Tapak Tangan di Leher Ayah

Rabu, 02 November 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Hamzah Puadi Ilyas
Dimuat di Pikiran Rakyat, 30 Oktober 2011

Tidak ada seorang pun di negeri ini yang mampu menyaingi ketampanan ayah. Badannya tegap, hidung mancung, rambut ikal, serta alis tebal. Semua berada di kulit berkilau. Selama ini ia tak pernah kalah berkelahi meskipun lawannya lebih besar dua kali lipat darinya. Ibu pernah bilang bahwa ayah akan menang sekalipun berhadapan dengan banteng marah atau harimau lapar.

Silih berganti dan beragam orang datang ke rumah kami untuk menemui ayah. Ada yang berdasi, ada yang berseragam, ada yang keringatnya bau comberan, ada pula yang lengannya tertutup tato. Kadang ayah tertawa terbahak-bahak bersama mereka, kadang pula berbisik-bisik. Begitu pulang, kebanyakan dari mereka akan memberikan amplop.

“Kamu sangat beruntung punya ayah sakti.” Kata salah seorang tamu berbadan besar dan berkulit segelap malam sambil mengelus kepalaku. Logat bicaranya seperti orang mabuk. Saat itu aku berada di teras bermain mobil-mobilan.

Pernah aku mencoba mencuri salah satu amplop yang paling tipis ketika tamu pulang dan ayah sedang ke kamar mandi. Tapi ibu memergoki tindakanku. Ia berteriak, mata melotot dan telunjuk mengarah tepat ke keningku. Nyali menciut dalam sekejap, lalu aku menangis. Malam hari, ibu datang ke kamarku dan meminta maaf. Suaranya selembut busa, namun terdengar seperti menahan tangis. Sebelum aku tidur ia berpesan agar jangan pernah menyentuh, apalagi mengambil amplop ayah sampai kapan pun.

“Kenapa, Ibu?”

“Nanti akan ibu ceritakan.”

“Kapan?”

Tanpa bicara, ibu meraih tanganku. Ia memijat dari pangkal bahu hingga pergelangan tangan. Ketika menggenggam jemariku, ia tiba-tiba meremasnya. Aku menjerit.

“Masih sangat lama.” Ibu lalu pergi.

Tiga tahun kemudian aku masuk SMP. Beberapa teman laki-laki dan perempuan pernah main ke rumah. Mereka mengatakan kenapa wajahku tidak mirip ayah. Wajahku tidak terlalu tampan, dan rambutku lurus. Aku mulai menyadari perbedaan yang jauh antara aku dengan ayah. Apalagi setelah cintaku ditolak teman sekelas. Karena penasaran, aku akhirnya bertanya pada ibu.

Bukannya menjawab pertanyaanku, ibu malah kembali meremas jemariku seperti dulu. Meskipun tidak menjerit, aku masih sedikit merasa nyeri. Aku hanya meringis.

“Belum saatnya engkau tahu.”

Aku sama sekali tidak mengerti sikap ibu. Aku menjadi marah. Apalagi semakin banyak saja orang yang membanding-bandingkan aku dengan ayah. Kemarahanku memuncak ketika di depanku ada tetangga memuji-muji ayah yang berhasil melumpuhkan seekor sapi jantan besar yang tiba-tiba saja mengamuk ketika hendak disembelih.

Akhirnya kuputuskan untuk ikut latihan bela diri. Ingin kubuktikan bahwa, meskipun tidak setampan ayah, aku bisa menyamai keperkasaannya. Dan suatu saat malah mengunggulinya. Setelah satu tahun latihan, aku bisa mematahkan tujuh susunan balok es. Di tanganku seperti ada kekuatan halilintar yang siap memecahkan apa saja. Aku semakin percaya diri. Latihanku semakin serius sampai akhirnya aku bisa push up sebanyak seratus kali hanya dengan bertumpu pada ujung-ujung jemari.

Memasuki SMA, terasa sepatuku mengecil. Aku menemui ibu, bukan ayah, untuk minta uang. Sejak kecil memang aku tidak dekat dengan ayah. Dan semakin besar, aku dan ayah terasa semakin jauh. Ia tidak pernah bertanya perihal sekolahku, dan aku juga malas bertanya tentang sesuatu padanya.

“Tunggu bulan depan.” Jawab ibu.

Aku cemberut, sekilas teringat tamu ayah yang masih sering memberikan amplop. Aku lalu berkata, “kenapa Ibu, bukankah ayah banyak uang. Kalau bulan depan, aku akan curi amplop ayah.”

“Jangan.” Ibu berteriak, seperti dulu. Ia lalu mendekat. Dengan cepat ia meraih tanganku yang kini mulai ditumbuhi otot-otot. Diremasnya tanganku. Tidak sedikit pun aku merasakan sakit.

“Sudah saatnya. Ibu akan beritahu.”

Aku diam, ibu lalu barkata, “anakku, ibu tidak pernah mengizinkan engkau mengambil amplop ayah karena isinya bukan cuma uang, seringkali obat-obatan yang akan merusak masa depanmu. Sekali engkau mencoba, akan ada makhluk gaib yang mengendap di tubuhmu dan perlu waktu panjang untuk mengusirnya.”

Aku masih diam.

“Ibu tidak ingin itu terjadi karena masih ada rahasia utama yang belum engkau ketahui.”

“Apa itu, Ibu.”

Ibu tidak menjawab, lagi-lagi ia menarik lenganku. Kali ini bukan jemariku yang diremas melainkan lengan atas. Aku meringis.

“Engkau belum siap.” Ibu meninggalkanku begitu saja.

Meskipun kecewa, aku mengerti. Mungkin karena aku mulai beranjak dewasa. Kata-kata ibu akhirnya menjadi pemicu. Aku latihan beladiri lainnya, ditambah latihan beban agar seluruh otot yang ada di lengan sekuat besi. Pelajaran sekolah tidak terlalu aku pedulikan. Yang penting lulus. Tiada hari berlalu tanpa latihan. Akibatnya, makanku semakin rakus dan tubuhku menjadi jangkung. Ibu diam saja, apalagi ayah. Tapi kulihat ayah mulai ditumbuhi keriput dan tidak setegap dulu meskipun ia masih terlihat tampan.

Beberapa tahun kemudian, setelah lulus SMA, kulihat keriput di wajah ayah semakin banyak. Ayah juga terlihat lemah. Orang-orang yang dulu datang sedikit demi sedikit berkurang. Hampir tidak ada lagi gelak tawa, begitu juga amplop. Ketampanan ayah juga lambat laun memudar. Di setiap pergantian hari, ayah makin terlihat murung. Sampai akhirnya ia sakit dan hanya berbaring di kamar. Sejak itu tak ada seorang pun yang datang, hingga tahun terus berganti dan aku telah menyelesaikan kuliah.
Aku rasanya semakin kuat. Otot-otot di lenganku telah menonjol, mulai dari pangkal hingga ujung jari. Ibu memanggilku di suatu senja yang hampir turun hujan, setelah aku mematahkan batang pohon jambu besar dengan tanganku. Batang itu menjulur ke jalan dan mengganggu kendaraan serta pejalan kaki yang lewat.

Ibu menyuruhku ke lantai dua. Ada satu kamar kosong di sana. Sebenarnya aku tidak suka kamar itu karena apek dan banyak kotoran tikus. Tapi demi ibu, aku menurut. Ketika melewati kamar ayah, aku mendengar dengkurnya yang terdengar seperti penderitaan. Kubuka pintu kamar. Ayah terlihat sangat lemah. Dia mirip makhluk aneh. Mulutnya setengah tertutup dan tangannya sedikit terangkat seperti hendak mencakar. Terbersit di benakku, kenapa ayah tidak mati-mati. Apakah mungkin karena terlalu banyak ramuan dan obat-obatan yang telah menjalar di tubuhnya. Kembali kututup pintu kamar. Ada perasaan kasihan, tapi sedikit sekali.

Ternyata kamar di lantai dua telah bersih dan berbau harum. Ada jambangan berisi melati di setiap sudut dan tikar pandan di tengah-tengah. Aku langsung bersila di atasnya. Tak lama kemudian ibu masuk sambil membawa pendupaan yang mengepulkan asap. Ia berpakaian putih-putih, juga ada bunga kamboja putih di atas telinganya. Ia memang telah tua, tapi masih terlihat molek.

Aku menganga. Apa yang akan ibu lakukan? Ia serupa penyihir cantik.

“Julurkan tanganmu.”

Aku menuruti perintah ibu. Ia meremas-remas lenganku. Tampaknya ia meremas dengan sekuat tenaga. Bagiku, rasanya seperti sedang diusap-usap dengan kapas.

“Otot-otot di lenganmu sudah sangat kuat,” kata ibu. “Sudah saatnya.”

“Saatnya apa, Ibu.”

“Mewarisi ilmu tapak tangan ayahmu.”

Ilmu tapak tangan ayah? Ada gambar ayah di pikiranku. Seorang lelaki lemah yang tengah terbaring sakit. Ia tidak bisa bergerak. Tidak hidup, namun belum mati. Mungkin seperti dalam cerita-cerita silat, sebelum malaikat maut menjemput, seorang pendekar akan mewariskan ilmu pada anak atau murid kesayangannya.

“Bukan dari lelaki yang ada di bawah.”

Aku terkejut, punggungku seketika terangkat. Ibu seperti bisa membaca pikiranku.

“Dia bukan ayah kandungmu, anakku.”

Mulutku kembali menganga. Banyak sekali yang mengejutkan hari ini. Belum sempat mulutku terkatup, ibu langsung bercerita: dulu, ada seorang pendekar bernama Satria. Ia berasal dari seberang pulau dan pergi berkelana sampai akhirnya tiba di suatu kampung. Di kampung itu ia jatuh cinta, dan gadis yang dicintainya pun memiliki perasaan yang sama. Tapi orang tua si gadis tidak menyetujui karena ia akan dinikahkan dengan anak orang kaya. Meskipun anak orang kaya itu sangat tampan, si gadis tidak terlalu mencintainya. Akhirnya mereka kabur ke kampung pedalaman yang hampir mendekati tengah hutan.

Anak orang kaya itu juga pendekar. Ia mengejar si gadis. Terjadi pertempuran. Satria memenangkan pertarungan. Ia menggunakan aji pamungkas, yaitu jurus tapak tangan. Kata Satria, jurus tapak tangan itu hanya untuk orang-orang yang otot tangannya sekeras baja. Jika tidak, lengan orang itu bisa terbakar. Hanya dengan merapalkan mantra tiga kali dan menghirup ramuan tertentu, jurus itu bisa dikuasai. Satria memberitahu mantra dan ramuan itu pada si gadis.

Hampir setahun kemudian, anak orang kaya itu datang kembali. Mereka bertarung lagi. Tapi kali ini jurus tapak tangan tidak berdaya. Ternyata anak orang kaya itu telah menguasai ajian pajaka. Ajian pajaka tidak populer di kalangan para jawara saat itu, karena siapa pun yang ingin menguasainya harus dikebiri. Demi harga diri, anak orang kaya itu rela melakukannya. Akhirnya Satria tewas, dan gadis itu dibawa oleh anak orang kaya ke kota dalam keadaan hamil muda.

“Satria adalah ayah kandungmu. Si gadis adalah ibu, dan anak orang kaya itu adalah ayah tirimu yang ada di bawah. Ia dulu pendekar sakti yang dikebiri. Itulah mengapa kamu tidak punya adik.”

Rasanya semua rambut di sekujur tubuhku berdiri. Ada yang bergolak di dada, percampuran antara terkejut, gembira, gelisah, khawatir, marah, kesal, cemburu, dendam, dan sedih. Hawa dingin dan panas datang silih berganti.

“Kamu siap menerima ilmu tapak tangan, anakku?”

Tanpa sadar aku mengangguk.

Beberapa jam lagi langit cerah. Aku tiba-tiba sadar. Badanku terasa sangat segar, dan kedua lenganku laksana bunga yang baru mekar. Aku rasanya bisa meremukan apa saja. Dunia ada dalam genggaman. Semua penghalang bisa kutebas dengan tangan. Kulihat ibu duduk bersandar di dinding ruangan. Satu lengannya memegang kalung melati.

“Anakku, ibu lelah. Ibu ingin beristirahat sebentar.”

“Baik, Ibu.”

Aku turun. Aku seperti manusia baru, merasa benar-benar bagai seorang pendekar sakti. Bukan hanya yang selama ini aku tonton di televisi.

Ketika melewati kamar ayah, lamat-lamat aku mendengar erangan kepedihan bergumul keputusasaan. Kudorong daun pintu. Posisi ayah masih seperti sebelumnya: mulut menganga dan tangan terangkat seperti hendak mencakar. Aku masuk dan mendekati ayah tiriku. Matanya melirik. Sekilas aku melihat rona wajahnya seperti sedang berhadapan dengan malaikat pembawa maut.

Ayah berkata sangat pelan. Tak jelas, aku tak mengerti. Ia terlihat ingin berkata-kata lagi. Kudekatkan telinga ke mulutnya. Akhirnya engkau datang juga, begitu kira-kira yang kudengar. Ia kemudian melanjutkan bicaranya dengan sangat terbata-bata, cepat lakukan, aku sudah tidak tahan dengan penderitaan selama bertahun-tahun. Ilmu dan kekuatanku telah musnah. Tapi jiwaku masih terperangkap di jasad ini. Menyakitkan sekali.

Aku mengangkat kepala. Kupandangi wajah ayah. Rasa kasihan muncul. Kali ini sangat dalam. Belum pernah aku merasa kasihan pada seseorang sedalam ini. Tanpa sadar, tanganku terangkat. Seolah ada maha kekuatan yang menggerakannya. Jari-jemari terbentang, dan perlahan merambat ke leher ayah. Dalam sekali cengkeraman, tangan ayah yang tadi sedikit terangkat telah turun. Mulutnya tak lagi menganga, melainkan tertutup dan membentuk garis senyum. Ketika cengkeramanku terlepas, ada bekas tapak tangan di leher ayah berwarna kemerahan yang dibarengi sedikit kepulan asap berbau melati.

Aku keluar. Kulihat ibu telah berada di ruang tengah. Kalung melati masih digenggamnya. Aneh, ada beberapa helai uban di rambut ibu.

“Ibu.”

Aku memeluknya.

“Tidak apa-apa, anakku.” Ia membelai kepalaku. Suaranya lebih halus dari angin sepoi-sepoi. “Sekarang pergilah engkau ke rumah Pak RT. Beritahu bahwa ayahmu telah tiada. Ibu akan menyiapkan tikar untuk para pelayat.”

Aku mengangguk.