Kecupan Ombak

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Republika 07/17/2005

Seperti senja kemarin, aku melihatmu berdiri di sana. Tegak menghadap laut. Wajahmu yang manis terbingkai kerudung hitam. Warna kesukaanmu. Angin mengajakmu bercanda, mempermainkan baju panjangmu hingga berkibar. Dan aku tak mau dikalahkan angin. Aku tak ingin dia merebut perhatianmu. Aku bisa cemburu.

Kucium kaki telanjangmu hingga ujung celana panjangmu basah. Biasanya kau akan mengangkat celana panjangmu lebih tinggi, berlari-lari kecil menghindariku. Aku mengejarmu. Kita berkejaran sampai langit senja yang kemerahan itu menghitam. Tapi kali ini kau diam membatu. Bibirmu yang mahal senyum terkatup rapat. Wajahmu murung. Bahkan kau tak mempedulikan ciumanku yang menyambar bagian depan betismu.

Kulihat kau merunduk, mengambil sebuah batu karang kecil. Menimang-nimang sebentar lalu melemparkannya ke tengah lautan dengan emosi. Seakan ingin membuang kesedihan yang tengah menyesakkan rongga dadamu. Saat itulah seorang wanita paruh baya berlari-lari kecil menghampirimu. Napasnya terengah-engah seolah hampir putus.
"Intan, pulanglah! Sebentar lagi hari gelap."
Kau diam tak menjawab. Masih membatu dengan tatapan tak lepas dari laut. Wanita itu merengkuh pundakmu lembut lalu kembali mengulangi kata-katanya, "Pulanglah, sebentar lagi hari gelap."
"Aku ingin menunggu Dewi Malam, Bu."
"Lihatlah langit itu!" wanita itu menatap langit yang mendung. "Purnama tak akan datang malam ini."
"Kalau begitu, aku menunggu ayah pulang."
Wanita itu menghela napas. Wajahnya yang mulai keriput tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Hampir setiap senja wanita itu menjemputmu pulang dari pantai ini. Kalau tidak begitu, kau tentu akan berlama-lama di sini. Dan, itu membuatnya cemas.
"Ayah tak akan pulang, Intan."
"Kenapa? Bukankah ayah pergi melaut?" sahutmu sinis seakan menyimpan kemarahan yang sangat.
"Intan, langit mendung. Lebih baik kita pulang daripada kehujanan di sini." "Aku masih ingin di sini, Bu. Aku tidak ingin orang lain melihat kedatangan ayah lebih dulu. Ayah pasti pulang malam ini."
Wanita itu menatapmu sedih. "Sudahlah, Intan, jangan merajuk seperti itu. Kau bukan anak kecil lagi sekarang."
"Karena aku bukan anak kecil lagi, maka aku ingin tahu kebenaran tentang ayah. Di mana ayahku? Apakah benar ayah pergi melaut seperti yang seringkali ibu katakan atau ayah seorang pemberontak seperti kata orang-orang?"
Wanita itu terdiam menundukkan kepala. Matanya memerah. Ia tampak sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh ke pipi. Dan kulihat kau juga berusaha keras agar tidak jatuh kasihan pada ibumu. Aku tahu pasti siapa kau, gadisku. Meski keras kepala namun kau sangat menyayangi ibumu. Dan kau pasti merasa bersalah dengan pertanyaanmu yang memojokkan itu. Ah, kalau hal itu yang ingin kau ketahui, mengapa tidak kau tanyakan saja padaku agar tidak melukai hati ibumu?

Aku memang hanya riak-riak ombak. Tapi aku mengenal banyak orang yang berkunjung ke pantai indah di Aceh ini. Bahkan sebelum kau ada, aku sudah mengenal ayah dan ibumu. Ayahmu pemuda nelayan yang rajin bekerja. Sedangkan ibumu tak jauh beda denganmu. Ia sangat mengagumi senja yang kemerahan di ufuk barat dan warna air laut yang cemerlang keemasan tertimpa matahari sore. Setiap senja ibumu berkunjung ke pantai dan pulang ketika langit telah menghitam. Di suatu senja yang aku telah lupa kapan, ayah dan ibumu bertemu. Setelah berkenalan, ayahmu seringkali menghadiahkan ikan hasil tangkapan untuk merebut perhatian ibumu. Mereka sering terlihat menikmati senja bersama di pantai ini. Singkat cerita mereka menikah. Setelah pernikahan itu, aku masih sering melihat ibumu mengantarkan ayahmu melaut, menjemput ayahmu ketika pulang pagi-pagi dengan membawa ikan tangkapan atau sekadar menikmati senja. Ibumu tampak ranum dalam perut yang mulai membuncit. Wajahnya cantik, cerah dan bahagia.

Sampai kemudian, masa-masa menakutkan itu datang. Gerombolan-gerombolan bersenjata yang tak jelas identitasnya bermunculan. Pertikaian, penculikan dan pembakaran rumah-rumah yang berujung kematian seringkali terjadi. Tak banyak orang yang berani keluar rumah. Kepahitan menjelma nyata ketika pemerintah memutuskan Aceh sebagai daerah operasi militer. Aceh menghadapi masa-masa sulit yang berujung kemiskinan. Demikian juga dengan ayah dan ibumu. Mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan karena ayahmu jarang pergi melaut.

Ibumu sakit dan kurang gizi dalam kehamilannya yang kian membesar.Aku melihat ayahmu nekad pergi melaut suatu senja. Wajahnya sangat gelisah. Tangannya memegang pancing, namun ia seolah tak tahu apa yang hendak dilakukan. Ia hanya duduk di pasir dengan linglung sampai langit menghitam. Setelah gelap ayahmu memutuskan untuk mendorong perahu ke lautan. Tiba-tiba beberapa orang menyergap ayahmu dari belakang. Mereka membekap mulut ayahmu yang hendak berteriak. Menyumpalkan kain di mulutnya. Dengan paksa, beberapa orang bersenjata itu menyeret ayahmu menjauhi pantai.

Aku mengira ayahmu tak akan pernah kulihat lagi di pantai ini. Namun, dua hari kemudian ayahmu turun dari gunung sebelah barat pantai dengan memanggul karung berisi bahan makanan. Tubuhnya segar bugar meski sikapnya kelihatan waspada saat melintasi pantai. Kulihat ayahmu sering menengok kekiri kekanan seperti takut diketahui orang lain. Aku tak tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu, gadisku. Sejak kejadian itu aku sering melihat ayahmu menuju gunung ketika langit telah menghitam dan beberapa hari kemudian turun dengan memanggul karung berisi bahan makanan. Suatu malam, ayahmu kembali naik ke gunung. Sampai dua minggu lamanya ia tak turun.

Pada minggu ketiga, ibumu menyusul ke pantai dengan tertatih-tatih. Beberapa kali ibumu bertanya pada orang yang ia temui di pantai, apakah mereka bertemu dengan ayahmu. Tetapi, mereka menggelengkan kepala. Keletihan semakin menyerang ibumu. Dia terduduk di pasir pantai. Napasnya naik turun. Sesekali aku membasahi kakinya yang bengkak. Tiba-tiba ibumu dikejutkan air ketuban yang meleleh di kedua betisnya. Ibumu panik ketika rasa mulas menyerang perutnya. Ia berusaha berdiri, melangkah dan berteriak minta tolong. Namun terjatuh di antara pohon-pohon kelapa yang menjulang.

Ketika kau terus memaksa keluar dan ibumu kesakitan luar biasa, pertolongan Tuhan datang. Seorang wanita tua lewat di samping ibumu. Wanita tua itulah yang kemudian menolong ibumu. Lalu lahirlah bayi mungil yang kemudian diberi nama Cut Intan. Kaulah bayi itu, gadisku. Waktu berlalu cepat. Kau tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan lincah. Selama itu pula ayahmu tak pernah turun gunung. Wanita Aceh adalah keturunan wanita-wanita hebat. Demikian juga ibumu. Dia bukan jenis wanita yang gampang menyerah dan cengeng menghadapi kepahitan hidup.

Ibumu tetap tegar meski ayahmu tak pernah kembali. Dalam keadaan sulit itu ia berusaha membesarkanmu dengan baik. Seringkali ia membawamu ke pantai menikmati senja. Kau kecil sangat senang bercanda denganku di pantai ini. Bahkan sampai kini, diusiamu yang menjelang dewasa dan siap pergi menuntut ilmu. Berkat kecerdasan dan ketekunanmu, sederet beasiswa tengah menantimu di tanah Jawa. Kau bercita-cita menjadi dokter agar bisa mengobati para korban perang di Aceh. Tetapi, rupanya kau menyimpan keingintahuan yang besar tentang ayahmu dan ingin memperoleh jawaban sebelum pergi meninggalkan Aceh.
"Sudahlah, Intan. Jangan terus menerus mempertanyakan hal itu," kata ibumu setelah terdiam sekian lama. "Ibu tak tahu harus menjawab apa." Kau menoleh pada ibumu dengan tatapan menusuk.
"Ibu tak usah bingung menjawab. Karena jawaban itu sudah disediakan dan tinggal memilih salah satu. Ayah pergi melaut atau ayah seorang pemberontak?"
Wanita itu menggeleng-geleng. Matanya menerawang ke laut lepas yang menghitam tanpa terpaan sinar bulan.
"Atau... ayah sudah mati?"
"Intan! Jaga kata-katamu!" sergah wanita itu tak suka. "Ibu yakin ayahmu masih hidup. Tapi entahlah."
"Maksud ibu ayah hilang? Karena diculik? Atau bergabung dengan gerombolan-gerombolan itu?"
"Entahlah."
"Setiap kudesak, ibu selalu menjawab dengan entahlah. Aku sudah besar, Bu. Bukan anak kecil lagi. Coba lihat wajah Intan!" ujarmu sambil memaksa tubuh ibumu berhadapan denganmu. "Aku siap mendengar kejujuran Ibu. Sepahit apapun itu. Setidaknya pertanyaan yang memenuhi benakku ini terjawab sebelum keberangkatanku ke Jawa."
"Tapi, ibu memang tak punya jawaban, Intan."
"Lalu yang selalu ibu katakan padaku bahwa ayah pergi melaut selama ini bohong belaka? Ibu tega membohongiku!" jawabmu sambil berlari mendekatiku dan berteriak keras-keras.
Setelah letih kamu jatuh di pasir pantai yang basah. Ibumu mendekat hati-hati.
"Intan, hari sudah larut. Ayo kita pulang," bujuk wanita itu sambil membelai bahumu yang terguncang karena isak.
"Aku akan di pantai sampai besuk, Bu. Kalau ibu tidak punya jawaban, aku ingin menunggu jawaban dari langit."
Wanita itu membisu. Sepertinya ia tak tahu harus melakukan apalagi untuk membujukmu agar mau meninggalkan pantai. Oh gadisku, tidakkah kau melihat hati ibumu demikian terluka? Seharusnya kau tidak melakukan hal ini. Tetapi kau memang keras kepala. Hingga malam merangkak menuju titik nadir, kau tetap duduk menghadap laut seolah menunggu seseorang. Tak kau hiraukan ibumu yang terjatuh kelelahan bahkan tertidur di sampingmu. Bahkan ketika langit timur mulai kemerahan, kau tetap duduk di sana.

Aku melihat kau beranjak ketika sebuah tarikan dahsyat menjauhkanku dari bibir pantai. Sebagian laut mengering dan ikan-ikan menggelepar. Dari kejauhan, samar-samar kulihat kau menatap laut dengan takjub lalu melangkah mengumpulkan ikan-ikan yang menggelepar. Sementara ibumu masih tertidur di pasir pantai. Ia terbangun ketika gempa menggoyang hebat tempatnya terlelap.

Sesaat kemudian aku bersiap kembali ke pantai. Tak seperti biasanya sebagai riak-riak ombak kecil yang mengajakmu bercanda, tapi kali ini aku datang sebagai ombak ganas dan sangat besar. Dengan kecepatan 800 km/jam dan tinggi setara gedung-gedung bertingkat, aku siap menggulung siapa saja yang ada di depanku. Aku melihatmu berlari ketakutan menghampiri ibumu. Badanku yang legam, kotor dan beraroma bensin menerjangmu hingga kau terpisah jauh dari ibumu.

Satu jam kemudian tugasku usai. Tanah Aceh luluh lantak. Mayat-mayat bergelimpangan. Bangunan-bangunan hancur. Aku masih membelai-belai jasadmu penuh cinta. Mengecup seluruh tubuhmu yang menghitam. Oh, gadisku, sebagai pasukanNya, aku hanya menjalankan perintah. Tetapi jangan resah, kecupanku ini akan mengantarmu bertemu kekasih sejati. Nikmatilah pertemuan itu.

Perlahan kudorong jasadmu menepi. Aku tidak ingin kau terseret arus dan hilang di tengah lautan. Saat itulah aku melihat ayahmu muncul dari balik rerimbunan pohon di gunung sebelah barat pantai. Wajahnya pucat pasi menatap bumi Aceh yang lantak. Samar kudengar ia berteriak memanggil namamu. Apakah kau mendengar suara yang telah lama kau rindukan itu?