Sawang

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Ragdi F. Daye
Dimuat di Riau Pos 02/03/2008



Pencari daun enau itu terkejut ketika melihat seorang laki-laki duduk melamun di atas batu karang yang berlumut. Laki-laki itu memakai celana jins biru pudar dan kaos abu-abu. Punggungnya sedikit membungkuk digayuti ransel hitam. Pencari daun enau itu sudah bertahun-tahun menjelajahi rimba Bukik Kapocong untuk mencari pucuk enau, daun pandan berduri, atau buah-buah damar. Dia sering bertemu dengan pemburu babi, pemikat burung, atau para pecinta alam. Namun, belakangan dia lebih sering sendirian di tengah hutan.
Diturunkannya ikatan daun enau dari bahunya. “Sendiri saja?”

Laki-laki itu sama terkejutnya. Dia mengangguk pendek.

“Mau berburu?”

Dia masih muda. Tatapan matanya begitu murung di bawah rambutnya yang menjuntai di kening. Dia mengangguk dingin seperti menginginkan percakapan itu lekas tuntas. Pencari daun enau kembali mengamati. Memperhatikan ransel hitamnya yang terlalu bersih untuk dibawa ke hutan. Arloji di tangan. Juga pakaiannya. Dia ingin bersikap acuh karena maksudnya datang ke hutan itu cuma untuk mencari pucuk daun enau yang nantinya akan dia jemur di rumah lantas dijual ke pasar. Dia tak perlu mengurus orang asing yang sama sekali tak bersangkut paut dengannya. Pencari daun enau itu menyandang ikatan daun enau ke bahunya yang bungkuk. “Berhati-hatilah. Harimau memang tidak akan datang mengganggu, tetapi banyak ular berbisa dan pacet yang bisa menguras habis darahmu.”

Mata mereka bertemu. Sepasang mata muda yang luka dan sepasang mata tua yang letih.

Pencari daun enau itu merasa hatinya direjam kesedihan yang ganjil. Dia menemukan keputusasaan yang siap membunuh. Serta merta pikirannya membayangkan laki-laki muda itu berdiri di tubir jurang, lalu melemparkan diri ke runcing karang.

“Hati-hatilah!” Dia melanjutkan langkah ke bawah.

***

“Aku hanya ingin sendiri dan mati.” Ucap laki-laki muda itu setelah sosok si pencari daun enau hilang di balik semak. “Aku malah bersyukur bila ada harimau datang dan menerkamku. Mencabik-cabik tubuhku. Mengoyak-ngoyak badanku. Menghabisi sekerat hatiku!” Dia menatap nanar rerimbunan pohon-pohon yang tingginya puluhan meter.

Dari arah barat matahari memancarkan sinar kuning pucat.

Laki-laki itu sudah meninggalkan rumah sejak kemarin. Mulanya dia hanya ingin melarikan diri dari suasana rumah, dari urusan menyebar undangan, dari mimpi buruk, dari sumpah dan kejaran rasa bersalah, dari segala kecamuk di pikirannya. Dia mengunjungi teman-temannya, meminta waktu mereka untuk mendengarkan dia bicara. Tetapi tak ada seorang pun yang mau percaya bahwa kondisinya begitu buruk. Dia pun memutuskan pergi ke pinggir kota di pagi hari dengan angkutan umum, kemudian berjalan kaki ke pebukitan yang sering dia pandangi dari balkon.

Dia merasa sakit dan sangat tidak siap. Dia yakin, bila dia melanjutkan apa yang sudah dirancang untuknya, dia hanya akan menjadi pengkhianat. Dia tak akan pernah mencintai siapa pun. Dadanya sudah nyaris kosong. Hatinya cuma tinggal robekan-robekan yang tidak utuh.

Dia telah berjalan, dan terlalu jauh untuk kembali. Dia juga tak yakin semuanya akan seperti sedia kala bila dia kembali. Di pinggang bukit dia berdiri. Jauh di bawah kakinya samar-samar tampak kota dan laut, dan awan-awan, dan langit yang keruh. Angin menampar-nampar mukanya. Dihirupnya dengan risau. Dia telah mencucukkan sebilah pisau ke dada ibunya yang dulu semasa kecil pernah dia teguk sari kehidupan dari kedua susunya.

Semuanya telah berbeda. Dia bukan lagi seorang bocah manis yang selalu tertawa dengan hidung dan mata mengernyit.

Ayo, melompatlah!

Ayo, akhirilah!

Hatinya terasa diremas oleh gelap malam yang turun bersama dingin kabut. Haruskah dia melompat jatuh dan mati, atau berlari turun dan pulang? Dia sama sekali bukan seorang petualang, malah hanya seorang manusia rapuh yang cengeng.

Dikeluarkannya HP dari saku, mencoba terangi sekeliling tempat itu. Dia tak membawa korek api, lilin, apalagi senter. Kegundahan telah membuatnya benar-benar tolol. Tak ada sinyal. Dibukanya folder foto dan video. Disaksikannya gambar-gambar itu sehingga berbagai kenangan dan rasa menggenangi hatinya.

Ruang tamu. Komplek pemakaman. Jembatan penyeberangan. Dia sedang sendiri berlatar pantai. Ibu berkerudung hitam. Kartun. Kartun horor. Merpati-merpati di taman. Lantai kamar. Bibirnya. Sepasang tangan. Reuni hari raya. Dia sedang tidur bergelung. Mukanya dicoret-coret habis main kartu. Tubuhnya. Anjing tetangga yang galak. Dia sedang berteriak. Aaakhh...

Bahkan dia tak menyimpan gambar orang itu agak sepotong.

Lalu untuk siapa semuanya?

Demi menunda kematian ibunya?

Padahal dialah yang hidup.

Dialah yang akan menjalani.

Dia yang akan bahagia.

Atau sakit.

Dia diam. Kelengangan yang menggairahkan mengepungnya.

“Gus...!”

Telinganya mendengar suara yang halus.

“Gustav...!”

Dia menoleh ke sekeliling. Siapa yang telah memanggilnya? Apakah ada yang merasa kehilangan lalu mencarinya?

“Gustav!”

Dia terkejut.

Beberapa saat hanya menatap terpana.

Sosok itu melambai dan merentangkan tangan.

Dia berdiri girang. Mencampakkan ransel ke tanah. Berlari. Menghambur. Mendekap...

***

Burung-burung murai masih berkicau riang ketika pencari daun enau itu sampai di Bukik Kapocong. Dia sudah berusaha datang sepagi mungkin, tetapi tetap terlambat karena istrinya yang nyinyir minta dipetikkan buah kelapa untuk membuat gulai. Dia melangkah di jalan setapak yang penuh rumput liar dan ilalang. Pohon-pohon tinggi membuat hutan menjadi teduh. Akar-akar membelintang, kadang digelungi ular. Anggrek merpati berbunga butih menjuntai dari dahan-dahan kayu lapuk.

Dia tak menemukan si laki-laki muda di batu karang berlumut. Pencari daun enau menengadah ke langit. Dua ekor elang kurik berkulik-kulik. “Anak itu sedang gelap mata. Seharusnya tak kubiarkan dia sendirian.” Matanya melihat ransel hitam yang kemarin tersandang di punggung si pemuda tergeletak di bawah batu. Ditegakkannya badan. Di mana gerangan orang itu? Pencari daun enau menjengukkan kepala ke tubir tebing.

“Apakah...?”

Cepat-cepat dia menuruni tebing yang cukup curam. Dia berpegang pada akar-akar yang berjuntaian. Sandal jepitnya putus. Dia tinggalkan saja. Kakinya menginjak suatu benda yang bukan bagian dari hutan. Diambilnya. Sebuah HP yang telah pecah. Jantungnya berdegup. Dia bersiluncur.

Sosok itu dia temukan tergolek dengan kepala menyandar ke batu. Seperti sedang bermimpi dalam rengkuhan seseorang. Darah mengering dari kepalanya yang retak. Dua ekor pacet menempel di kaki dan tangannya. “Hei..! Hei!” Pencari daun enau meraba urat lehernya. Dingin mati. Dia terhenyak. Jurang itu terasa senyap.

***

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Dia terkejut ketika seorang penyabit rumput telah berdiri di sampingnya dengan sebuah karung kumal yang gendut. Sebenarnya dia tak ingin bicara dengan siapa pun, tetapi bersikap diam akan membuat orang kian penasaran. “Tidak ada,” sahutnya acuh.

Penyabit rumput yang sudah agak tua itu memberinya tatapan penuh selidik. “Apa kau mau memancing?”

“Ya!”

“Hati-hatilah kalau memancing di Lubuk Karaku. Tempat itu agak jahat.” Laki-laki tua itu menyandang karung rumputnya dan berlalu.

Setelah tinggal sendiri, dia melanjutkan lamunannya. Diambilnya sepotong ranting, digurat-guratnya tanah liat merah.

“Apa aku salah karena mengawininya?!”

Sampai malam dia masih tercenung.

Itu dulu, sekitar duapuluh tahun lalu. Setelah sang istri yang masih punya ikatan darah dengannya, melahirkan anak kedua mereka yang juga lumpuh.

***

Setelah menjemput cangkul, sabun mandi, dan tiga helai kain kafan yang dibelinya dengan uang dari dompet si pemuda, dengan susah payah, si pencari daun enau membopong mayat si lelaki muda ke sungai kecil di dasar jurang. Ransel dan HP pemuda itu dibawanya juga. Di tanah datar tak jauh dari air terjun digalinya sebuah lubang. Batu-batu kecil mempersulitnya, tetapi dia terus bekerja keras membuat sebuah liang yang cukup pantas untuk jadi makam.

Kemudian dilepasnya pakaian mayat itu. Sebatang tubuh muda yang tinggal beku. Ada sebuah tato berbentuk ujung pedang menyungkupi pusarnya. Pencari daun enau memandikan dengan hati-hati. Membersihkan luka-lukanya. Menyiramkan air sabun dengan usapan kasih sayang yang pedih seperti tiap kali memandikan kedua orang anaknya yang pernah ingin dibunuhnya. Lalu jenazah itu disucikannya, dibungkusnya dengan kain kafan murah, diikatnya dengan akar kalimpanan, dishalatkannya.

Pakaian pemuda itu dimasukkannya ke dalam ransel beserta arloji, kalung, sebuah cincin perak, dompet, dan HP yang rusak. Ketika memasukkan jenazah ke dalam liang, entah kenapa ada air mata yang meluncur ke pipinya. Disekanya dengan punggung tangan.

“Kau ingin lari, seperti aku dulu. Maka, tenanglah di sini. Selama hidup aku akan menjagamu.”

Diletakkannya ransel di samping jenazah, juga sepasang sepatu bewarna coklat. Ditimbunnya pelan-pelan. Setelah selesai, ditanamnya sebatang kayu lansano di atas kepala pemuda itu yang kini ditutupi tanah.***

Ilalangsenja|Padang, 2007