Bu Sastro dan Sepetak Kebun Kenangan

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Suara Pembaruan 06/02/2005

Bu Sastro termenung di tepi jendela. Matanya menatap lurus lalu lintas ramai di bawah sana. Dari lantai 15, apartemen mewah tempat Bu Sastro berada kini, kendaraan yang lalu lalang di jalanan tampak seperti semut-semut berlarian. Bu Sastro mendesah. Air mata berdesakan di sudut matanya. Sama sekali tak disangkanya, jika semalam ia mendengar pertengkaran anaknya.

"Minggu besok, Mas saja yang menemani Ibu jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor. Masa tiap minggu mesti jalan-jalan ke sana? Aku 'kan sudah capek kerja, Mas. Aku perlu istirahat di hari Minggu," lengking Lala, menantunya yang cantik dan rajin berdandan itu, dari sofa ruang keluarga.

"Kau pikir aku juga tidak capek dan tidak butuh istirahat?" suara Bagas, anak laki-lakinya, dengan nada tak kalah tinggi.

"Nah, kalau begitu, tidak usah jalan-jalan. Kita berdua sama-sama ingin istirahat di hari minggu 'kan?"

"Lala, Ibu ingin ke sana setiap minggu," sela Bagas.

"Tapi lihat kondisi juga dong. Kalau terus-terusan seperti ini, setiap hari Senin kerjaku tidak optimal karena kecapekan. Lagi pula, ada apanya sih, di Kebun Raya Bogor? Sampai Ibu ingin terus-menerus ke sana setiap Minggu? Apa Ibu tidak bosan melihat tumbuh-tumbuhan terus? Ah, orang tua memang susah dimengerti!"

"Jangan bicara seperti itu, Lala!"

"Lho! Aku bicara seperti kenyataan yang kulihat! Ibu memang susah dimengerti. Apa kurangnya tinggal di sini? Apartemen ini menyediakan apa pun yang Ibu inginkan."

"Ibu tidak suka tinggal di apartemen, La. Ibu selalu merindukan kampungnya yang teduh dan menghijau. Makanya ia ingin setiap minggu ke Kebun Raya, untuk mengobati kerinduannya."

"Tapi, kita 'kan sangat sibuk? Ah, sudahlah. Aku mau istirahat. Bisa-bisa pekerjaanku besok berantakan karena kebanyakan berpikir."

"Lalu bagaimana hari minggu besok?"

"Terserah! Aku tidak mau mikirin"

"Lala!!!"

Kemudian, brakk!! Bu Sastro mendengar pintu kamar anaknya dibanting kasar. Seusai mendengar pertengkaran kecil itu, hingga dini hari Bu Sastro tak sanggup memejamkan mata. Sunyi yang menyekap hidupnya sejak kepergian Pak Sastro, suaminya, lima tahun lalu, terasa semakin memedihkan. Jika hidupnya hanya akan menyusahkan anak, mengapa Tuhan tidak mencabut saja nyawanya bersamaan dengan suami tercinta itu?

Tiba-tiba ia teringat halaman rumahnya di kampung yang teduh oleh rindangnya pepohonan, riuh kicauan burung dan semerbak wangi melati. Juga sepetak kebun sayur mayur di halaman belakang yang dirawatnya dengan telaten. Tanaman bayam, labu, singkong, ubi, kacang panjang bahkan empon-empon tumbuh subur dan siap diambil kapan pun ia perlukan. Kebun peninggalan almarhum suaminya itulah yang menyibukkan Bu Sastro. Tak jarang Bu Sastro membagikan hasil kebunnya pada tetangga atau menjual ke pasar jika berlebih untuk keperluannya sendiri. Kebun itu menghibur hari-harinya yang sunyi.

Sampai kemudian, tiga bulan lalu, Bagas datang menjemputnya. Awalnya Bu Sastro menolak tawaran Bagas untuk tinggal di Jakarta. Namun karena kegigihan putra tunggalnya membujuk, akhirnya hati Bu Sastro luluh juga.

"Kalau Ibu tinggal di Jakarta, kami tidak akan was-was lagi. Benar 'kan, La?" kata Bagas waktu itu.

"Benar, Bu. Lagipula orang-orang akan mengira kami menelantarkan Ibu kalau Ibu tinggal di sini sendirian. Apalagi masih menjual sayuran ke pasar," timpal Lala.

Perasaan Bu Sastro tersodok keras ketika menantunya menyindir tentang hasil kebunnya. Sejak awal hubungan Bagas dengan Lala, Bu Sastro memang sudah diselimuti rasa khawatir. Sebenarnya ia lebih suka Bagas mendapatkan gadis yang mengenal indahnya pedesaan. Sehingga bisa mengerti betapa berartinya kebun itu bagi Bu Sastro. Namun itulah pilihan Bagas. Gadis Jakarta yang dibesarkan oleh gedung-gedung pencakar langit. Dan Bu Sastro menghormati pilihan putranya.

"Ibu pasti kerasan tinggal bersama kami. Ibu tidak akan susah-susah lagi memetik sayur di kebun jika ingin memasak. Tinggal ambil di kulkas, bahkan tidak usah memasak karena ada pembantu di rumah," tambah Lala lagi.

Kata-kata Lala itu memang sepenuhnya benar. Sejak tinggal bersama anaknya, Bu Sastro tidak perlu repot memetik tanaman di kebun jika ingin memasak. Kulkas di rumah Bagas selalu penuh dengan sayuran organik segar yang terbungkus plastik. Jika ingin buah-buahan juga tidak perlu capek mencolok dari pohon. Tidak hanya itu. Ayam panggang, ikan bakar atau daging asap, disediakan secara instan di supermarket lantai bawah. Tinggal menyantap saja.

Tapi entah mengapa, Bu Sastro tidak bahagia dengan semua itu. Ia malah merasa menjadi manusia tua yang tak berguna. Seperti pesakitan yang menunggu ajalnya. Atau seperti benalu yang menumpang di tanaman induknya. Segala sesuatu yang diperlukan bisa didapatkan dengan mudah. Tanpa ada usaha untuk mendapatkannya. Padahal ia merasa tubuhnya masih kuat untuk melakukan ini dan itu.

Seolah mati dalam hidup. Begitulah hari-hari yang dilalui Bu Sastro sejak tinggal di apartemen. Tak ada tetangga seperti di kampung yang bisa diajaknya bertukar cerita atau bertegur sapa. Pernah suatu kali Bu Sastro nekad jalan-jalan keluar pintu rumah meskipun masih di lantai 15. Tapi ia hanya menemukan pintu-pintu yang tertutup rapat, lift yang naik turun menuruti pencetan orang, atau satu dua orang yang berjalan tergesa dengan mulut membisu.

Bu Sastro sangat kesepian. Bagas dan Lala berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang menjelang malam. Bahkan kelihatannya mereka sengaja menunda memiliki keturunan. Karena itulah, Bu Sastro memberanikan diri meminta putranya menemani jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor setiap minggu. Sekadar mengenang halaman rumahnya yang rindang dan sepetak kebun peninggalan suaminya. Sebelum semalam, Bu Sastro benar-benar tidak menyadari bahwa anaknya keberatan dengan permintaannya.

"Bu, makan siang sudah siap. Diantar ke sini atau di ruang makan saja?" suara pembantu itu mengagetkan lamunannya. Buru-buru Bu Sastro menghapus air matanya dengan punggung tangan.

"Aku ke ruang makan saja," jawab Bu Sastro meninggalkan tepi jendela.

Pembantu itu mengangguk dan mengiringi langkah Bu Sastro ke ruang makan.

Di meja makan semua menu terhidang lengkap. Sebagian besar masakan-masakan instan. Bu Sastro kembali tercenung. Rasa sepi yang mencengkeram membuat nafsu makannya lenyap. Kenangannya melesat. Ia teringat saat suaminya masih hidup. Mereka selalu makan berdua di meja makan. Tak lupa si belang, kucing kesayangan Pak Sastro ikut makan di dekat kaki meja. Setelah Pak Sastro mangkat, Bu Sastro seringkali makan siang di kebun belakang ditemani si belang. Dan itu lebih dari cukup untuk membunuh kesepiannya. Tapi di apartemen ini? Bahkan sosok manusia pun tak bisa mengganti kehadiran si belang.

"Ada yang kurang, Bu?" pembantu muda itu kembali menghamburkan lamunan Bu Sastro.

"Oh ndak, ndak ada," jawab Bu Sastro cepat.

"Kalau begitu saya tinggal membersihkan kamar mandi dulu ya, Bu?"

Bu Sastro mengangguk. Namun ketika pembantu muda itu pergi, tiba-tiba Bu Sastro memanggilnya kembali.

"Dik, kamu 'kan asli orang Jakarta. Iya toh? Kamu tahu ndak di mana beli karcis kereta untuk ke Jawa?"

Pembantu itu menggeleng. "Saya tidak tahu, Bu. Lha saya tidak pernah pergi kemana-mana. Yang saya tahu hanya dari rumah ke apartemen ini. Rumah saya di daerah Pamulang."

"Masa ndak pernah dengar di mana beli karcis kereta?"

"Ya di stasiun, Bu. Tapi saya belum pernah ke stasiun. Memangnya mau beli karcis kereta untuk siapa?" pembantu itu mengeryitkan dahi.

Bu Sastro menggeleng. "Ya sudah, kalau kamu ndak tahu. Teruskan pekerjaanmu saja."

Setelah pembantu itu pergi, Bu Sastro buru-buru meninggalkan ruang makan. Di kamarnya, ia segera berkemas-kemas. Entah keberanian dari mana yang membuatnya memutuskan untuk pulang ke Jawa. Padahal ia sama sekali tidak tahu di mana stasiun kereta itu berada bahkan jalan menuju ke stasiun sekalipun.

Ketika pembantu muda itu terlelap kelelahan, diam-diam Bu Sastro menyelinap keluar. Di depan lift ia menunggu lama. Tak tahu apa yang mesti dilakukan dengan kamar naik turun itu. Namun tiba-tiba pintu lift terbuka dan dari dalam lift muncul seorang lelaki tua beruban. Lelaki itu tersenyum mesra padanya. Seketika Bu Sastro terlonjak kaget.

"Mas Sastro...!?" Bu Sastro terpekik bahagia. Tak disangka sama sekali suami tercinta itu akan menjemputnya di lift.

"Masuklah, aku akan mengantarmu pulang. Rumahmu memang bukan di sini. Ayo!" Pak Sastro masih tersenyum kemudian menuntun tangan istrinya masuk ke dalam lift.

Setelah tombol terpencet, lift bergerak turun perlahan. Pak Sastro merengkuh pundak istrinya lembut. Bu Sastro tersenyum bahagia. Tak berapa lama kemudian berhenti.

"Nah, sudah sampai. Rawat kebun kenangan itu baik-baik ya, Bu..."

Bu Sastro mengangguk. Perlahan pintu lift terbuka. Dan betapa terkejutnya Bu Sastro ketika melihat sepetak kebun hijau terhampar di depan matanya. Bu Sastro segera berlari keluar lift. Rasa bahagia benar-benar telah memenuhi dadanya.

Buru-buru ia memetik beberapa lembar daun pepaya lalu membawanya ke dapur untuk di rebus. Setelah menanak nasi dan membuat sambal terasi, ia bergegas memanggil si belang untuk diajaknya ke kebun belakang. Ia benar-benar sudah lupa dengan siapa dan naik apa hingga sampai di rumahnya kembali. Yang ia ingat, ia belum makan siang dan sangat lapar.?

Utan Kayu, 21 Okt 2004