Lelaki di Bola Mata Ibu

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Suara Pembaruan 10/02/2005


Lini bersimpuh di depan makam, di antara gerimis yang mulai jatuh. Pohon beringin besar di pinggir makam tak mampu melindungi tubuhnya dari gerimis yang menetes dari celah-celah daunnya yang rapat. Satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman. Lini masih terpekur. Tangannya meremas tanah merah basah yang telah menyatu dengan tubuh jenazah. Ia bergidik. Membayangkan ayahnya menggigil di liang lahat. Kedinginan. Kesepian. Ayah, kenapa kau tak menungguku? Batinnya. Tiga jam sebelum keretanya sampai, sang ayah sudah pergi.

"Ikhlaskan, Lini..."

Ada tangan yang menyentuh pundaknya. Tangan kurus dengan gerakan yang pasti. Tangan tua yang tergurat perjalanan hidup. Tangan seorang ibu. Lini bangkit. Membiarkan tangan itu merangkul pundaknya.

"Ayah pergi dengan tenang..."

Lini mengangguk, menghela nafas berat. Air mata ibunya terus meleleh. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku baju dan menyeka mata ibunya. Daun garing Kamboja jatuh tersungkur tertiup angin lembab senja hari. Mata basah dua perempuan itu bertumbukan. Tiba-tiba jemari Lini gemetar. Ia berhenti menyeka air mata ibunya. Dicermati dua bola mata ibunya lebih seksama. Jantungnya berpacu kencang. Buru-buru Lini membuang pandang. Gerimis semakin rapat. Aneh, ia melihat wajah seorang lelaki di bola mata ibunya!

???

Wajah lelaki itu! Kenapa sekarang berada di bola mata ibunya? Sepasang mata nyalang. Kumis melintang. Senyum yang menyerupai seringai. Membuat Lini membuang pandang setiap matanya bertumbukan dengan mata ibunya. Mendadak ia tak suka melihat wajah lelaki itu bercokol di sana. Menguasai bola mata teduh yang baru saja ditinggalkan ayahnya. Lagipula, bukankah wajah lelaki itu biasanya muncul dalam lukisan-lukisannya?

Lukisan telah menjadi bagian hidupnya. Terlepas dari pekerjaan kantor yang menumpuk, Lini tenggelam dalam lukisan. Menyapukan kuas dalam kanvas membuat sedih, letih dan perih hidup yang tergilas garang ibukota mereda. Ia selalu melukis tanpa obyek atau tema terencana. Ia hanya mengikuti ke mana hati membawa tangannya bergerak menyapukan kuas. Dan, wajah lelaki itu selalu muncul dalam goresan terakhir.

Awalnya, ia tak begitu perduli dengan wajah lelaki dalam lukisan itu. Namun sekarang ia harus perduli. Karena wajah lelaki itu muncul di kedua bola mata ibunya! Membuat benak Lini bertanya-tanya. Menduga-duga. Siapa sebenarnya lelaki itu? Apa hubungannya dengan Ibu? Setiap sampai pada pertanyaan ini, Lini berubah marah. Ia tak suka membayangkan lelaki lain berhubungan erat dengan Ibu, sementara ayahnya baru saja dikuburkan.

Lalu, sisa cutinya digunakan untuk menghindari Ibu. Ia memilih meninggalkan rumah sampai malam tiba. "Jalan-jalan keliling kampung," begitu jawabnya dengan mata menatap lantai setiap Ibu bertanya. Bahkan ia tak memberi jawaban ketika Ibu memintanya untuk tinggal di kampung.

"Kalau kau kembali ke Jakarta, Ibu pasti kesepian, Lin."

Lini masih diam menekuri lantai. Sebagai anak tunggal, hanya padanya Ibu mengharap. Dan, ia sendiri tak tega membiarkan Ibu hidup kesepian di kampung. Tapi, wajah lelaki di bola mata ibunya itu? Ketika muncul dalam lukisan, ia bisa merobek atau membakar lukisan itu kapan pun ia mau. Tetapi, ketika muncul di bola mata ibunya? Apa yang bisa ia lakukan selain menghindar?

"Kau tak kasihan pada ibumu?"

Ada belati menusuk dadanya ketika kata-kata tajam itu diucapkan ibunya. Lini membuang pandang. Matanya menyapu ruang keluarga dan terhenti pada sebuah foto di dinding. Ayahnya begitu gagah dalam pakaian adat jawa. Blangkon, beskap hitam, kain batik dan sebilah keris. Ah, lelaki berwajah matahari itu...Betapa Lini sangat mengagumi dan mencintainya? Bersamanya, masa kanak-kanak penuh kehangatan, masa remaja penuh keceriaan dan menjelang dewasa ia menemukan jati dirinya.

"Ibu ingin kau memberi jawaban, Lini!" suara Ibu mendadak naik ke oktaf lebih tinggi. Lini tersentak. Matanya kembali menekuri lantai. "Kau tak menyayangi ibumu lagi?"

"Bukan begitu, Bu," Lini bersuara hati-hati. Sungguh! Ia tak sanggup melukai hati ibunya. "Aku tak yakin ilmuku bisa manfaat kalau tinggal di kampung..."

"Baiklah, Ibu tak akan memaksamu. Tapi, Ibu ingin bertanya satu hal padamu. Mengapa akhir-akhir ini kau seperti menghindari Ibu? Kau seperti enggan menatap mata Ibu? Benar begitu, Lini?"

Lini menggeleng-gelengkan kepalanya tak yakin. Perlahan ia mengangkat muka dan memberanikan diri menatap kedua bola mata milik ibunya. Dadanya bergemuruh. Wajah lelaki itu masih bercokol di kedua bola mata ibunya. Tertawa menyeringai lebih lebar kepada Lini. Seakan menertawakan kebingungannya!

***

Hari-hari berikutnya dua perempuan itu saling membisu.

Senja belum usai ketika Lini memutuskan untuk melukis di beranda rumah. Ia hanya ingin sekedar meredakan gundah. Tangannya bergerak lincah. Memilih warna. Menyapukan kuas dalam kanvas. Mengikuti perintah hati untuk menggores. Semakin cepat. Semakin liar. Kuasnya terus bergerak. Hingga satu bentuk tercipta. Lebih jelas dari lukisan-lukisan sebelumnya. Wajah lelaki itu! Kenapa ia selalu muncul dalam lukisannya? Lini menghela nafas. Membuang pandang dari seringai lelaki dalam lukisan.

"Lini! Kenapa kau melukis lelaki itu!?" bentak ibunya mengejutkan. Tak disadari Lini, Ibu sudah berdiri di belakangnya.

Lini membalikkan badan, menatap ibunya. Ia tak perduli ketika melihat wajah lelaki itu berada di bola mata ibunya. Ia terus menatap ibunya. Tepatnya bukan menatap ibunya, tetapi ia menantang wajah lelaki di bola mata ibunya. Tiba-tiba, ibunya maju beberapa langkah mendekati lukisan. Tangan tua itu meraih lukisan, mengangkatnya tinggi-tinggi dan membantingnya dengan kasar. Lini terperangah.

"Laki-laki biadab!" ibunya kalap. Dinjaknya-injaknya lukisan itu. Belum puas merusak lukisan itu, Ibu mengambil pisau tanaman yang tertinggal di beranda. Dihunjamkan ke lukisan. "Mampus kau!" teriaknya menggelegar.

Lini menghampiri ibunya, berusaha mencegah. Namun kekuatan ibunya berkali lipat. Pergumulan dua perempuan itu mengundang beberapa tetangga.

"Lepaskan aku! Akan ku bunuh laki-laki biadab itu!" ibunya terus menjerit dan meronda ketika dua tetangga membawanya ke kamar. Menjauhkannya dari lukisan

Lini tertegun-tegun. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi pada ibunya. Hingga petang berganti malam dan malam dijemput pagi, ibunya terus-menerus menjerit, menangis, mengamuk dan mengumpat-ngumpat.

"Kubunuh kau laki-laki biadab!" ancamnya setiap kali Lini mendekat. Telunjuk ibunya menuding kedua bola matanya. Membuat Lini tercekat. Apakah wajah lelaki itu kini juga bercokol di kedua bola matanya? Ia tak lagi berani bercermin. Ia tak mau menemukan wajah lelaki itu bercokol di kedua bola matanya!

Lalu, hari demi hari terus beringsut maju tanpa menunggu. Menggilas segala sesuatu yang ada dalam putarannya. Lini menunda keberangkatannya ke Jakarta. Tingkah Ibu kian parah. Menangis, tertawa, mengamuk, mengumpat. Tak jarang berlari-lari di jalanan, memunguti batu dan melempari orang lewat.

"Maaf Dik, kami terpaksa melakukan ini. Setidaknya sebelum kau membawa ibumu ke rumah sakit jiwa."

Lini terdiam ngilu ketika orang-orang kampung menyeret ibunya ke kamar belakang. Membenamkan kedua kaki tua itu dalam balok kayu dan mengikatnya kuat-kuat. Menyumpal mulutnya dengan kain agar teriakannya tak mengganggu istirahat tetangga di malam hari.

***

"Laki-laki biadab! Kubunuh kau!"

Aku seperti berada di bibir jurang masa silam, yang menganga siap menerkam. Setelah kulihat wajah lelaki biadab itu dalam lukisan, kini kulihat wajah itu di bola mata anakku, Lini. Tertawa menyeringai. Seperti serigala malam siap menerkam. Mengoyak tubuhku hingga berdarah-darah. Ingin rasanya kucungkil kedua bola mata Lini agar aku tak melihat wajah lelaki itu. Lalu kuganti dengan mata orang lain. Namun aku tak cukup berani untuk melakukan pencungkilan itu. Sekarang aku menyesal, mengapa dulu kubiarkan seorang lelaki baik menggagalkan upayaku membunuh Lini ketika masih bayi. Membiarkannya hidup hingga menjadi gadis dewasa dan kedua bola matanya dikuasai wajah lelaki biadab itu.

Apa sebaiknya kuminta Lini mengganti kedua bola matanya? Ah, untuk apa aku meminta Lini mengganti kedua bola matanya, jika sekarang seluruh ruangan putih ini dipenuhi wajah lelaki biadab itu. Di dinding, di langit-langit, di kolong tempat tidur, di atas meja, di kursi, di jendela, di jeruji besi, di pintu kamar...

"Cungkillah bola mataku! Aku tak sudi melihat wajah pemerkosa itu!"

Sejak itu duniaku gelap. Tak kutemukan Lini mengunjungiku di bangsal rumah sakit. Mungkin ia telah mencungkil bola mataku...*

Jakarta, 200905.21.30