Air Matamu, Air Mataku, Air Mata Kita
Minggu, 29 Mei 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen Ayi Jufridar
Dimuat di Kompas, 29 Mei 2011
KETIKA kamu bercerita tentang apa yang dilakukan lelaki tua itu terhadapmu, kita menangis bersama dalam sebuah kamar bermandikan cahaya. Hujan di luar telah mengembunkan kaca jendela sehingga membuatku ingin menggoreskan namaku dan namamu di permukaannya. Cahaya lampu kendaraan bergerak buram di bawah sana. Dari gerak cahaya yang lamban dan kadang berhenti, aku tahu kemacetan sedang terjadi. Hujan selalu menimbulkan kemacetan, tetapi air mata kita telah melegakan rongga dada. Dadaku dan dadamu. Dada kita tak jauh beda.
Lelaki itu kamu panggil Ayah John karena perbedaan usia membuatmu lebih sesuai menjadi anaknya. Dia adalah atasanmu di sebuah perusahaan farmasi. Dia memperlakukanmu seperti anak, meskipun sudah memiliki empat anak perempuan di rumahnya. Dia memanjakanmu dengan semua kelebihan yang dimilikinya. Menyewakan sebuah rumah buatmu dengan seorang pembantu dan seorang sopir, tapi dia selalu menjemputmu dari rumah ke kantor dan mengantarmu dari kantor ke rumah. Sopir hanya bekerja kalau Ayah John sedang ada tugas ke luar daerah, sehingga dengan waktu yang demikian panjang, sopir menyambi kerja sebagai tukang ojek.
Kalau ada tanggal merah terutama di akhir pekan, dia mengajakmu berlibur ke Bali, Yogya, Lombok dan beberapa derah lainnya di dalam negeri. Keluar, kalian hanya mengunjungi Singapura, Malaysia dan Thailand karena waktu yang sempit. Namun ayah berjanji akan membawamu ke sebuah nergara di Eropa nanti. “Aku harus menabung untuk itu. Yakinlah apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia,” kata Ayah John kepadamu dan aku mendengarkannya dari bibirmu.
Kamu pun bahagia setidaknya sampai saat itu. Ayah John memberikan semua yang tidak kamu dapatkan di rumah. Sebagai balasannya kamu memberikan semua yang kamu miliki termasuk kehormatanmu. “Ayah John akan menjadi suamiku. Aku tak peduli jadi istri kedua, itu hanya masalah angka. Aku ingin memiliki anak dari Ayah John.”
Di luar rumah dia memperlakukan kamu seperti anaknya sendiri. Di dalam rumah ia memperlakukan kamu seperti istrinya sendiri. Akhirnya kamu hamil sebelum Ayah John sempat menikahimu. Untuk menenangkan kamu dia berjanji segera menikahimu setelah kesibukannya di kantor selesai. Kamu yakin itu benar adanya sampai kemudian kamu menemukan beberapa tablet kecil obat peluruh kandungan dalam mobilnya. Ketika kamu tanyakan, Ayah John berdalih mobilnya dipakai teman dan obat itu milik temannya. Kamu tidak percaya dan kalian bertengkar hebat. Saat itulah Ayah John memukul perutmu. Pukulan untuk pertama kali tetapi dilakukan dalam beberapa kali. Dia tak berhenti meskipun kamu sudah menangis histeris. Semakin kencang tangisanmu, semakin keras pukulannya.
“Aku tidak tahu apakah itu pukulan seorang ayah terhadap anaknya atau pukulan suami terhadap istrinya. Tapi aku tidak percaya Ayah John melakukan itu.”
Ketika memeriksakan diri ke dokter kandungan, kamu baru menyadari kandunganmu sudah hancur. Ternyata kamu sudah meminum banyak obat peluruh kandungan yang dilarutkan Ayah John dalam minuman kamu, jauh sebelum kamu menemukan sisa obat itu dalam mobilnya. Dokter mengatakan kamu harus dikuret dan dia bertanya apakah kamu sudah menikah.
Kamu mengangguk di tengah kegalauan yang melanda.
“Saya akan memberi rekomendasi untuk dikuret,” kata dokter itu.
Kamu pulang bukan saja dengan kandungan yang hancur, tetapi juga hati yang lebur. Pupus sudah impianmu untuk memiliki anak dari Ayah John. Isi rahimmu dikosongkan sekosong hatimu. Lalu Ayah John pun pergi darimu tanpa pernah mengatakan apa pun. Rumah kontrakan tidak dibayar lagi, pembantu pulang kampung dan supir sepenuhnya bekerja sebagai tukang ojek karena mobil ditarik Ayah John. Bahkan kemudia kamu pun dikeluarkan dari tempatmu berkerja dengan alasan yang tidak kamu pahami dan tanpa pesangon. Ayah John tidak pernah menjawab panggilan teleponmu. Pesan-pesanmu tak pernah ditanggapinya. Semua kemanisan hidup berasama Ayah John berubah menjadi pahit, lebih pahit dari obat yang diam-diam dilarutkan Ayah John dalam minumanmu.
Dalam keputusasaan itu, kamu kembali ingat masih memiliki keluarga. Kamu kembali kepada keluarga hanya untuk membuat hatimu semakin hancur. Bapak dan ibu menerimamu kembali tetapi tidak mau turut campur dalam persoalanmu karena sudah mengingatkan jauh-jauh hari. Mereka bahkan tidak pernah mau mendengarkan penderitaanmu akibat perlakuan Ayah John karena menganggapmu sudah cukup dewasa menanggungnya sendiri.
Itu kata-kata yang pernah kamu ucapkan ketika kamu pergi dari rumah untuk hidup bersama Ayah John. “Ayah John bukan saja telah membunuh bayiku, tetapi juga membunuh jiwaku.”
Kamu mengucapkan itu dengan air mata yang mengalir di pipi sambil menatap air hujan mengalir di permukaan kaca. Aku memelukmu dari belakang dan mencium pipimu penuh perasaan. Air mata kita menyatu seperti tubuh kita dan seperti perasaan kita. Ketika penyatuan itu terjadi, bahkan diriku dan dirimu tak bisa membedakan mana air mataku dan mana air matamu. Keduanya mengalir di pipiku dan di pipimu menjadi air mata kita.
***
Ketika kamu bercerita tentang apa yang kamu lakukan terhadap lelaki itu, aku menangis sendiri di dalam kamar yang minim cahaya. Tidak ada hujan di luar sana, tidak ada kemacetan, dan tidak ada kamu di sini. Hanya ada aku, hati yang patah, dan air mata.
Dua tahun kalian menjalin hubungan, jauh lebih lama dibandingkan denganku yang baru dua bulan. Dua tahun bukanlah perjalanan cinta terlama yang pernah kamu lewati. Kamu pernah melewati masa tujuh tahun penuh cinta, tapi dua tahun itulah yang paling berkesan sepanjang hidupmu.
Di kamar sama, kita mulai percakapan soal masa lalumu, masa laluku, serta masa depan kita. Kamu tidak bisa datang malam ini karena “ingin mengunjungi saudara yang sakit”. Aku menelepon sabelum kamu berangkat. Kita bercerita tentang aroma dan lagu, dua hal yang bisa membangkitkan memori kita kepada masa lalu. Aroma dan lagu mengundang kenangan, kita bersepakat soal itu.
Aku pun menyemprotkan aroma lemon yang lembut ke seluruh tubuh agar bisa mengingatkanmu sampai di dalam tidur. Aku ingat aroma tubuhmu saat kita menangis bersama dan kuyakin itulah kenikmatan terbesar dalam hidupku. Kejadian itu lebih kuat terpatri bahkan bila dibandingkan dengan desahan kita di kamar mandi.
Setelah mengucapkan janji untuk tetap mencintaiku, suaramu lenyap dari telinga tetapi tetap melekat di hatiku. Aku tidak pernah menyangka itulah kata cinta terakhir yang kudengar darimu. Malam itu aku membawa kerinduanku ke keramaian, berharap lelah datang dan pulang dengan kantuk yang mengundangmu lebih cepat dalam impianku.
Sampai hari berganti dan kamu tak hadir dalam mimpiku, kabar darimu belum juga datang. Aku harus menghubungimu karena didorong rasa rindu yang tak tertahankan. Panggilan pertama sampai panggilan yang tidak dapat kuingat tak juga mendapat tanggapan dari kamu. Aku mengirim pesan dan tidak mendapatkan jawaban. Haruskah kudatangi rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi?
Kamu pernah mengundangku ke rumah dan memperkenalkanku kepada orang tuamu dan ketiga adik lelakimu. Kamu anak perempuan satu-satunya dan sebagi anak sulung orangtuamu mengharapkan kamu bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik. Kamu diharapkan menjadi tulang punggung keluarga bukan tumpuan tulang selangka Ayah John. Itulah kedatanganku yang pertama sekaligus yang terakhir. Kamu melarangku datang lagi karena kedua orang tuamu tidak merestui hubungan kita. “Bagaimana mereka bisa tahu hubungan kita? Kamu menceritakannya? Bukankan kita sudah sepakat akan merahasiakannya sampai mereka dan dunia tahu dengan sendirinya?”
“Aku masih ingat dengan kesepakatan itu. Tapi aku tak ingin mereka tahu lebih cepat.”
“Mereka takkan tahu kalau kamu tidak menceritakannya. Keluargamu mengira kita hanya sahabat. Dunia juga mengira kita sepasang sahabat.”
“Aku bisa membohongi perasaanku dengan kata-kata, tapi tidak dengan mataku.”
Aku menyukai kekhawatiranmu itu dan percaya memang karena itulah kamu melarangku ke rumahmu lagi. Kalau sekarang aku nekat ke rumahmu untuk mengetahu apa yang terjadi apakah kamu akan marah?
Panggilan kamu datang ketika aku berada dalam kebimbangan. Aku menyambut suaramu dengan gembira, tetapi kemudian kamu membawa kabar duka. Ayah John kena stroke. Ketika aku mendengar itu pertama kali aku malah menduga itulah kabar gembira yang sesungguhnya. Kemudian kamu mengatakan dengan jujur selama ini kamu berada di rumah sakit untuk merawat Ayah John.
“Mengapa harus kamu? Bukankah sudah ada keluargnya?”
“Ayah John yang mengharapkan aku datang. Kami merawatnya bersama.”
“Kami?”
“Aku, istri Ayah John, dan keempat anaknya.”
Aku masih belum dapat memahami. Bahkan setelah kamu menjelaskan panjang lebar kalian (kamu, Ayah John, istrinya dan anak-anaknya) sudah berdamai dan sepakat melangsungkan pernikahanmu dengan Ayah John. Itu janji yang akan dipenuhi setelah Ayah John benar-benar sembuh.
“Ayah John pernah mengucapkan janji yang sama dulu. Tapi dia mengingkarinya….”
“Beda, sekarang janji di depan keluarganya sendiri dan semuanya menerima. Kami sekarang seperti sebuah keluarga.”
Kamu percaya dengan janji dan perubahan yang cepat sehingga suaramu terdengar sangat bahagia ketika mengucapkan itu. Kamu tidak peduli dengan hatiku yang terluka sehingga dengan enteng mengatakan hal itu seperti mengabarkan sebuah berita ada film bagus yang main malam ini.
“Kenapa?” aku mulai tidak mampu mengendalikan emosi setelah sekian lama terdiam, “mengapa kamu lakukan ini kepadaku?”
“Maaf, Sayang. Aku tahu ini membuatmu sakit. Tapi aku harus mengatakannya. Aku menginginkan seorang anak dari rahimku sendiri.”
Kita pernah sepakat mengadopsi beberapa anak saat kita hidup bersama. Masihkah kamu ingat dengan semua itu?
Suaramu lalu lenyap dari telingaku dan luka hatiku semakin menganga. Aku tidak percaya kamu melakukan semua ini kepadaku, apa pun alasannya. Kamu membunuh jiwaku dengan membuka kembali cinta lama yang ingin kamu kubur di dasar hatimu paling dalam. Jiwaku baru saja mati tetapi jiwamu baru hidup kembali.
Malam mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil terus menangis. Aku ingin kamu berada di sini dan kita menangis bersama sampai air mata kita menyatu seperti dulu. (*)