Pesan Tengah Malam

Minggu, 24 April 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Mashdar Zainal
dimuat di
Berita Pagi Palembang, 24 April 2011

SATU

Malam berkawin dengan hitam. Angin berpeluk dengan sepi. Larut dan gigil. Jarum jam terus berdetak. Detaknya menyerupai suara mesin ketik tua yang terbata-bata. Lampu masih menyala. Buku-buku masih terbuka. Kulirik jam dinding yang terus berkemeletik, mengetikkan waktu: jarum panjang di angka dua belas, jarum pendek mendekati angka enam. Mataku mengerjap-ngerjap. Berat. Aku harus pergi tidur.

DUA

Lampu kamar kumatikan. Separuh korden jendela kusingkap tepikan. Paku pandangku menembus langsung ke wajah bulan. Ketika tubuh mulai kurebahkan. Selimut kubentangkan. Dan kelopak mata siap-siap kupejamkan. Tiba-tiba, hape di sebelah bantal bergetar, layarnya berkedip-kedip. Diterima sebuah pesan.

Maaf, malam-malam menganggu. Ini aku. Masih ingat?

Menyebalkan. Seperti orang tak punya nama saja. Tak kuacuhkan. Aku yakin, itu hanya ulah seorang teman. Beberapa menit kemudian. Sebuah pesan masuk lagi. Dari nomor yang sama.

Sungguh, Kawan. Aku butuh bantuan.

Aneh sekali. Setelah mengajak main tebak-tebakkan, tiba-tiba minta bantuan. Masih tak kuhiraukan. Namun tak lama kemudian, hape memekik lagi.

Aku sungguh-sungguh. Untuk membuatmu percaya, apakah aku harus bersumpah atas nama tuhan?

Mengapa harus membawa-bawa nama Tuhan. Berlebihan sekali kata-katanya. Namun, setelah pesan itu. Tiba-tiba aku menjadi gugup. Dalam remang, kupencet tombol-tombol huruf yang menyala di sana.

Maaf. Ini siapa?

Klik. Terkirim. Beberapa detik kemudian…

Ini aku, Lilla. Masa lupa?

Klik. Balas.

Lilla? Lilla Nurlilla. Lilla Kalideres? Lilla anak IPA III?

Kirim. Terkirim.

Tak lama, satu pesan diterima.

Memangnya kamu kenal berapa Lilla?

Hatta perbincangan berlanjut panjang

Hehehe… btw apa kabar nih?

Btw? Btw apaan maksudnya? Buwat?

Hih, tell me banget. Btw singakatan dari By The Way: ngomong-ngomong.

Oh… sekarang ngomongmu pake bahasa ingrris, ya.

Ya, dong. Hari gini, gak bisa bahasa inggris… eh, nomormu kok gonta-gonti terus, kayak orang pacaran aja.

Iya, HP yang dulu ilang. Nomornya ikut ilang.

Kabarmu bagaimana?

Kabarku buruk.

Buruk? Buruk bagaimana?

Buruk sekali. Makanya aku sms. Aku butuh bantuanmu.

Bantuan? Bantuan apa?

Maaf, ya, belum-belum sudah merepotkan.

Walah, kayak orang baru kenalan aja. Denger-denger kamu kerja di Hongkong, ya?

Iya, lebaran lalu saya pulang.

Mudik?

He’eh.

Kok gak kabar-kabar.

Habis denger-denger kamu sibuk. Sudah jadi penulis, novelis. Sudah jadi sastrawan.

Ah, siapa bilang. Saya juga babu kok! Babu tinta. Hahaha

Ikut seneng, kamu sukses.

Amiiin. Jadi, bagaimana?

Apanya yang bagaimana?

Katanya kamu mau minta bantuan.

Oh, iya aku lupa.

Dari dulu penyakit lupamu gak sembuh-sembuh, ya.

Hehe…

Belum nikah kok sudah punya penyakit pikun?

Hehe…

Kamu belum nikah, tho?

Hehe…

Kok hehe hehe terus?

Mana ada laki-laki yang mau sama babu lulusan SMA?

Ada. Laki-laki yang babu yang lulusan SMA juga. Hahaha…

Gak lucu…

Maap. Control Z, deh.

Control Z?

Maksudnya kembali ke laptop. Jadi bagaimana?

Apanya yang bagaimana?

Aduuuh, tak jitak gundulmu. Katanya mau minta bantuan.

Hehehe, iya, aku mau minta bantuan. To the point aja, yah… Kamu bisa, gak, mengantarkan sesuatu ke alamat rumahku?

Lho, memangnya kamu sekarang gak di rumah?

Enggak. Sekarang saya berada di tempat yang sangat jauh. Jauuuuh sekali.

Di luar negeri?

Bukan. Lebih jauh dari itu.

Di luar angkasa. Hahaha…

Di alam baka… Hahahaha…

Kalau begitu, aku sedang ngobrol dengan hantu, dong!

Kalau hantunya cantik tak masalah, kan?

Sssst… aku sudah ada yang punya.

Iya, aku tahu. Lagian mana mungkin cowok keren sepertimu mau sama aku.

Baru tahu, ya, kalau aku keren. Hahaha…

Iih Narsis. Control Z, ya. Kembali ke permasalahan.

Yups. So?

Langsung saja. Di sebuah gardu kosong, deket lapangan bola, deket rumahmu, ada sebuah kardus. Aku minta, kamu mengantarkan kardus itu ke keluargaku.

Ih, kayak recidivis, aja. Kenapa gak langsung dianter ke rumahku aja.

Kalau bisa, ngapain aku minta tolong kamu. Mendingan tak bawa pulang sendiri. Tapi, ya, itu. Aku benar-benar gak bisa. Makanya aku minta tolong sama kamu. Toloooooong banget. Ya? Pliiis!

Lalu siapa yang naruh kardus itu di gardu? Aneh-aneh saja, atau jangan-jangan isinya narkoba, atau malah bom.

Gak kok! Tak jamin, isinya bukan narkoba, apalagi bom.

Lalu apa, dong?

Nanti setelah sampai rumahku, kamu akan tahu.

Walah, malah main teka-teki. Ogah, ah, kalau nggak jelas.

Ini jelas. Jelas sekali. Ayolah! Pliiis! Ini yang terakhir kali. Benar-benar yang terakhir kali. Ya? Oke?

Ya lah… tapi masa harus sekarang?

Gak. Besok pagi atau siang juga gak papa. Sekarang kalau mau istirahat, silahkan istirahat. Teima kasih, ya. Dadaaaa…

Lho? Jadi ceritanya sudah bosen nih ngobrol sama teman lama?

Takut ganggu istirahatmu aja.

Dari tadi sudah ganggu. Ganggu sekalian aja. Terlanjur basah, ya sudah, mandi sekali. Terlanjur malu ya sudah, malu sekali… (dangdutan.com)

Hihi, gak nyangka kamu dangduters juga.

Emang kenapa?

Gak papa sih.

Seolah-olah, kalau cowok suka dangdutan kegagahannya ilang.

Aku gak bilang gitu.

Tidak secara langsung.

Ngomong-ngomong, pulsamu masih ada nih?

Yeee, ngelunjak. Mau tak telpon. Tak telpon nih!

Gak, gak, gak usah. Percaya kok. Penulis pasti duitnya banyak. Hehehe

Tapi kayaknya masih banyakan duit yang baru pulang dari luar negeri, deh!

Jika saja kau tahu bagaimana nasib TKW.

Jika saja kau tahu bagaimana nasib penulis.

Kalau aku bisa nulis, mendingan jadi penulis daripada jadi TKW.

Kalau aku malah pingin jadi TKW. Eh, salah, maksudku TKP: Tenaga Kerja Pria. Hahaha bisa jalan-jalan ke luar negeri.

Penulis malah bisa jalan-jalan keliling dunia, lewat tulisannya. Hahaha…

Ya, deh. Pokokke diyukuri aja. Eh, btw, kabarmu waktu di Hongkong bagaimana? Galakan mana majikanmu sama anjing lacaknya pak polisi.

Hush! Majikanku orangnya baik, ya.

Tapi, denger-denger bayak juga TKW di luar negeri yang dijadiin sate, dijadiin roti bakar setrika. Pulang ke kampung sudah pada gosong semua.

Ya, kalau aku bilang sih untung-untungan juga.

Jadi, kamu termasuk yang untung?

Ya, Alhamdulillah.

Ya, ya, ya… (manggut-manguut)

Kayaknya sudah kehabisan bahan obrolan, ya! : -)

Kamu sudah ngantuk, ya?

Dengan keadaanku yang sekarang, aku tak mungkin mengantuk.

Memangnya sekarang kamu lagi ngapain, sih? Di mana?

Aku berada di sebuah tempat.

Iya, nama tempatnya apa?

Aku sendiri tak tahu harus menyebutnya apa.

Kamu tersesat?

Mungkin.

Kok, mungkin?Kamu bener-bener aneh.

Ya, ini memang aneh.

Apa kau baik-baik, saja?

Tidak.

Hei, jangan bercanda, jangan bikin perasaanku gak enak.

Aku pingin nangis.

Ya sudah, tak telpon, ya!

Klik. Pesan terakhir terkirim.

Kubuka pesan masuk terakhir. Rincian pesan. Nomor. Simpan nomor: Lilla Kalideres. Klik. Kutekan tombol dial.

Tut… tut… tut… tut… tut….

Tidak tersambung. kembali kutekan dial.

Tut… tut… tut… tut… tut….

Tidak tersambung. Tiba-tiba perasaanku kacau. Aku teringat tentang kardus di gardu usang yang ia pesankan. Rasanya ingin kuambil kardus itu sekarang juga. Namun, malam begitu menyeramkan. Maka kuurungkan. Kutengok angka di layar HP: 01.45. Tubuh kembali kurebahkan. Selimut kembali kubentangkan. Kelopak mata siap-siap kupejamkan.

Malam terus merangkak. Tubuhku terbuntal rapat seperti molen pisang. Lensa mataku menangkap remang bulan yang tiba-tiba ditutupi arakkan awan. Mendadak aku teringat film-film vampire. Tepat saat adegan serigala mengaum di puncak malam. Bayangannya menyatu dengan wajah bulan. Aku merinding. Tubuh kumiringkan. Bantal dan selimut kurapatkan. Mata kupejamkan. Aku harus pergi tidur.

TIGA

Pagi buta, saat pertama kali kelopak mata tersingkap, tanganku sudah meraba-raba ke bawah bantal, ke sebelah bantal. Hape di mana? Klik. Panggilan terakhir: Lilla Kalideres. Klik dial.

Tut… tut… tut… tut…

Tidak aktif. Ke mana anak ini? Semalam berbalas pesan. Sekarang hape gak diaktifkan. Apa dia kehabisan pulsa? Atau low bateray?

Setelah metahari meninggi, aku segera menghambur ke gardu usang yang ia maksudkan. Ada di tepian gang yang sangat sepi. Gang yang terapit lapangan becek dan tanah kosong. Diantara rongsok kayu dan tumpukan karung-karung bekas, teronggok sebuah kardus yang terbungkus sangat rapi. Rapi sekali. Dilakban di sisi-sisinya, dan dililit rafia tebal sebagai tali pegangan. Kuedarkan pandangan ke kiri dan ke kanan. Sepi. Aku mendekati gardu using itu. Tapi tiba-tiba ada bau menyengat. Seperti ikan busuk. Tapi tak ada lalat. Segera kuambil kardus itu dan kubawa pulang.

EMPAT

Menjelang siang, dengan sepeda motor, aku melaju dari Kramatjati ke Kalideres. Kardus bau itu kuikat karet ban dan kubonceng di jok belakang. Sepanjang perjalanan aku memutar otak, mengingat-ingat jalan yang benar menuju rumah itu. Aku pernah ke sana dua kali, waktu masih SMA, dan bertahun-tahun, setelah lulus dari SMA, kami tenggelam dalam kesibukkan masing-masing, kehidupan masing-masing. Kami putus kontak, hingga semalam, tiba-tiba dia menghubungiku lewat sebuah pesan pendek.

Bakda dhuhur, akhirnya aku sampai di depan rumah itu. Masih sama seperti dulu. Hanya cat temboknya berganti warna. Rumah itu pintunya terbuka. Beberapa orang tampak berkerumun di dalamnya. Kuketuk pintu, kulepas salam. Orang-orang yang berkerumun di dalam menoleh ke arahku. Lelaki paruh baya—yang kuingat sebagai bapaknya—segera berdiri dan mempersilahkanku masuk. Tanpa basa-basi, segera kuutarakan maksud kedatanganku, “Semalam Lilla sms saya, Pak, dia minta tolong saya untuk mengantarkan kardus ini.”

“Lilla sms kamu? Semalam?” Seorang lelaki memekik. Semua pandangan terlempar ke arahku. Pertanyaan di kepalaku berkecambah. Semua terdiam. Tak bisa menjelaskan. Hingga seseorang berdiri dan mengambil sebuah koran, telunjuknya terarah pada sebuah kolom tulisan, ada foto Lilla di sana: Gadis korban perkosaan dan pembunuhan. Mayatnya dimutilasi dan dibuang di beberapa tempat yang berbeda. Sampai sekarang, potongan tangan dan kepala belum ditemukan.

LIMA

Mataku tak berkedip menatap kardus itu. Membayangkan isinya.***

Malang, Maret 2011