Perempuan Kenangan
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Tary
Dimuat di Lampung post 15/05/2005
KESUNYIAN yang parah menyergap perasaanku. Hampir separuh malam termangu di depan monitor kosong. Belum ada sepatah kata pun muncul di sana. Bulan empat belas tersenyum di jendela. Angin malam menggesek daun-daun bambu. Menimbulkan suara kemerisik, bersaing dengan gemerincik air sungai di bawah jendela. Sesekali burung malam singgah di dahan pohon tertinggi. Menyenandungkan lagu yang bagi sebagian orang menakutkan. Tapi, semua itu tak mampu menyemburkan ribuan kata yang mengendap dalam otak. Sejak kabar itu tersiar, tanganku seolah terkulai ketika menyentuh deretan tombol keyboard komputer.
Haruskah aku menyesali pertemuan kita di lantai gedung itu? Awalnya, aku tak percaya pada penglihatanku. Kau duduk di antara peserta diskusi dan membolak-balik buku ber-cover biru yang sebagian besar berkisah tentang kita. Ruapan masa lalu yang masih tersimpan dalam kenangan. Dari kursi pembicara, sesekali aku mencuri pandang ke arah kursimu. Dan kurasa, kau pun melakukan hal yang sama. Hingga konsentrasiku berantakan.
"Tolong, tuliskan sedikit kata-kata di samping tanda tangan," kau berkata lirih sambil menyodorkan buku untuk kutandatangani.
Aku menyimpan bukumu untuk kutandatangani paling akhir. Para penikmat buku bertanya ini itu tentang proses kreatif penulisan novel itu. Beberapa teman penulis muncul silih berganti. Menjabat tangan, mengucapkan selamat. Ya, malam ini memang sedang berlangsung launching novel perdanaku yang berjudul "Perempuan Kenangan".
"Aku senang melihatmu berada di sini," ujarku setelah terbebas dari permintaan tanda tangan dan teman-teman. Tak kupedulikan beberapa seniman yang menggebrak panggung. Membacakan puisi, cerpen, dan cuplikan novelku. Kuseret kau ke pojok ruangan yang agak sepi.
Dalam terpaan lampu panggung yang temaram, kau tersenyum manis. Masih seperti tujuh tahun lalu. Matamu yang sendu buru-buru membuang pandang setiap kali bertubrukan dengan mataku. Samar-samar kedua pipimu merona. Membuat siapa pun mabuk kepayang ketika menatapnya.
"Perempuan Kenangan. Kau bergumam seraya membolak-balik novel di tanganmu. Aku suka judul novelmu."
"Terima kasih. Harusnya aku berdiskusi denganmu sebelum menerbitkan novel perdana ini. Karena hampir semua berkisah tentang kita."
"Tanpa diskusi denganku, novel ini terbit juga, kan?" sindirmu halus.
"Aku kehilangan kontakmu."
"Aku memang tak pernah menetap di satu alamat. Kecuali setahun terakhir, aku memutuskan pulang ke Lampung."
"Benarkah?"
Engkau mengangguk. Kutatap jari lentikmu yang sibuk menepikan anak rambut di dahi. Aku terkesiap menatap jepit dari anyaman bambu yang menghiasi rambut panjangmu. Jepit itu kubelikan untukmu ketika kita mondar-mandir di sepanjang Malioboro. Seperti kaset video yang diputar ulang. Aku menemukan gambarku dalam episode masa lalu yang menakjubkan bersamamu. Sejuknya Kaliurang, eksotisnya Tamansari, romantisnya Parangtritis dan ramahnya Malioboro.
"Kau masih tinggal di rumah kontrakan yang dulu atau sudah pulang ke Sosrowijayan?" pertanyaanmu meluruhkan lamunanku.
"Masih tinggal di rumah kontrakan. Hanya pindah agak menepi dari keramaian kota. Kau sendiri, sepertinya mulai betah tinggal di Lampung?"
Senyummu seketika menghilang. "Ibu sakit-sakitan dan memerlukanku."
Aku kaget. Tanpa sadar kujangkau bahumu dan kuelus lembut. Seolah ingin mengalirkan kekuatan padamu seperti dulu ketika kau bersedih. Kita saling berpandangan lama. Jika saja pengunjung gedung itu tahu, mata kita saling memancarkan kerinduan yang sangat lama terperam.
Anganku kembali melompat ke masa lalu. Saat itu kita masih anak kuliahan. Aku mengenalmu di salah satu acara festival seni. Berlatar belakang sama dari sebuah keluarga broken home dan memiliki minat yang sama terhadap seni, keakraban kita melesat cepat. Aku mengagumi keluwesan tubuhmu membawakan tari-tari klasik di setiap pentas. Demikian juga kau yang tak pernah melewatkan tulisan-tulisanku di setiap media. Hampir setiap malam minggu kau menghabiskan waktu bersamaku. Bahkan terkadang menginap bermalam-malam di kamar kontrakanku.
Saat liburan semester tiba, kau sering mengajakku berkunjung ke kota kelahiranmu, Lampung. Kau perkenalkan aku dengan ayah tirimu. Lelaki kurang ajar yang telah merenggut kehormatanmu semasa remaja. Atau sebaliknya, kuajak kau mengunjungi keluargaku di Sosrowijayan. Kuperkenalkan kau dengan ibu tiriku. Perempuan sundal berlidah belati yang membuatku sering dipukuli ayah semasa kanak-kanak. Tidak ada yang mencurigai kedekatan kita. Meskipun diam-diam tumbuh perasaan saling menyayangi seperti layaknya sepasang kekasih. Kita sama-sama terluka ketika jarak kemudian memisahkan. Kau berkelana ke berbagai negara dengan tarian-tarian klasikmu sebagai duta budaya. Sementara aku menyepi di sebuah rumah kontrakan bercat putih di tepi sungai untuk menyelami dunia imajinasi. Tahun pertama berpisah, kuterima suratmu dari alamat yang berbeda-beda. Namun, tahun-tahun berikutnya kau berhenti berkirim surat dan aku kehilangan kontak.
"Oke, aku pergi dulu," katamu sambil memasukkan buku Perempuan Kenangan ke dalam tas berwarna merah muda.
"Kenapa terburu-buru? Tidak ingin nonton musikalisasi puisi?"
Kau menggeleng dan mengulurkan tangan, "Aku ada perlu."
Kutangkap tanganmu dan kugenggam erat. Kau belum mengatakan di mana menginap. Sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal denganmu.
"Kalau kau mau, kita bertemu di jantung kota besok malam," jawabmu seraya pergi menjauh.
Aku melambaikan tangan sebelum kembali bergabung dengan teman-teman penulis di deretan kursi depan. Pikiranku berantakan ketika seorang kawan membawakan musikalisasi puisi. Aku lebih suka melamunkan pertemuanku esok malam denganmu di jantung kota.
***
Kau menepati janji. Bahkan sebelum malam datang kau sudah duduk menunggu di sebuah bangku beton depan benteng Vredeburg. Lampu-lampu antik jantung kota mulai menyala ketika aku menghampirimu. Senja ini kau kelihatan istimewa. Blouse putih tulang berpadu serasi dengan rok batik klasik. Seklasik wajahmu yang cantik. Rambutmu yang tergerai dihiasi jepit anyaman bambu kau biarkan dipermainkan angin. Hampir saja tanganku bergerak untuk membelai kalau tidak ingat banyak orang lalu-lalang di sepanjang trotoar.
"Aku selalu merindukan kota ini," gumammu seraya menatap mataku.
"Juga aku?" aku menantang tatapanmu.
"Tentu saja. Aku selalu ingin menyusuri setiap jengkal kota ini bersamamu. Kau ingat, bukan? Di dalam benteng Vredeburg itulah kita berkenalan."
"Kita sama-sama mengagumi sebuah lukisan di expo Festival Kesenian Yogya."
Kau mengangguk, tersenyum. Pijaran rindu yang terperam lama kemudian mendorong tanganku untuk meraih jemarimu dan menggenggamnya erat. Ketika malam hadir di jantung kota, kita berjalan berdampingan menyusuri sepanjang sisi jalan Malioboro. Menikmati nasi gudeg lesehan kesukaanmu sambil mendengarkan pemusik jalanan membawakan lagu "Sepasang Mata Bola".
Ternyata kerinduan kita belum usai. Lewat tengah malam kita masih berjalan menyusuri trotoar-trotoar penuh kenangan lalu mencegat taksi yang kemudian mengantarkan kita bergulingan di atas pasir Parangtritis. Menertawakan pasangan-pasangan yang bercinta di balik semak dan menikmati redup sinar bulan sambil mengunyah sebungkus kacang goreng. Di sebuah penginapan, kerinduan kita mengalir deras bak air bah yang menenggelamkan sebuah kota. Terengah-engah kita mencoba berenang ke tepian, namun tak kuasa. Atau mungkin, kita memang lebih suka membiarkan diri tenggelam dalam air bah itu berdua.
"Aku mencintaimu," bisikmu setelah amuk air bah itu surut.
Kuraih tubuhmu dan kubisikkan sebuah jawaban, "Aku tak ingin kehilanganmu."
Lalu kita terseret mimpi. Terlempar ke sebuah labirin yang lengang. Genggaman tangan kita terlepas. Kau menghilang di ujung kelokan gelap. Aku berteriak-teriak memanggil namamu. Mencari-cari di dalam labirin. Namun tak kutemukan wajah klasikmu.
"Di mana kau? Aku tak mau kehilanganmu."
Celah jendela memberiku sedikit cahaya matahari pagi. Aku terperanjat mendapati kau tak lagi di sampingku. Pintu kamar penginapan masih tertutup rapat. Tas merah muda, sepatu, dan pakaian yang semalam tercecer di lantai, raib entah ke mana. Hanya jepit rambut anyamam bambu yang tertinggal di meja kamar. Bergegas kukenakan pakaian dan kusambar jepit anyaman bambu. Kutanyakan pada orang-orang apakah mereka melihatmu. Tapi tak satu pun dari mereka berjumpa denganmu, bahkan petugas penginapan pun tak tahu kemana pergimu. Kenapa kau pergi tanpa pamit? Bukankah sudah kukatakan aku tak mau kehilanganmu? Apa kau tidak memercayai kata-kataku? Sampai matahari sepenggalah, aku masih berteriak-teriak memanggil namamu di sepanjang pantai.
***
Perempuan kenangan. Sejak pertemuan itu kau memang hanya menjadi kenangan. Pergi tanpa pamit. Hilang tanpa jejak. Meninggalkan aku yang masih menyimpan luka rindu tak terperi. Wajah cantikmu yang klasik, kelembutanmu yang memabukkan dan perhatianmu yang meluluhkan. Menoreh kenangan tersendiri bagi orang-orang yang mengenalmu. Terlebih bagiku yang mencintaimu dalam jalinan terlarang. Sampai kemudian, siang itu aku membaca sebuah berita di koran. Tentang seorang perempuan yang mati bunuh diri minum racun serangga menjelang pernikahannya. Diduga perempuan itu bunuh diri karena tidak bisa menerima lelaki yang disodorkan orangtuanya.
"Alasan klise untuk mati," batinku. Tapi kemudian aku terperanjat ketika beberapa teman berseru seraya menunjuk foto di berita itu.
"Mbak Karin, bukankah dia, Indah, sahabat dekatmu?"
"Benar Karin. Lihat! Inisialnya In, penari dan tinggal di Lampung!"
"Ya ampun, Karin! Kenapa sahabatmu sampai bunuh diri, begitu?"
"Kasihan sekali."
Mataku berubah gelap bersama lenyapnya bayanganmu.
Seminggu setelah berita kematianmu di koran, aku menyusuri setiap jengkal Yogya untuk mengais kenangan kita. Baru setelah letih menjalari kaki, aku mengenangmu dengan cara lain. Mencoba menuliskanmu dalam lembar-lembar cerita fiksi. Tapi, hampir separuh malam ini, aku hanya duduk di depan monitor kosong. Otakku tak mampu menyemburkan kata-kata. Pikiranku terus ngelangut dan perasaanku disergap kesunyian yang semakin parah. ***
Utan Kayu, 02.05.05