Penulis Cerita dan Copet

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Suara Karya 16/07/2006



Rasanya sulit sekali menemukan kata-kata untuk kurangkai-rangkai menjadi sebuah cerita. Sudah satu jam sejak waktu Subuh memudar. Aku duduk di depan komputer di dalam kamarku. Biasanya kata-kata yang menghampiriku. Aku hanya tinggal mengumpulkannya saja. Menyatu-nyatukannya menjadi kalimat-kalimat. Dan, menggiringnya menjadi sebuah cerita. Entahlah, mungkin terlalu banyak hal yang ingin kutulis, sehingga tak satu cerita pun yang mampu kuselesaikan. Baru kumulai menggarap satu ide, ide yang lain mengusik inginku. Tak bisa kukendalikan!

"Seburuk apa pun hasilnya, sebuah cerita harus tuntas diselesaikan, sebelum penulis ingin melangkah ke cerita yang lainnya," begitu nasihat seorang sastrawan ternama yang tulisannya dimuat di sebuah majalah remaja Ibukota. Tapi sulit sekali kuterapkan saat ini. Ide-ide itu menjejal ruang di kepalaku. Berputar-putar seperti gangsingan. Ini membuatku pusing. Sementara tak cukup kata yang bisa kurangkai-rangkai untuk menyelesaikannya. Ah!

Kumatikan komputerku. Kutinggalkan kamarku. Mungkin televisi bisa sedikit menyegarkan otakku?
"Artis A bercerai dengan artis B," kubalik channel TV.
"Artis B berselingkuh dengan artis C," kutukar channel TV.
"Artis A memiliki hubungan dengan artis D," kupijit tombol remot ke channel TV lain.

"Artis D menggugat cerai artis C, padahal mereka belum menikah!" Lho?

Kupadamkan televisi. Kupikir, berita-berita itu tak akan membantuku sama sekali.

Untuk beberapa saat aku seperti setrikaan. Bolak-balik depan belakang. Mondar-mandir tak karuan. Dan, kepalaku tidak menjadi lapang karenanya.

Aku balik ke kamarku. Kugelar kasurku. Kubaringkan tubuhku di atasnya. Mataku baru dua jam terpejam saat adzan Subuh tadi membangunkanku. Kedua temanku masih terlelap di kamar masing-masing. Saat bangun Subuh tadi, keduanya baru kembali dari tempat kerja mereka. Mereka seorang musisi. Yang satu gitaris pada sebuah band yang biasa memainkan lagu-lagu top 40 dari satu kafe ke kafe lain, hampir setiap malam. Yang seorang lagi, penata musik yang banyak menghabiskan waktunya di studio milik Raja Dangdut. Mereka seperti seekor kelalawar yang mencari makan di kegelapan malam, dan kembali ke sarang saat pagi menjelang.
"Huuuuaaaahhhhh!" Ngantuk. Mataku terpejam. Tertidur.

Matahari telah menuntaskan pendakiannya ke tiang tertinggi hari, duduk di sejumput awan, sinar matanya tajam menghujam ke bumi, cahayanya menyelinap melalui celah tirai jendela kamarku yang terbuka. Panas!

"Hayya alash shalaaaaahhh," suara muadzin bersaing dengan jerit sorak anak-anak yang bermain di gang sebelah rumah kontrakanku. Kubuka mata. Beranjak ke kamar mandi. Kubasuh tubuh. Wuuuiiih segaaaarrr!

Kulihat pintu kamar kedua temanku masih rapat.
Selepas salat Zuhur, perutku mulai terasa keroncongan. Cacing-cacing di dalam perutku bertingkah laiknya para mahasiswa yang berdemo menuntut apa saja demi kebaikan bangsa. Menimbulkan suara 'krukuk krukuk krukuk' di dalam perutku. Ah! "Begini nasib jadi bujangan..," aku bersenandung, menertawai nasibku yang hingga nyaris menyentuh kepala tiga masih saja membujang. Nasib, nasib ha ha ha ha mana ada perempuan yang mau dengan lelaki yang penghasilannya hanya cukup buat beli nasi bungkus, ha ha ha ha!

Tapi aku cukup bersyukur dengan apa yang sudah kudapatkan. Ini hanya persolaan pilihan hidup. Dan, aku harus berani menanggung konsekuensinya. Menjadi penulis. Di negeri ini, profesi itu masih dipandang sebelah mata.

"Kau tidak akan menjadi kaya dengan menjadi penulis!" begitu pendapat teman musisiku. Tak apa buatku. Untuk menjadi bahagia orang tidak harus menjadi kaya. Tapi kuakui, terkadang kekayaan bisa membeli kebahagiaan. Namun, penderitaan bisa juga berawal dari kekayaan. Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, penulis mati meninggalkan karya. Aku hanya seorang lulusan SMA. Setidaknya, aku tidak menyia-nyiakan pelajaran yang pernah diberikan guru-guru Bahasa Indonesiaku. Dan, aku cukup bahagia dengan pilihanku.

"Sepiring nasi putih, sayur daun singkong dan sepotong tuna pedas."
"Minumnya?"
"Air jeruk."
"Dingin?"
"Biasa."

Beberapa saat kemudian pelayan warung nasi itu menghidangkan pesananku di depanku. Tersenyum. Aku membalas senyumnya.

Kupandangi hidangan di depanku. Benar-benar membangkitkan selera. Apalagi makannya sambil angkat kaki. Irama melayu terdengar mengalun dari loud speaker pedagang kaset dan CD bajakan, yang digeber maksimal. Aku makan dengan lahap. Yeah, beginilah hari-hariku, makan di sebuah warung nasi di pinggiran rel dekat stasiun kereta.

Aku suka menghabiskan waktu di tempat itu. Baca buku sambil minum kopi. Atau, nongkrong di stasiun dengan teman-teman pengamenku, sambil mengamati hiruk-pikuk kehidupan yang berlangsung di tempat itu. Biasanya, kata-kata bisa berhamburan begitu saja dari alam bawah sadarku. Kalau aku sedang 'sakurata' alias bokek, aku sering ikutan teman-teman pengamenku mendendangkan lagu melayu dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Tidak sia-sia aku memiliki teman musisi. Mereka mengajariku banyak hal dengan gitar. Berkat mereka, aku cukup piawai memainkan instrumen yang satu itu. Yeah, lumayan buat isi perut. Tapi hari ini tidak kulihat teman-teman pengamenku di stasiun itu.

Petugas peron mengumumkan kedatangan kereta dari arah Bogor, lewat pengeras suara. Sayup-sayup terdengar derap langkah roda besi menggilas rel semakin mendekat. Para calon penumpang KRL berdiri dari tempat duduknya. Aku ikutan berdiri. Aku tak tahu kenapa aku ikutan berdiri. Tapi biar saja kakiku menentukan langkahnya sendiri kali ini.

Kereta berhenti di stasiun. Orang-orang berebut pintu. Kakiku membawa aku ke dalam gerbong yang tak terlalu sesak, tapi sangat tak bisa dikatakan cukup lengang. Tujuan? Entah. Aku berdiri tak jauh dari pintu. Kereta bergerak perlahan meninggalkan stasiun. Irama melayu terdengar semakin sayup sebelum menghilang sama sekali dari pendengaranku. Berganti dengan suara pedagang apa saja yang bertukar sahut di dalam gerbong itu.

Seorang lelaki berkemeja lengan panjang warna biru tua berdiri di sebelahku, memuntahkan sampah nikotin dari mulutnya yang hitam. Aku terbatuk, berusaha memberikan isyarat kepadanya kalau aku merasa terganggu dengan asap rokoknya. Lelaki yang kukira usianya tak terpaut jauh denganku, hanya melirik sekilas. Seperti pantat knalpot kendaraan, mulutnya yang hitam menyemburkan asap bertubi-tubi. Mengepul. Mengepung wajahku. Kulihat matanya sinis melirik ke arahku. Aku tak merasa perlu lagi terbatuk.

Kereta berguncang. Memperlambat lajunya. Sebuah stasiun tampak di depan. Lelaki berkemeja lengan panjang warna biru tua di sebelahku berjalan ke depan pintu. Seorang wanita gemuk yang - sebelum lelaki itu berdiri di depan pintu bersiap untuk turun - berdiri di sebelahnya menyadari kalau tasnya telah koyak tersilet dan dia tak menemukan dompetnya. Wanita gemuk empat puluh tahunan itu sudah menaruh curiga-sejak beberapa saat sebelum ia mendapati tasnya koyak tersilet dan tak menemukan dompetnya di dalam tasnya kepada lelaki berkemeja lengan panjang yang tadi berdiri di antara aku dan wanita gemuk itu.

Kereta belum sampai berhenti saat wanita gemuk itu berteriak lantang seraya menuding ke arah lelaki berkemaja lengan panjang yang bersiap turun.
"Copeeeetttt!!!"

Berpasang-pasang mata segera menancap di wajah lelaki itu. Wajahnya pucat serupa mayat. Dia siap melompat dari atas kereta, namun urung terjadi. Seseorang - entah siapa - menarik tubuhnya kembali ke dalam gerbong. Beberapa penumpang turun, beberapa calon penumpang naik. Lalu kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun dengan seorang lelaki yang dituding telah mencopet dompet seorang wanita gemuk.

Waktu seolah berhenti.
Adegan selanjutnya:
"Hajar!"
"Bunuh!"
"Habisin!"
"Mampusin!"
Entah siapa yang memulai.
Bag!
"Aduh!"
Bug!
"Ampun?"
Bag! "Bukan saya!"
Bug!
"Saya tidak..."
Crooootttt!
Darah mengalir dari kepalanya.
Jreb!
Pisau menancap di perutnya.
Bag!
Bug!
Bag!
Bug!
Darah. Darah. Darah.
Menoda di mana-mana.

Lelaki itu tumbang. Melata bersimbah dara. Masih diinjak-injak. Tak bergerak. Mati? Masih diinjak-injak. Orang-orang berteriak-teriak:
"Hajar!"
"Bunuh!"
"Habisin!"
"Mampusin!"
"Lemparin ke luar!"
Lemparin ke luar?! Hiiiiyyy aku begidik membayangkan hal itu.
Dua orang memegang tangannya.
Dua orang memegang kakinya.

Dan keempat orang itu menyeret tubuhnya ke depan pintu. Mengangkatnya. Mengayun-ayun tubuh lelaki berkemeja lengan panjang warna biru tua. Mengambil ancang-ancang.
Beberapa penumpang berteriak-teriak.
Beberapa penumpang menutup mata tak tega.
Beberapa penumpang malah tertawa-tawa.
Beberapa penumpang menjadi semakin buas karenanya.
Beberapa penumpang berusaha mencegah.
Beberapa penumpang hanya menjadi penonton saja.
Dan aku? Aku tidak menjadi bagian dari beberapa penumpang yang mana pun.

Keempat orang itu masih mengayun-ayun tubuh lelaki berkemeja yang telah bersimbah darah dan tak bergerak-gerak. Mungkin dia mati? Atau hanya pingsan? Tak seorang pun yang dapat memastikan. Tapi semua orang yang berada di gerbong itu tahu pasti, apa yang akan segera terjadi saat keempat orang itu mulai menghitung: "Satu, dua, ti..."

Handphone di saku celanaku bergetar. Aku terhenyak. Tersadar. Lelaki berkemeja lengan panjang warna biru tua masih berdiri di sebelahku. Mulutnya yang hitam masih saja mengepulkan sampah nikotin ke udara. Wanita gemuk yang berdiri di sebelahnya terbatuk-batuk karenanya. Lelaki itu masih saja tak peduli. Padahal, penampilannya terlihat sangat terpelajar.

Kuterima telepon. Suasana gerbong sangat bising. Sulit aku mendengar ucapan seorang temanku yang bekerja di sebuah kantor penerbitan. Kupasang telinga tajam-tajam. Dia menanyakan kapan aku akan menyerahkan naskah-naskah cerpenku. Seharusnya, kemarin aku sudah menyerahkannya. Kukatakan kepadanya, kalau aku hanya tinggal membuat satu cerpen lagi untuk melengkapi. Dan, kukatakan juga kepadanya, kalau aku baru saja menyelesaikan sebuah cerita yang baru kutulis di kepalaku.

Ceritanya tentang seorang lelaki berkemeja lengan panjang warna biru tua, yang diteriaki copet oleh seorang wanita gemuk yang berdiri di sebelahnya, di dalam sebuah gerbong kereta yang sedang berjalan. Padahal lelaki itu tidak mencopet dompetnya. Atau, dia mencopetnya? Orang-orang yang berada di dalam gerbong itu tak seorang pun yang berminat mencari tahu. Mereka lebih tertarik untuk segera menghabisi lelaki yang kelihatan sangat terpelajar itu. Sampai mati? Mereka tidak juga merasa perlu mencari tahu apakah lelaki itu sudah mati sebelum mereka melemparnya dari atas gerbong kereta yang berjalan. "Cerita yang menarik, bukan?" kataku kepadanya. Dan, dia sangat menyukainya. Sampai di situ pembicaraan kami terputus.
"Karcisnya, Mas?"
"Ups." Aku tak membeli karcis!
"Karcisnya, Mas?" kondektur kereta itu mengulangi ucapannya.

Aku merogoh saku celana panjangku. Kutemukan beberapa lembar ribuan di sana. Kucomot satu lalu kuselipkan di genggaman kondektur itu.
"Apa ini?"
"Karcis, Pak."

Kondektur itu tersenyum. Aku mengelus dada. Lega. Tapi kemudian, dia mengembalikan seribuan yang kuberikan ke tanganku. "Di stasiun berikut kamu harus turun untuk membeli karcis!" Setelah mengucapkan itu, dia melanjutkan tugasnya membolongi karcis para penumpang kereta.
Ah, ternyata masih ada orang jujur. Aku meringis. Malu.

Kereta berhenti di sebuah stasiun. Manggarai. Aku bisa saja tak usah turun untuk membeli karcis. Toh, kondektur itu tak akan kembali meminta karcis dariku atau dia akan kembali? Entah. Tapi aku malu dengan kejujuran kondektur itu. Jadi kuputuskan untuk turun membeli karcis, sebelum aku pindah ke kereta yang ke arah Bogor. Aku ingin segera kembali ke rumahku. Aku sudah tak sabar ingin menumpahkan cerita yang baru saja kutulis di kepalaku ke dalam komputerku, sebelum di-print dan kuserahkan kepada temanku yang bekerja di penerbitan.

Orang-orang berebut pintu. Aku melompat turun dari gerbong kereta. Dan, pada saat yang bersamaan, aku mendengar orang berteriak lantang.
"Copeeeettttt!!!"
Semua mata memandang ke arahku.
Memandangku?
Seorang wanita berdiri persis di mulut pintu, menuding ke arahku.
Ke arahku?!
"Ups!"

Kulihat lelaki berkemeja lengan panjang warna biru tua melangkah tergesa meninggalkan stasiun. ***