Dilarang Menjala Ikan di Hari Sabtu

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Jawa Pos 27/05/2007



Akhirnya aku menjejakkan kaki di daratan. Sebuah pulau yang entah apa nama sebenarnya. Tak tercatat dalam peta yang kubawa. Pasir itu permadani putih. Terhampar sunyi seperti tak pernah disentuh kaki. Karang-karang membenteng tumbuh di sepanjang bibir pantai. Inikah yang mereka sebut Pulau Monyet?

"Jangan pergi ke sana! Kau tak akan selamat. Karang-karang itu akan melumatmu!" Kandaena Rahmah, punggawa posasi? sande? Sinar Ilahi yang kutumpangi memperingatkan.

"Aku tak akan mengurungkan niatku. Aku harus ke tempat itu."
"Lupakan saja pulau itu!" tambahnya, "kau tak akan menemui siapa pun di sana kecuali roh-roh jahat dan kera-kera lapar!" katanya menakut-nakuti. Pangguling sande? itu terus berkonsenterasi pada laju perahu. Tangannya sibuk mengatur bukaan guling dan menarik baya-baya . Duduk di buritan. Lutut kanannya menempel di antara dada dan ketiak. Paha dan betis kirinya merapat di lantai perahu, sehingga kaki kirinya berada di belakang tumit kaki kanannya. Di antara telujuk dan jari tengah tangan kirinya, selinting rokok terselip. Sekepul asap terembus dari bibirnya yang hitam.

Bukan tanpa alasan Kandaena Rahmah berucap seperti itu. Dia sangat khawatir kepadaku. Pulau ini memang telah lama dikucilkan. Tak seorang pun sudi singgah. Hikayatnya serupa dongeng suci yang dikisahkan dari generasi ke generasi. Aku mendengarnya di sebuah kedai kopi dekat pelelangan ikan. Ketika itu, sebuah sande? merapat ke bibir pantai dengan seorang potangnga berwajah lesi. Tubuhnya menggigil seperti diserang malaria. Bibirnya bergetar merapal kata yang sama. Berulang-ulang. Seperti mantera. "Pulau monyet? pulau monyet?" Telunjuknya menuding lautan. Orang-orang yang pergi motangnga bersamanya tak meninggalkan jejak. Menghilang.

"Sudah diperingati jangan menjala ikan di sekitar pulau monyet," kata pemilik kedai kopi, "di sana banyak penunggunya!"

"Hari apa ini?" tanya lelaki buta yang duduk di sampingku. Biji matanya hanya selaput putih penuh guratan dan bintik-bintik merah darah. Entah sejak kapan dia berada di situ. Aku tak terlalu memperhatikannya.

"Sabtu," jawabku. Meniup ke dalam gelas kopi. Uap kopi berhamburan tak beraturan. Aroma bubuk hitam itu menyerbu lubang pernapasanku.

"Kutukan itu masih berlaku!" Lelaki buta itu berucap seperti pada dirinya sendiri.
"Kutukan?" Aku mengangkat wajahku. Bibirku belum lagi menyentuh kopi hitam dalam gelas.
"Kau belum mendengarnya?" Telinganya bergerak-gerak seperti mencari keberadaanku.

"Saya pendatang di tempat ini. Mak saya berasal dari sekitar sini. Tapi saya lama tinggal di pulau Jawa. Entah dari mana asal bapak saya, saya tak pernah mengenalnya."

Lelaki buta itu mengeluarkan sebuah buku tua. Semacam kitab. Entah apa. Terbuat dari kulit binatang. Mungkin usia buku itu jauh lebih tua darinya. Dia mencium buku tua itu. Sebelum mendekapnya dalam dada.

"Semuanya ada di sini. Dalam kitab ini. Kutukan itu bukan sebuah dongeng. Tapi sejarah yang terjadi beribu tahun silam."

Aku meletakkan gelas kopiku di atas meja. Wajah lelaki buta itu menunduk seperti menyesali sesuatu. Bibirnya berucap yang tak bisa terdengar oleh telingaku. Aku sudah lama mendengar hikayat Pulau Monyet dari mulut ke mulut. Untuk alasan itu aku berada di tempat ini, kampung halaman makku. Tapi baru lelaki tua itu yang tak sekadar melisankannya, tapi memiliki kitab yang mencatatnya.

"Maaf," ucapku, "tapi bagaimana Bapak bisa tahu apa yang tertulis dalam kitab itu, sedang Bapak tidak melihat?"

"Mataku buta. Tapi hatiku melihat. Telingaku mendengar. Permukaan kulitku bisa merasa. Kitab ini pusaka keluarga yang diwariskan turun-temurun, sejak beribu tahun silam."

"Ceritakan kepadaku tentang kutukan itu," kataku pada lelaki buta itu.
Lelaki buta tak segera menjawab. Ia menggeser posisi duduknya menghadap ke arahku. Lubang hidungnya bergerak-gerak membaui udara. Telinganya serupa antena pada insecta. Jejari tangannya yang keriput menyentuh wajahku. Meraba bulu-bulu halus yang tumbuh lebat di pipi, rahang, hingga ke daguku. Perlahan jari tangan itu menelusup ke dalam syal yang melingkari batang leherku. Tiba-tiba keningnya berkerut. Sejenak terdiam. Raut wajahnya telaga sunyi yang dilempari sebongkah batu. Beriak. Mengusik ketenangan. Lalu. Mengeluarkan tangannya dari dalam syalku. Mengangguk-angguk seperti dokter, yang berhasil mendiagnosa pasiennya.

Lelaki buta itu menyeruput kopi dalam gelasnya. Menghirup udara. Dalam. Sebelum mulai bertutur sebuah hikayat kepadaku dari kitab yang dibawanya. Hikayat Pulau Monyet.
***
Cerita ini terjadi beribu tahun silam. Dalam catatan kitab ini, tak diberi tahu apa nama pulau itu, sebelum kutukan diturunkan bagi penduduknya yang ingkar. Semua bermula dari kedatangan seorang lelaki asing ke pulau itu. Tak ada yang tahu dari mana lelaki itu berasal. Suatu pagi selepas laut membadai, penduduk pulau itu menemukannya terbaring di atas pasir mendekap sebuah kitab. Wajahnya seperti kebanyakan pria dari suatu tempat di Timur Tengah. Hampir serupa dengan wajah para penduduk pulau itu. Mungkin dia berasal dari tempat yang sama dengan leluhur orang-orang yang tinggal di pulau itu.

Entah bagaimana dia bisa sampai di pulau itu. Mungkin dia terlempar dari atas kapal saudagar, ketika laut membadai. Sebuah keajaiban. Lelaki itu masih bernapas ketika para penduduk menemukannya. Lalu merawatnya.

Pulau itu berada di perairan dalam sebuah selat. Seperti dataran terapung di tengah lautan luas. Senoktah hitam di lembaran samudera. Setitik debu di luasnya sahara. Penduduk pulau itu nelayan seluruhnya. Mereka tinggal di kaki-kaki bukit tak jauh dari pantai. Bukit yang terangkat dari dasar lautan akibat proses tektonik, jutaan tahun lampau. Konon, nenek moyang penduduk pulau itu juga berasal dari suatu tempat di Timur Tengah bagian utara. Mereka terusir dari tanah kelahiran akibat penyerangan besar-besaran oleh sebuah kerajaan.

Hampir setiap malam, lelaki itu membaca kitab yang dibawanya-satu-satunya harta miliknya. Suaranya merdu. Seperti orang yang sedang berlagu. Penduduk pulau itu suka mendengarnya. Meski tak mengerti kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Namun, sebagian kaum tua penduduk pulau itu merasa akrab dengan kalimat yang diucapkan lelaki asing itu. Seperti menghitung mundur waktu. Ketika mereka mendengarkan lelaki itu membaca kitabnya. Mengembalikan potongan-potongan ingatan yang melekang. Dihajar masa. Berjarak ratusan tahun dari ketika pertama kali leluhur mereka menjejak kaki di pulau itu. Mereka membayangkan kampung halamannya nun jauh di sana. Kampung halaman yang hanya tinggal sebagai cerita: hikayat yang dituturkan dari generasi ke generasi. Tentang tanah yang diberkahi Tuhan. Tanah yang dijanjikan. Bagi umat yang teguh memegang risalah yang ditulis Tuhan pada dua lempeng batu di atas Thursina. Risalah yang diajarkan oleh lelaki yang membelah lautan dengan tongkatnya. Risalah yang kelak akan disempurnakan oleh Al Mustafa.

Begitulah. Setelah pulih, lelaki asing itu bermaksud tinggal di pulau hendak mengajarkan kitab yang dibawanya. Keterdamparannya di pulau itu bukan sebuah ketidaksengajaan. Sudah lama dia mendengar tentang suku-suku dari kaumnya yang melarikan diri dari tanah kelahiran. Lelaki itu percaya, tangan-tangan Tuhan yang telah menuntunnya ke tempat itu.

Lelaki itu tak perlu beradaptasi lama. Bahasa mereka hampir serupa. Hanya beberapa kosa kata yang berbeda. Lagi pula dia bisa bicara dengan bahasa tubuh. Penduduk di pulau itu pun menerimanya seperti famili jauh yang sedang bertamu. Dia bahkan dibuatkan bangunan sendiri sebagai tempat tinggal. Dikirimi hasil tangkapan laut setiap hari untuk mengisi perut.

Sampai pada suatu petang di hari Jumat. Dia datang mengetuk tiap pintu. Menyampaikan seruan, "Jangan menjala ikan di hari Sabtu!" Tak seorang pun penduduk pulau itu yang mau mendengar seruannya. Mereka hanya tersenyum-senyum saja menanggapinya. Bagi mereka tiap hari adalah sama. Laut selalu menyediakan ikan pada hari apa saja. Tak ada alasan untuk tidak pergi melaut.

Lelaki itu tak jera. Dia terus menyampaikan seruan yang sama, setiap Jumat petang, "Jangan menjala ikan di hari Sabtu!"

"Mengapa kami tak boleh menjala ikan di hari Sabtu?"
"Enam hari Tuhanmu menciptakan bumi, dan berhenti pada hari ketujuh."

"Lalu apa hubungannya dengan menjala ikan di hari Sabtu?"
"Begitu hukum keempat, dari sepuluh perintah yang Tuhan tulis di atas dua buah lempengan batu, di bukit Thursina. Tuhan tak meminta banyak kepada kalian. Hanya satu hari. Satu hari di hari Sabtu untuk mengingat-Nya. Mengagungkan nama-Nya."

"Laut di sini menyediakan banyak ikan di hari Sabtu. Mengapa kami harus mendegarkanmu?"

"Bukan aku. Tapi Tuhanmu. Aku hanya menyampaikan risalah yang Tuhan titipkan pada lelaki pilihan yang membelah lautan dengan tongkatnya. Masih ingatkah kalian pada raja lalim yang mengaku sebagai Tuhan? Dia musnah ditelan lautan yang dibelah dengan tongkat oleh lelaki itu! Begitu perjanjian yang Tuhan ambil bagi kaum kita. Dan Dia akan menimpakan azab bagi yang mengingkarinya."

"Tuhan tidak berbuat apa-apa ketika orang tua kami terusir dari tanah kelahirannya. Mana tanah yang dijanjikan bagi kami?"
"Tuhan tak pernah ingkar. Ketetapannya pasti berlaku."

Begitulah. Pada Sabtu pagi. Mereka menemukan ikan-ikan terapung-apung di permukaan laut. Mati. Mereka malah menganggapnya berkah karena mereka tak berhenti menjala ikan di hari Sabtu. Dan hari-hari setelah itu, tak seekor pun ikan yang bisa mereka jala.

Lelaki itu tak bosan menyampaikan seruan. Pada setiap Jumat petang. Sampai penduduk pulau itu berang. Mereka menuding lelaki itu seorang tukang sihir yang menyebabkan ikan-ikan menghilang dari lautan.

Matahari baru saja menenggelamkan seluruh tubuhnya ke balik tebing cakrawala, ketika lelaki itu dinaikan ke atas sampan untuk dilarung ke tengah lautan. Tanpa bekal makanan. Mereka merebut kitab yang dibawanya. Dan membakarnya!

Sampan lelaki itu belum jauh meninggalkan bibir pantai. Ketika laut tiba-tiba saja bergejolak. Angin berhembus kencang. Langit bergemuruh. Lelaki itu bersujud dalam sampannya. Menangis tersedu. Ketetapan Tuhan pasti berlaku, dia berucap lirih dalam hati. Pagi hari. Lelaki itu berhasil membawa sampannya merapat kembali ke pulau itu. Mengetuk tiap pintu rumah. Tapi tak ada semakhluk manusia pun tinggal di sana, kecuali monyet-monyet yang berjalan dengan kedua kaki laiknya manusia. Tuhan telah mengutuk seluruh penduduk pulau itu menjadi monyet!
***
Lelaki buta itu menepuk pundakku. "Semoga kau temukan apa yang kau cari!" Begitu ucapnya, sebelum meninggalkan kedai kopi. Sepeninggal lelaki buta itu, aku langsung menemui Kandaena Rahmah, seorang punggawa posasi? pemilik sande? Sinar Ilahi yang masih kerabat jauh makku.

"Kau sungguh-sungguh hendak pergi ke pulau itu?"
Aku mengangguk mantap. Tekadku sudah bulat.

"Tapi aku tak bisa menemanimu ke tempat itu."
"Tak perlu. Cukup tunjukkan saja letak pulau itu dari jauh. Aku akan datang sendiri ke tempat itu."

Kandaena Rahmah menarik napas dalam. Mengembuskannya dalam sekali tekanan. Seperti merasa berat, ketika dia berucap, "Baiklah. Aku akan menunjukkannya kepadamu. Baru dua hari lagi kami akan pergi motangga. Masih ada waktu kalau-kalau kau berubah pikiran."

Dua hari kemudian, dengan sande? Sinar Ilahi, kami berlayar ke utara menuju Teluk Paboang. Titik singgah para potangnga, sebelum berlayar ke tengah lautan. Di tempat itu kami mengisi bekal air tawar.

Begitulah. Setelah berhari-hari berlayar. Dari jauh tampak sebuah daratan dengan karang-karang menjulang di bibir pantainya. Pulau Monyet. Dengan lepa-lepa aku merapat ke bibir pantai. Seorang diri. Pulau itu tampak sepi. Aku menarik lepa-lepa dari air. Menambatkannya pada batang nyiur.

Berdiri di atas pasir pantai Pulau Monyet, aku merasa dekat dengan asal-usulku. Aku berharap bisa bertemu dengan bapakku di tempat ini. ***
Rumah Cahaya Depok, 22.09.06 04:28