Tamu

Rabu, 08 Juni 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Mashdar Zainal
Dimuat di Surabaya Post, 5 Juni 2011

Rumah kami tidak terlalu besar, tapi juga tidak bisa dibilang kecil. Rumah kami memuat 3 kamar yang masing-masing berukuran 4x5 meter, 3 kamar madi, sebuah ruang keluarga—tempat anak-anak menonton TV, sebuah ruang baca sekaligus perpustakaan pribadi, sebuah dapur yang bersebelahan dengan garasi, dan sebuah ruang tamu berukuran 4x6 meter. Di depan rumah ada taman yang tidak terlalu luas, tapi lebih dari cukup untuk ditanami berbagai macam bunga serta membuat pancuran dan kolam ikan. Di rumah, kami tinggal berlima. Saya dan istri, dua putra kami yang semuanya masik duduk di bangku SD (yang besar sudah kelas empat, yang kecil baru masuk kelas satu), dan seorang khadimah yang bertugas memasak dan mengurus rumah.

Rumah kami terasa mati meski tak pernah sepi. Setiap hari jerit anak-anak dan suara bising Play Station sudah menyambut kami setiap kali pulang kerja di sore hari. Rumah kami juga terang benderang, lampu-lampu besar berhias kristal menempel dan menggantung di mana-mana, namun dalam hati kecil kami, kami merasa rumah kami sangat redup dan suram.

***

Suatu malam, sepulang dari pengajian, kami langsung ambruk di pembaringan. Bahkan aku tak sempat mengucapkan selamat malam pada istriku. Begitu juga dia. Kami sama-sama letih. Dan pada malam itulah—jauh selepas malam, lelaki itu datang. Kami mendengar bel berbunyi. Sesekali sayup-sayup suara pintu diketuk. Aku tak menggubris sama sekali. Biasanya, sekali saja ada bel berbunyi, pembantuku yang akan langsung membukakan pintu. Tapi aneh sekali, lebih dari lima kali, dan bel itu masih terus berbunyi, diiringi ketukan pintu sesekali. Terpaksa aku bangkit dari tidur sambil mengumpat dalam hati.

“Siapa sih, bertamu malam-malam begini. Tak tahu aturan.” gumamku masih setengah sadar.

Aku berjalan sempoyongan, mendekati pintu. Dengan mata yang masih setengah mengatup, kutarik grendel pintu. Kutarik gagang pintu itu pelan-pelan—telah kusiapkan pula muka masam. Dan mataku terbelalak ketika daun pintu telah kubuka lebar. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi sudah beruluk salam sambil melempar senyum. Entah bagaimana kujelaskan ketampanannya, dibalik kulit wajahnya seperti tersimpan butiran cahaya yang terus berpendar. Entah musabab apa, aku seperti tersihir oleh cahaya di wajahnya. Maka rasa kantukku seperti hilang begitu saja, hatta lelaki itu kupersilahkan masuk. Ketika aku hendak beranjak untuk memanggil pembantuku—supaya membuatkan segelas teh atau kopi, lelaki itu melarangku.

Lelaki itu mengaku bernama Ahmad. Ia bilang, ia mengenalku, bahkan ia bersikeras menyatakan bahwa aku juga sangat mengenalnya. Entahlah, setelah kutilik wajahnya beberapa kali, aku memang merasa pernah mengenalnya, bahkan sangat mengenalnya. Namun entah kapan, entah di mana, aku lupa.

“Maaf, sudah menggangu istirahat, Tuan.” Tuturnya lembut.

“Oh, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong ada keperluan apa bertamu malam-malam begini, apa ada sesuatu yang sangat mendesak.” Balasku.

“Oh, tidak, saya hanya ingin bermalam saja di rumah Tuan yang hangat ini.”

Pernyataanya sesungguhnya cukup ganjil, bagaimana mungkin ada orang ingin menginap di rumah orang lain tanpa alasan yang jelas, datang malam-malam buta pula. Namun lagi-lagi, entah kenapa, semua yang meluncur dari mulutnya terasa benar dan tidak mengada-ada.

“Memangnya Tuan berasal dari mana.” Aku mencoba mengorek sesuatu tentang dirinya.

“Tuan tahu saya dari mana. Hanya saja Tuan lupa.” Balasnya enteng. Namun lagi-lagi, aku tidak memperslahkannya. Semua yang meluncur dari mulutnya terdengar mantap.

“Sebentar, sebentar, siapa ya?” aku mengetuk-ketuk jidadku sendiri. Kupicingkan mata ke lelaki itu. Dan lelaki itu hanya tersenyum.

“Tak perlu dipaksa, nanti Tuan juga akan tahu siapa saya.”

“Siapa, ya?” aku masih penasaran.

“Mmm… bolehkan saya numpang sholat sunnah. Apa ada mushola di rumah Tuan?” ucapnya tiba-tiba.

Aku terantuk, dan tak tahu harus menjawab apa, “oh, maaf. Tak ada mushola khusus di rumah saya. Saya menggelar sajadah di sebelah ranjang, dan biasanya saya sholat di sana.”

“Oh tidak apa-apa. Sholat bisa di mana saja.”

Segera saya antar lelaki itu ke kamar tamu, saya ambil sajadah yang masih terlipat dalam lemari.

“Silahkan!” lirihku.

Lelaki itupun menggelar sajadahnya ke arah kiblat. Aku mengintip ia dari balik pintu. Beberapa kali aku menepuk kepala, mengingat-ingat, kapan terakhir kali aku sholat malam. Sebulan yang lalu? Setahun yang lalu? Dua tahun yang lalu? Lima tahun yang lalu? Entahlah! Aku benar-benar lupa. Tiba-tiba aku merasa sangat malu pada diriku sendiri.

Hampir setengah jam aku menunggunya di ruang tamu. Aku kembali terkantuk-kantuk.

“Kalau Tuan mengantuk. Sebaiknya Tuan istirahat saja.” Suaranya membuatku terhenyak.

“Oh, sudah selesai. Tidak, saya tidak mengantuk.”

“Maaf, apa Tuan ada Al-Quran?” ia kembali bertanya.

“Al-Quran?” Aku tertohok. “Oh ya, sebentar-sebentar.” Aku bangkit dan berjalan ke dalam kamar. Aku sudah mulai deg-degan. Jujur, aku tidak tahu apakah di rumahku ada Al-Quran atau tidak. Tapi aku terus mencari. Mustahil seorang muslim tak punya Al-Quran di rumahnya. Aku terus mencari, membongkar lemari dan buku-buku. Hingga kitab itu kutemukan di antara tumpukan buku-buku lawas yang tak pernah kubaca. Ia begitu usang dan berdebu. Aku memeluk kitab itu dengan lega, dan entah kenapa aku ingin menangis. Segera aku berlari memui lelaki itu di ruang tamu. Ia masih di sana, matanya terpejam, tapi mulutnya merapal surah-surah yang tak kutahu.

“Maaf. Ini Al-Qurannya.” Kuserahkan kitab itu padanya dengan tangan gemetar. Tapi lelaki itu tersenyum. Ia mulai membuka mushaf itu dan membacanya. Ia sudah membaca beberapa ayat saat aku menyelanya.

“Maaf. Nanti kalau Tuan hendak instirahat, silahkan beristirahat di kamar tamu saja. Anggap saja rumah sendiri.” Kataku, sebelum memohon diri untuk kembali ke kamar.

Aku berjalan lesu ke kamar. Kulihat istriku masih mendengkur. Dari dalam kamar. Kudengar suara lelaki itu melantunkan ayat-ayat dengan sangat sempurna dan merdu. Entah kenapa aku tak bisa tidur lagi. Ingin kubangunkan isteriku, tapi melihat tidurnya yang sangat pulas, niat itu kuurungkan.

Pikiranku kemali pada lelaki itu, lelaki yang bertamu malam-malam dan sekarang tengah membaca mushaf di ruang tamu. Hal itu seharusnya sangat aneh. Sangat sangat aneh. Tapi tidak untuk malam itu. Kucoba utuk memejamkan mata kembali, namun gagal. Maka kuputuskan untuk kembali ke ruang tamu. Di sana, lelaki itu masih duduk terpaku dengan mushaf di pangkuanya. Ia melihatku datang, lantas ia menyudahi bacaanya. Ia bagai bersiap-siap untuk kuajak berbincang-bincang panjang.

“Rumah Tuan lumayan besar, ya!” komentarnya tiba-tiba.

“Yah… Alhamdulillah. Ini patut saya syukuri.”

“Tuan suka membaca?” Tanyanya lagi.

Tiba-tiba aku sangat bersemangat dengan pertanyaannya, “ouh, aku punya perpustakaan pribadi.” Sambutku girang. “Mau melihat-lihat?” lanjutku.

“Dengan senang hati.” Balasnya singkat, tetap tersenyum.

Aku bangkit dan melenggang menuju perpustakaan pribadi kebangganku. Sampai di ruang buku, lelaki itu kembali berkomentar, “Wow, buku Tuan banyak sekali. Buku apa saja ini?”

“Oh… Insya Allah komplit. Mulai dari ensiklopedi, kamus, filsafat, pendidikan, bahkan sastra dan novel juga banyak.”

“Mmm… ada Siroh Nabawiyah?” celetuknya.

Aku terdiam di tempatku berdiri. Membeku. Kembali aku tertohok.

“Perjalanan hidup Rasulullah sangat menarik bukan untuk kita baca?”

Aku hanya mengangguk.

“Saya yakin Tuan punya banyak buku Siroh Nabawiyah.” Katanya lagi.

“Oh, tentu.” Aku berbohong.

“Beliau teladan kita. Nabi kita. Namnya kita agung-agungkan, bagai seorang idola. Alangkah lucu jika kita tidak tahu menahu bagaimana kisah hidupnya. Betul bukan?” uangkapnya lagi. Sungguh, kata-katanya bagai sebilah tombak yang menusuk ke ulu hatiku. Aku hanya gemetar.

“Oh. Di mana rak buku-buku Sirohnya?” lelaki itu langsung ke point pertanyaan.

“Sungguh maaf, buku-buku Siroh koleksi saya dipinjam seorang teman untuk refrensi tugas kuliah, dan belum dikembalikan.”

“Ooo… Kalau kitab hadits, tentu Tuan punya.”

“Kitab Hadits?” aku seperti orang bodoh.

“Iya. Shahih Bukhori atau Shohih Muslim. Tuan punya, kan? Hadits adalah sumber hukum ke 2 setelah Al-Quran. Tentu Tuan punya. Saya yakin.”

“Iya. Termasuk kitab hadits, juga dipinjam teman saya. Ada Riyadhus Sholihin. Jami’us Shaghir juga ada. Tapi ya itu, semua ada pada teman saya.” Kilahku lagi. Dalam hati aku berdoa, semoga nama-nama kitab hadist yang kusebutkan tidak ada yang salah.

“Ooo…” kembali lelaki itu ber’o’ panjang.

Aku sangat lega, lelaki itu memakluminya. Namun, kebohongan yang telah melesat dari mulutku beberapa saat yang lalu bagai sebilah cambuk yang terus melecutkan rasa bersalah dan tidak nyaman. Kami masih berjibaku dengan bukubuku. Membacanya sekilas dan mengembalikannya ke rak. Hingga beberapa saat kemudian, lelaki itu berpamitan untuk beristirahat. Aku mengantarnya sampai kamar tamu. Namun sampai di ruang keluarga mendadak ia berhenti di depan tivi.

“Ini apa? Besar sekali. Cermin, ya?” kembali ia melontarkan pertanyaan aneh.

“Oh, ini tivi. Biasa buat hiburan anak-anak.” Kataku.

“Kalau ini?”

“Ini PS, game. Buat hiburan anak-anak juga.”

“Sangat berguna, ya, untuk hiburan anak-anak.” Komentarnya bagai sebuah sindiran. Dan aku menelanya mentah-mentah. Rasanya sepat. Mushola saja tak ada, al-quran usang tak terbaca, kitab siroh dan hadits tak pernah terpikirkan untuk mengoleksinya, sedangkan tivi terpajang di ruang keluarga bagai benda kebanggaan yang sangat berharga. Oo... bagaimana kuhadapi ini?

***

Selepas kuantarkan lelaki itu ke kamar tamu. Aku ngeloyor ke kamar. Pikranku berkecamuk tidak karuan. Sekali lagi kutengok istriku yang masih tertidur dengan mulut menganga. Kali ini, dengkuranya terdengar sangat menjijikan. Aku kembali berjalan keluar kamar. Kutilik kamar tamu tempat lelaki itu beristirahat, sudah tertutup. Aku berjalan menuju kamar anak-anak. Mereka juga masih pulas. Maka kuputuskan untuk keluar rumah. Aku duduk di bangku taman depan. Dingin sekali. Kutilik langit. Bintang-bintang berpendar bagai hendak menjatuhkan diri. Siapa gerangan lelaki itu?

Aku kembali masuk ke dalam, ke perpustakaan. Kugeledah satu demi satu buku-buku di sana. Aku sendiri tak percaya kalau aku tidak punya buku-buku tentang Rasulullah. Nyatanya, memang tak satupun kudapatkan buku tentang Rasulullah di sana, apalagi kitab hadits. Aku ingat, aku memang tak pernah membeli kitab hadits, sama sekali. Aku menggelengkan kepala. Ada yang salah denganku.

Tiba-tiba aku teringat buku-buku anakku. Mereka semua kusekolahkan di sekolah islam terpadu. Tentu di sana ada pelajaran Siroh. Segera aku menghambur ke kamar anakku. Kegeledah meja belajar mereka. Dan di sana kutemukan buku modul tipis: Siroh Nabawiyah. Serta merta kupeluk buku itu. Kubuka satu persatu buku itu. Di halaman-halaman awal kutemukan bab pertama tentang Masyarakat Islam Sebelum Rasulullah, kubaca sekilas. Kubuka halaman berikutnya, tentang Kelahiran dan Masa Kecil Rasulullah. Kubaca dengan saksama, tak terasa mataku berair. Kubaca lagi halaman demi halaman, hingga aku tertidur di kamar anakku sambil mendekap buku itu.

***

Aku terbangun oleh suara tarhim yang bagai menyilet telinga. Aku tergeragap. Pertama kali yang singgah dalam kepalaku adalah lelaki itu. Lelaki berwajah cahaya yang datang tengah malam tadi. Kutengok kamar tamu tempatnya beristirahat. Masih tertutup rapat. Barangkali ia kelelahan, pikirku.

Kulihat Nani, pembantuku, sudah menyiapkan teh hangat di ruang keluarga.

“Sudah bangun, Pak.” Sapanya.

“Iya. Alhamdulillah, bisa bangun pagi. Mmm… Nani?”

“Ya, Pak?”

“Tolong tamunya dibikinkan juga, ya, tehnya!”

“Tamu?” Nani balas bertanya seperti orang bingung.

“Iya. Semalam bapak ada tamu. Sekarang masih istrirahat di kamar tamu.”

“Di kamar tamu?” Nani masih seperti orang ling-lung. “Tapi, barusan saya dari kamar tamu, di sana tidak ada siapa-siapa.” Jelasnya.

“Ha? Bercanda kamu. Wong semalam saya sendiri kok yang ngater dia ke kamar.”

“Lho? Bener, Pak. Barusan saya beresin kamar tamu, dan tidak ada siapa-siapa. Tak ada juga bekas-bekas orang tidur di sana.”

Aku mengernyitkan dahi. Daripada berdebat kuputuskan untuk langsung beringsut ke kamar tamu, dan Nani benar, di sana tidak ada siapa-siapa. Buru-buru kutengok kamar mandi, barangkali ia sedang ke kamar mandi. Tapi di kamar mandi juga tidak ada siapa-siapa. Aku semakin bingung dan heran. Apa semalam aku mimpi?

Hingga matahari meninggi, otakku masih kacau dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Bahkan ketika anak-anak berpamitan hendak berangkat ke sekolah. Aku masih seperti orang ling-lung. Hingga anakku yang paling kecil mengguncang-guncangkan tanganku. Ia berisyarat ingin membisikkan sesuatu. Maka telingaku kudekatkan pada mulutnya yang mungil.

“Abi, Abi! Semalam ada tamu, ya?” ia mendesis bagai membisikkan sebuah rahasia.

Aku terhenyak. Kepalaku kembali pada sosok lelaki yang semalam kuakrabi.

“Memangnya adik tahu, kalau semalam ada tamu?” aku menanggapi pertanyaan itu sambil mengusap wajahnya yang polos. Ia mengedip-ngedipkan matanya.

Detak jantungku kian memburu, “Memangnya, adik kenal sama tamu kita semalam?”

“Memangnya Abi gak kenal?” Ia balik bertanya. Sebelum bibirku bergerak untuk menjawab pertanyaanya, ia sudah kembali bersuara, “Kalau Abi baca buku sirohku, pasti Abi kenal…”, sambungnya singkat, sebelum mengecup tanganku, mengucap salam, lalu melesat berangkat.***