Ayahmu Mati

Selasa, 25 Oktober 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Desi Puspitasari

Dimuat di Jawa Pos, 16 Oktober 2011)

AKU sedang merencanakan pembunuhan terhadap ayahku. Laki-laki itu baru saja berteriak padaku—dan aku balas berteriak padanya. Tidak ada yang salah menurutku, bagian berteriak. Seperti hukum fisika—ada aksi, akan ada reaksi bukan? Aku adalah seorang manusia, punya hati, punya perasaan, dan punya luka.

Seorang laki-laki yang bernama ayah dan memiliki nama alias suami dari ibuku, menurut buku psikologi anak jaman sekarang, melakukan kekerasan fisik semasa aku masih kecil. Ketika aku melakukan kesalahan, atau bahkan ketika aku tidak tahu apa salahku, dengan mudah saja ia mencubit—cubitan yang begitu besar, di bagian paha. Meninggalkan memar biru keesokan hari, yang tak terlihat oleh ibu. Ketika suatu hari, seekor kucing menumpahkan deretan kaleng catnya, tanpa bertanya, ia memukul punggungku dari belakang menggunakan kuas raksasa yang masih basah oleh cat.

Aku berteriak ada apa.

Ia balas berteriak, “Kau menumpahkan catku, sialan! Tidakkah kau tahu aku hidup dan mendapat uang dan membiayai sekolahmu dari cat itu! Sialan!”

Oiya, dia memaki. Psikologi anak jaman sekarang mengatakan jangan pernah mengatakan ‘tidak’ atau ‘jangan’ pada anakmu—tapi ayahku mengumpat. Sempurna.

Selalu ada saat pertama bagi setiap anak. Waktu duduk di bangku SD aku belajar matematika. Aku tidak tahu bagaimana harus meletakkan satu-satuan lambang dari rumus matematika, dan aku membutuhkan waktu lebih untuk itu. Bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan rasa ketertarikan tinggi terhadap salah satu atau jenis mata pelajaran tertentu, tapi ia tidak mengerti itu. Ia menjelaskan segalanya dengan nada tinggi dan pensil yang ditekan kuat-kuat hingga patah ujungnya. Aku tidak mendapatkan apa-apa dari pelajaran matematika kecuali rasa takut dan air mata.

Aku lebih cenderung menyukai pelajaran bahasa Indonesia—dan mendapat mimpi buruk pada pelajaran matematika.

Ayahku juga suka membanting barang. Menurutku, seharusnya ia menyalurkan kelebihan tenaganya dengan menjadi atlet gulat. Setidaknya ketika ia membanting manusia lainnya dan menang, ia akan mendapatkan uang. Ketika ibuku melakukan kesalahan, atau salah ucap, atau ketika ia tidak sependapat dengan suaminya, ayahku melempar tutup panci—atau, tepatnya, membanting tutup panci hingga penyok. Pada saat lain, ketika aku membantu ibuku memasak di dapur dan mengetahui wujud panci yang sekarang, aku bertanya padanya ada apa. Ia hanya menjawab, “Waktu itu ayahmu sedang naik darah.”

Oh iya. Tentu saja. Ibuku sebenarnya tertekan. Hanya saja ia tidak pernah mengatakannya pada ayah. Pada usia lima atau tujuh tahun aku sering menemui ibuku menangis di dalam kamar sambil menulis-nulis di kertas. Aku bertanya apa yang ditulisnya. Ia tidak menjawab, hanya terisak. “Lebih baik aku mati. Aku sudah tidak tahan lagi. Lebih baik aku mati.”

Yah, kematian memang sebuah jalan keluar dari segala permasalahan hidup.

Tapi ibuku tidak melakukan itu. Ia terus bertahan hanya untuk satu alasan. Diriku.

“Seorang anak itu artinya begitu besar bagi seorang ibu.”

Yap! Dan belum tentu untuk seorang ayah. Seorang laki-laki tidak pernah merasakan betapa sakitnya memiliki vagina yang ‘robek’ begitu lebar untuk jalan keluar seorang bayi. Ia tidak tahu betapa perih jahitan yang disematkan kemudian. Proses kelahiran yang lancar. Pada proses kelahiran yang ‘bermasalah’, tentu akan lebih ‘menderita’ lagi. Agama mengganjarkan surga bagi seorang perempuan yang mati saat melahirkan. Tapi seorang ibu tidak pernah berpikir mengenai surga ketika sedang berjuang mati-matian melahirkan bayinya. Ia hanya berpikir, “Anakku selamat!”

Sedang laki-laki hanya mampu menunggu dengan cemas di luar ruangan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Sungguh cengeng. Kata siapa laki-laki lebih tegar ketimbang perempuan? Kalau sampai ada seorang laki-laki yang berani menyakiti istri atau perempuan mana pun, maka ia berhak dikutuk menjalani proses kelahiran seorang diri. Kupikir itu balasan yang setimpal.

Begitu. Ayahku adalah seorang yang keras. Saat kondisi hatinya sedang baik, maka ia menjadi ayah yang menyenangkan dan bisa diajak bicara. Tapi ketika kondisi hatinya buruk, maka jangan bertanya. Wajarnya seorang manusia memang begitu.

Tapi ia telah berteriak padaku. Menyalahkan setiap keputusanku. Memojokkanku dengan setiap pertanyaan. Ia berteriak bahwa kebiasaanku bangun siang membuatku tidak segera bertemu jodoh.

Bangun siang adalah sebuah kesalahan. Aku menulis hingga subuh, dan baru tidur setelahnya, maka bangun siang adalah sebuah kesalahan.

Aku tidak segera ketemu jodoh. Sempurna. Aku baru saja putus cinta. Padahal aku dan pacarku, mantan, sudah membicarakan hal serius—mengenai hubungan yang sebaiknya dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan. Tapi kemudian hubungan itu kandas. Putus cinta itu menyakitkan. Dan aku dituduh tidak pernah memikirkan hal serius satu itu.

Putus cinta itu menyakitkan.

Tidak bisakah ia menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya—memojokkanku dengan kata-kata menyakitkan?

Bahkan ketika aku bangkrut, tidak memiliki uang serupiah pun, pembayaran royalti buku masih tenggang beberapa bulan dan belum satu pun cerita pendekku yang dimuat, maka kupikir kembali ke rumah dan berlindung untuk sementara adalah pilihan bagus. Kupikir keluarga adalah sebuah pilihan bagus untuk kembali, bukan? Karena semua orang bilang keluarga adalah segalanya. Tapi bagi ayahku tidak. Ia mengusirku. Ia bilang seharusnya aku belajar hidup mandiri.

Mari kita bicara logika dan rasional. Aku sedang tidak punya uang. Dan sedang bicara mengenai usaha mengumpulkan uang. Dan ayahku mengusulkan ide brilian—seharusnya aku belajar hidup mandiri.

Baiklah. Aku bertahan di rumah. Aku tidak mau mati kelaparan di kos-kosan. Lagipula perut berisi akan memberi kemudahan lebih bagiku untuk menulis dan menyelesaikan cerita. Laki-laki itu seperti mendapat kesempatan untuk terus mengoceh mencacatku. Hingga akhirnya… salah satu cerpen dimuat dan aku mendapat honor yang lumayan. Meski tidak seberapa, maka aku memutuskan untuk mengepak barang dan pergi. Tujuh ratus ribu adalah modal yang lumayan. Aku berpamitan pada ibuku. Restu ibu bagiku adalah segalanya. Ayah? Hm.

Maka aku pergi. Mengurus hidupku sendiri. Selamat tinggal neraka. Selamat tinggal mulut nyinyir. Aku bebas.

Bertahun-tahun kemudian ibuku kembali menelepon. Ia bilang seharusnya aku menelepon ayahku dan bicara padanya. Sebaiknya anak perempuan tidak mendiamkan ayahnya—sekasar apa pun perkataannya, sekasar apa pun perbuatannya. Sebaiknya seorang anak selalu menghormati orang tua.

Maka aku melakukan panggilan telepon. Aku memberi salam, dan ia menjawab singkat. Aku menanyakan kabar, dan ia menjawab, “Kau telepon karena diminta ibumu? Anak kurang ajar! Mulai kapan kau akan beranjak dewasa dan melakukan segalanya atas keputusanmu sendiri?”

Aku sakit hati.

Baiklah. Mungkin sebagai orang tua, ayah tepatnya, dia bukan seorang monster. Bukan seorang yang menakutkan. Bukan seseorang yang, katakanlah, penyiksa fisik. Ia hanya seorang bapak. Dan aku membencinya.

Maka aku merencanakan pembunuhan baginya. Terdengar tidak masuk akal. Terdengar tidak rasional. Tidak bisa dilogika. Aku hanya membencinya. Oiya, ketika seseorang sedang dikuasai amarah, maka setan pun akan lebih berkuasa padanya. Aku tahu. Aku memiliki pengetahuan yang cukup tentang itu. Dan aku membiarkannya. Karena seperti yang kukatakan sejak awal, ‘Aku seorang manusia, punya hati, punya perasaan, punya luka, punya harga diri, dan ingin diperlakukan sebagai manusia normal lainnya, seperti seorang anaknya pada umumnya.’

Di akhir telepon laki-laki itu berteriak, “Aku ingin mati! Memiliki anak perempuan sepertimu artinya sia-sia!”

“Kau juga laki-laki tidak berguna!” Aku balas berteriak. Sampai kapan ia akan terus menerus berteriak padaku! Aku sudah capek—maka aku balas berteriak! “Kau tidak tahu betapa ibu harus menahan diri sakit hati sejak dulu! Kau tidak pernah tahu—”

“Kau anak kurang ajar!”

“Kau yang membentukku untuk bersikap kurang ajar! Kau tidak memberiku pilihan!”

Kenapa ketika seorang anak berperilaku buruk, orang tua seperti enggan melihat kembali ke dalam dirinya. Mereka akan dengan mudah menyalahkan anaknya begitu saja. Memang, mencari kesalahan orang lain, mencacat kekurangan orang lain, mengatakan hal-hal yang buruk mengenai orang lain adalah hal yang sangat menyenangkan. Asik! Dan merupakan hobi bagi ayahku.

“Aku ingin mati,” katanya. Lalu menutup telepon begitu saja.

Aku ingin mati. Dia sendiri yang bilang.

Maka apa sebaiknya yang kupilih untuk membunuhnya? Arsenik? Aku pulang ke rumah. Selama beberapa hari. Melepas rindu pada ibuku, dan berpura-pura ramah pada ayah. Lalu aku akan membuatkannya teh tubruk hangat dengan air mendidih langsung dari kompor. Masukkan gula pada akhirnya, tunggu air teh hingga berwarna merah karena batang teh yang tersepuh air panas. Lalu aduk. Campur beberapa serbuk arsenik ke dalam minuman. Tidak berbau. Tidak berbekas. Sempurna. Tapi aku tidak, bagaimana akhirnya ketika dia mati. Maksudku, apakah ia akan mengeluarkan busa dari mulutnya—seperti yang kulihat di film-film? Kalau iya, maka mampuslah aku. Kematian yang tidak wajar hanya akan mengundang tanda tanya dan rasa penasaran. Polisi datang dan aku dipenjara? Oh, terima kasih. Tidak.

Bagaimana dengan racun tikus. Tikus bandel yang diracun ibuku setiap kali rumah kami didatangi makhluk mengganggu tersebut, ibu meletakkan beberapa puluk nasi di kertas koran dan menebarkan serbuk hitam itu di atasnya. Saat tengah malam, tikus-tikus itu berpesta pora menyantap makanan dan beberapa jam kemudian ia mati kaku. Tapi… sepertinya membunuh seorang laki-laki yang menyumbang sperma demi membentuk jasadku, racun tikus terasa kurang elegan. Yah, dia adalah ayahku. Dan racun tikus kupikir agak kurang sopan untuknya.

Bagaimana kalau aku menyewa pembunuh bayaran? Menarik beberapa timbunan uangku lalu kuserahkan pada seseorang untuk menghabisi nyawa laki-laki itu. Tapi… aku tidak suka tampilan pembunuh bayaran. Aku mungkin tidak tahu bagaimana wujud asli mereka. Berdasar sinetron konyol di televisi, maka pembunuh bayaran itu berwujud seorang laki-laki bertubuh gempal, mengenakan jaket kulit, atau hanya kaos singlet hitam, tubuh berkeringat, bodoh, dan hanya bisa berkata, “Baik, Bos! Oke, Bos!”

Oh, tidak. Aku butuh seseorang yang lebih cerdas. Memangnya apa yang kuharapkan? Ayahku mati—dan aku berpikir terlalu rumit.

Bagaimana kalau aku menggunakan jasa tukang tenung? Sihir jarak jauh. Kirim paku dari ribuan kilometer dari tempatnya berada. Tunggu beberapa menit, maka ia akan muntah darah dan mengeluarkan ribuan paku dari mulutnya.

Oh, tidak. Aku mengernyit ngeri. Bayangan itu begitu menakutkan dan menjijikkan. Ibuku akan terlalu repot ketika membersihkan jasadnya. Aku tidak mau merepotkan ibuku. Lagipula, aku akan menanggung dosa yang terlalu berat ketika menggunakan sihir. Aku hanya ingin ayahku mati, dan aku memanggul dosa besar. Yah, berharap kematian orang tuaku sebenarnya sudah merupakan sebuah dosa. Tapi ketika dosa itu bisa diperkecil takarannya—maka aku mencoret tukang sihir.

Atau aku mengirim surat kaleng? Menulis satu demi satu dosa yang diperbuatnya mulai dari saat aku kecil. Setiap perkataan yang menyakitkan hati. Setiap perbuatannya yang menyakiti hati. Lalu—

Telepon berdering.

Ibuku menelepon. Dia menangis. Aku bertanya ada apa. “Ayahmu mati. Kecelakaan.”

“Kapan?”

“Baru saja. Ia masuk rumah sakit dan berpesan, ‘Jangan bilang pada anak perempuanmu. Diam saja. Jangan membuatnya khawatir. Kalau aku sudah sembuh dan keluar rumah sakit, ketika dia pulang, baru kita cerita seperti bukan kejadian luar biasa’.”

Ibuku menangis lagi. “Ayahmu mati.” (*)