuatan penuh. Dua kali! Tiga kali! Empat kali! Lima kali! Dan entah sampai berapa kali lagi pisau lipat itu menembus jantungnya. Hingga isi perut perempuan itu terburai. Darah menganak sungai membasahi sprei dan tubuhku sendiri terkulai. Terduduk di tepi pembaringan. Namun aku gembira. Dadaku berbunga-bunga. Setelah ini, tak ada lagi orang yang merenggut ayah dari sisiku. Setelah ini, aku bebas bercerita dan bermanja pada ayah seperti dulu. "Pergilah ke neraka, perempuan penghalang!"
***
"PEJAMKAN matamu Lini, malam sudah larut" suara ayah begitu lembut. Menyusupi gendang telingaku, meresapi kalbuku. Tapi, aku belum ingin memejamkan mata. Aku merajuk pada ayah. Minta didongengi kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan.
"Kolokan sekali kau ini Lini. Kau sudah kelas tiga SD sekarang. Tak pantas mendengarkan dongeng lagi." Ayah menjentik hidungku gemas dan mulai mendongeng. Aku memejamkan mata. Menikmati alur dongeng yang sangat kusuka. Ketika ayah mengakhiri dongeng itu, aku minta diulang.
"Kenapa kau sangat menyukai dongeng itu, Lini?"
"Karena Jaka Tarub itu ayah dan Dewi Nawangwulan itu ibu. Bukankah ibu juga pergi ke langit ketika aku masih bayi?"
Ayah menghela napas berat. Matanya mendadak berkaca-kaca dan menatapku iba. Tangannya mengusap rambutku. "Tidurlah, Lini. Kau akan bertemu ibumu dalam mimpi. Besok malam, ayah akan mengulang dongeng kesukaanmu itu sebelum tidur."
"Besok, aku juga punya banyak cerita untuk ayah. Tentang teman-teman sekolahku yang nakal, tentang guruku yang tertidur di kelas dan mukanya ditutupi buku, tentang kucing belang piaraan kita, tentang nilai-nilai ulanganku yang selalu sembilan dan tentang mimpiku bertemu dengan ibu"
Ayah mengangguk-anggukkan kepala lalu membenamkan kepalaku dalam dadanya. Aku merapat. Memejamkan mata. Menikmati kembali rasa nyaman dan aman dalam pelukan ayah. Terlelap, tanpa penghalang. Malam ini aku benar-benar bahagia. Berhasil membunuh perempuan itu. Menyingkirkannya dari kehidupan ayah.
"Lini! Bangun kau! Jadi perempuan tak boleh pemalas!"
Gelegar suara itu membangunkan tidurku dengan paksa. Aku terperanjat, buru-buru bangkit dari pembaringan. Kukucek mataku. Mencari ayah yang semalam memelukku. Namun tak kutemukan. Di depan pembaringan berdiri perempuan itu. Daster merah, rambut berombak dan sepasang mata penuh ancaman! Bukankah perempuan itu sudah kubunuh semalam? Kenapa dia hidup lagi pagi ini?
"Heh! Cepat turun dari pembaringanmu! Lihat, jam berapa sekarang!? Kau tak boleh pergi ke sekolah sebelum semua urusan rumah beres!"
Aku melihat jam. Pukul lima pagi, udara teramat dingin. Tubuh kurusku menggigil. Kedinginan, ketakutan. Terseok-seok aku menuju dapur. Menjerang air, mencuci piring, menyapu lantai, mencuci pakaian. Perempuan itu mendengkur lagi. Baru terbangun ketika ayah mengetuk pintu. Rupanya ayah baru pulang dari luar kota.
"Dari sana jam berapa, Mas? Tumben sepagi ini sudah sampai? Aku siapkan air panas untuk mandi, ya? Biar capeknya cepat hilang. Setelah mandi, baru kupijit sambil tiduran. Oya, oleh-olehmu banyak sekali? Aduh, terima kasih. Mas baik sekali padaku. Kain tenun, cincin perak, cindera mata, kue-kue."
Perempuan itu terus berkicau. Membuka-buka tas ayah, mengeluarkan berbagai barang oleh-oleh dan menimang-nimang dengan mulut menyeringai. Kulihat ayah tersenyum, mengangguk dan sesekali menguap karena ngantuk dan mungkin kecapekan. Sebenarnya, aku butuh tanda tangan ayah di rapor pagi ini. Tapi, ayah seperti tak melihatku. Aku ada di dekatnya, tapi seperti tiada. "Ah, besok saja aku minta tanda tangan ayah. Belum terlambat jika kutunda sehari."
Aku segera mengenakan kaus kaki dan sepatu. Menyambar tas sekolah dan bersiap berangkat. Ketika hendak berpamitan, perempuan itu sibuk memeluk pinggang ayah dan membimbingnya ke kamar.
Dadaku berdesir. Gigiku gemeletuk menahan marah. Tiba-tiba pisau lipat di saku baju merahku kembali bergetar. "Kau boleh hidup lagi pagi ini, tapi malam nanti pisau lipatku tak akan membiarkanmu hidup!"
Aku berbalik. Berlari sekencang-kencangnya meninggalkan halaman. Pisau lipat di saku bajuku semakin bergetar. Tak sabar menunggu pagi berganti malam. Waktu yang selalu kutunggu untuk menyingkirkan perempuan penghalang itu dari sisi ayahku.
***
KOMPLEK pemakaman itu ada di pinggir jalan. Selama lima tahun melewati kawasan itu, setiap pagi dan sore dalam perjalanan pulang pergi ke kantor, tak ada yang menarik perhatian Rayan. Hamparan nisan yang sunyi, orang-orang berziarah, penggali kubur yang sibuk dengan liang lahat, kerumunan orang yang mengubur kerabatnya juga sepasang suami istri penjual bunga di pintu pemakaman. Semua biasa-biasa saja. Tak ada yang istemewa.
Tapi, sebulan terakhir ini Rayan melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Yang membuat ia sengaja melambatkan laju mobilnya setiap melintasi komplek pemakaman. Seorang gadis bersimpuh khidmat di depan sebuah pusara setiap pagi atau sore hari. Kalau Rayan tidak melihat gadis itu mengunjungi pemakaman pada pagi hari, maka sore harinya gadis itu pasti berada di sana. Raut wajahnya tak begitu jelas. Hanya sosoknya yang semampai dan terbalut baju panjang terlihat anggun. Membuat Rayan penasaran.
"Makam siapa yang berada di ujung sana, Pak?"
Lelaki tua penjaga makam itu mengerutkan dahi. Seperti mengingat-ingat. Lalu menatap Rayan dengan wajah menyelidik. Siang bolong begini mengunjungi makam hanya untuk bertanya. Siapa yang tak merasa aneh? Rayan mengalihkan pandangan. Jengah.
"Makam Pak Suardi, pensiunan pejabat kabupaten. Mas kenal beliau?"
Rayan menggeleng. "Kalau gadis yang setiap pagi dan sore mengunjungi makam itu, putrinya?"
"Mungkin saja. Kurasa gadis itu gila. Setiap hari pergi ke kuburan hanya untuk ngobrol dengan nisan. Raut muka orang kalau pergi ke kuburan biasanya sedih, bukan? Tapi gadis itu malah tersenyum-senyum senang. Seperti habis bertamu ke rumah orang yang masih hidup saja." Rayan tertegun. Semakin penasaran.
"Kalau tak percaya, Mas lihat saja sendiri nanti sore. Pagi ini dia tak datang. Sayang ya, cantik-cantik gila. "Lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Saya kerja dulu Mas, pagar depan makam rusak dan harus saya ganti. Mari."
Setelah mengucapkan terima kasih, Rayan mempersilakan lelaki tua itu pergi.
Kepalanya dipenuhi beribu tanya ketika kembali ke kantor. Siapa sebenarnya gadis itu? Apa benar dia gila? Kasihan sekali kalau benar demikian. Rayan menggaruk kepalanya. Sosoknya yang semampai dan cara berpakaiannya yang anggun membayang di pelupuk matanya. Ah, kenapa ia menjadi begitu perhatian pada gadis itu? Kenal juga tidak. Apa perdulinya?
Tapi Rayan memang perduli pada gadis itu.
Suatu sore, ia memutuskan untuk membuntuti gadis itu dengan pura-pura berziarah ke makam di sebelah gadis itu bersimpuh. Sambil menabur bunga, Rayan memasang telinga. Ia belum berani menatap langsung wajah gadis itu.
"Ayah, bagaimana kabarmu sore ini? Aku punya kabar gembira untuk Ayah."
Gadis itu tertawa kecil lalu menggeser duduknya. Jemari tangannya mengelus nisan. Rayan pura-pura khusuk berdoa ketika gadis itu memandangnya sekilas.
"Kemarin, sepulang dari sini aku dapat kabar melalui telepon. Novelku akan diterbitkan! Dan Ayah tahu nggak siapa tokoh dalam novel itu? Nggak tahu, kan? Tokoh dalam novel itu adalah ayah! Ha ha ha"
"Tapi jangan khawatir, aku menuliskan yang bagus-bagus tentang ayah. Padahal ayah terkadang menyebalkan juga. Ayah suka pura-pura mendengkur di telingaku, suka mengganggu tidurku dini hari dan suka memelukku di depan teman-teman sekolah. Membuatku malu. Huh!"
Rayan sibuk mencabuti rumput ketika gadis itu menghentikan kata-katanya.
"Ayah, aku senang kita bisa bicara lagi seperti ini tanpa penghalang. Tapi aku tak punya waktu banyak sore ini. Aku harus menyelesaikan beberapa tulisan. Sampai besok ayah"
Gadis itu beranjak setelah mencium nisan. Rayan memberanikan diri mengangkat wajah, menatap gadis itu. Kulitnya langsat, matanya sendu dan wajahnya dingin tanpa senyum. Baju panjangnya berkibar tertiup angin pekuburan. Mendadak Rayan tersentak.
"Lini! Kaukah ini?"
Gadis itu berbalik mendengar namanya dipanggil. Kilasan masa silam berputar di benak Rayan. Lini adalah cinta pertamanya semasa SMA. Gadis yang sangat tertekan oleh perlakuan buruk ibu tirinya. Ibu kandungnya meninggal ketika Lini bayi dan ia kehilangan ayahnya setelah kehadiran ibu tiri. Sejak itu, Lini selalu mengantongi pisau lipat dan berkhayal membunuh ibu tirinya setiap malam. Dengan khayalan itu Lini bertahan hidup.
Hanya pada Rayan ia membagi beban. Hanya dengan Rayan, Lini bisa sedikit tersenyum. Sampai bangku kuliah memisahkan mereka. Kabar terakhir yang didengar Rayan, Lini menjadi penulis dan menetap di Jakarta. Tapi, kenapa Lini sekarang berada di kota ini?
"Apa kabar? Kau ada di kota ini?" tanya Rayan gugup. Ia tak menduga akan bertemu kembali dengan Lini. Gadis yang masih terus bercokol dalam hatinya.
Lini menatap nisan ayahnya.
"Ya. Aku bahagia bisa ngobrol lagi dengan ayah. Sekarang aku memiliki ayah seutuhnya tanpa harus takut orang lain merampasnya dari sisiku."
Rayan mengerutkan dahi. Tak mengerti.
"Kau ingat pisau lipatku dulu, Rayan?" Lini merunduk dan meraba permukaan tanah beberapa jengkal di samping pusara. "Aku menguburkan pisau lipat itu di sini. Aku tidak perlu berkhayal membunuh lagi untuk bisa ngobrol dengan ayah."
"Tapi Lini, bagaimana mungkin kau ngobrol dengan..."
"Orang-orang menganggapku gila," sahut Lini sambil tertawa kecil, "Mereka tidak tahu bahwa aku benar-benar ngobrol dengan ayah. Bahkan ayah selalu menunggu kedatanganku. Mengajakku bicara dan bercanda."
Angin senja yang lembab berhembus. Dingin. Sedingin wajah Lini yang berlalu tanpa senyum. Bulu kuduk Rayan berdiri. Keharuan, kengerian dan rasa prihatin menjalari dadanya. Namun ia tak kuasa mencegah langkah Lini yang terus menjauh. Meninggalkan penggalan episode hidup yang buram.
Jakarta, 140905, 22.30