Lelaki Penunggu Pagi

Minggu, 24 April 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Muhammad Rasyid Ridho

Dimuat di Malang Post, Ahad 24 April 2011

1

An, tahukah kau aku merasa malam ini sangat panjang. Saat kolong langit terlihat kosong, hanya hitam yang menganga. Suara liukan dan gesekan pohon kelapa diluar sana cukup membuat risih, angin memang tak seperti biasanya. Seperti menggumpal-gumpal tenaganya untuk terus bergerak dan menggerakkan benda yang di sekitarnya. Aku tak sabar untuk menghabiskan malam.

Kau tentu tahu, aku tak terlalu suka malam yang terlalu lama mengendap. Memang aku tak suka malam, karena aku lebih suka pagi. Saat matahari mulai keluar dari peraduannya, dengan sinar kemerah-merahan menyerupai wajahmu saat tersenyum malu. Dan terang cahayanya pun mirip dengan mata jelimu itu, aku sangat suka itu. Terlebih lagi udara yang berhembus lembut nan menyegarkan. Hmm, tak ada yang menandingi kesegarannya.

Dengannya aku merasa, luapan pikiran dan belitan masalah sehari lalu menguap dan terlepas. Aku meyakini ketika hari beranjak pagi, maka akan ada harapan-harapan baru yang bisa aku raih. Aku percaya, adanya pagi setelah malam pekat guna melumatkan hitam dengan terang putih cahayanya. Pagi itu hamparan cahaya bagi seluruh makhluk di bumi. Pagi itu bidadari jelita yang menawan semua makhluk di dunia.

Kuingat katamu terakhir waktu itu An, “Tunggu saja setiap pagi Riz, aku ada di situ.”

Maka aku harus memaksa sepanjang malam begini, menemani malam dan menunggu pagi. Sudah tak terhitung berapa purnama telah berlalu, namun aku setia menunggu pagi disini. Sampai diriku saja lupa aku rawat, kini mata hitamku sayu dan tubuhku kurus ringkih. Biarlah, bagiku menunggu pagi itu nomor satu. Karena, aku menunggumu yang hadir di pagi hari, entah itu kapan aku akan tetap menanti.

Tapi, malam ini beda sekali. Malam sepertinya bertahan disini. Sudah sejak tadi aku menunggu pagi disini, tapi malam seperti tak ingin beranjak pergi. Seolah-seolah waktu terus terdiam, hanya jam saja yang berputar namun waktu tidak, tetap tak bergerak sejak tadi. Udara malam yang biasanya aku benci, kali ini kupaksa untuk kucintai hanya untuk menunggu pagi. Ya, aku menunggu pagi dan masih terjaga sampai saat ini. Asal kau tahu An, aku sungguh merindu dengan pagi, merindu senyum cerahmu itu terlihat lagi.

2

Beda memang dengan dirimu, kau selalu memuji malam.

“Lihat purnama itu, indah sekali bukan? Aku suka malam” bisikmu malam itu.

Aku hanya mengangguk tak berkomentar, aku sadar kutelah berdusta pada hatiku yang tak pernah menyukai malam. Namun, padamu apapun yang kau sukai maka itu pun akan aku sukai. Karena itulah menurutku cinta, aku tak akan membuatmu terluka disebabkan sedikit saja ego yang aku punya.

Ah, itulah waktu kita bersama memandang malam di langit itu. Kita duduk bersebelahan di gubuk tua milik pak Kus. Petani renta yang sudah ditinggal istrinya meninggal, namun semangatnya tiada bandingnya itu. An, Menemanimu saja aku gembira, cukup itu saja. Aku tak akan minta apa-apa. Aku hanya ingin kau bahagia, cukup bagiku waktu itu. Kau pun tampak bahagia bersamaku, sungguh rasa bahagia ini terlampau sangat, An. Semoga perkiraanku ini benar.

Aku ingat suatu ketika pak Kus, menghampiri kita saat asyik duduk menikmati malam di gubuknya. Dan dia berkata,

“Walah, Rizza sama siapa kamu lee?”

“Ini Anjali pak Kus, anak baru di desa ini. Orang tuanya, tempat kerjanya pindah ke desa kita selama tiga bulan pak. Awalnya dia di kota, lihat saja perawakannya gak seperti gadis desa pak Kus. Iya khan Anjali?” Jawabku sambil tersenyum dan menoleh padamu, dan kau pun hanya diam tersenyum dengan wajah kemerah-merahan malu.

“Kamu cocok tuh Riz, sama cah ayu iki” kata pak Kus kemudian.

Kita pun kaget bukan kepalang, kau dan aku saling menoleh berpandangan. Dan serentak kita berkata tanpa komando,

“Lha, kenal aja baru deket-deket ini, koq sudah dibilang cocok Pak?” sambil cengas-cengis di hadapannya.

“Yo, aku liat-liat aja kaya’e kalian cocok. Yo wes, aku tak pulang dulu lee” lanjut pak Kus langsung melenggang pergi. Dan kita pun hanya tersenyum-senyum.

Setelah merasa puas memandang langit malam di gubuk tua itu, selalu saja kau mengajakku pulang melewati jalan-jalan pinggir sawah yang becek itu. Aku tahu kau sangat menyukai itu, ya paling tidak aku harus paham daerah dan suasana seperti itu tidak ada di kota. Apalagi suasana malam purnama yang terang benderang yang menurutmu indah itu. Aku yakin kau tak akan mampu melihatnya sempurna purnama ketika di kota, kau hanya bisa melihatnya ketika di desa saja. Di gubuk tempat biasa, memandang malam yang kau sukai itu.

Sesudah sampai depan rumah, selalu pasti kau di sambut oleh orang tuamu yang kemudian bertanya tentang keadaanmu yang sepertinya mereka khawatirkan sejak tadi. Tentu saja mereka khawatir, karena besok kau harus bangun pagi untuk sekolah. Lalu, orang tuamu menghadap padaku yang masih berdiri di halaman rumahmu dan keduanya tersenyum padaku. Dan aku pun membalas senyum itu, cukup itu saja. Sesudah itu aku segera mengundur pamit, dengan isyarat menundukkan kepala pada orang tuamu. Segera aku pulang meninggalkan halaman rumahmu yang suasana masih tersisa di hatiku sampai kini itu.

Sebenarnya, aku masih merasa ganjil di setiap malam ketika bertemu orang tuamu. Ada rasa kekhawatiran mereka tidak suka dengan keberadaanmu sedekat itu dalam waktu yang cukup cepat ini. Ditambah lagi, aku anak desa yang punya pakaian seadanya, tak seperti dirimu anak kota yang hampir punya segalanya. Aku segera membuang pikiran itu jauh-jauh, menghentikan lamunan itu sebelum diketahui oleh dirimu atau kedua orang tuamu, dan segera aku melangkahkan kaki pergi meninggalkan halamanmu. Hampir tiap malam begitu, entah kau melihat dan sadarkah atau tidak tentang itu.

3

An, andai kau tahu sebenarnya aku menyetujui apa yang pernah pak Kus bilang. Jujur saja, saat pertama kali bertemu denganmu aku merasa ada yang lebih dengan pertemuan kita ini. Jika aku meraba hati ini, sepertinya aku telah jatuh hati padamu. Ya, sejak pertama kali ketemu waktu itu. Saat kau baru turun dari mobilmu, dan menoleh padaku yang saat itu berada di teras depan rumahku. Kau tersenyum padaku, dan akupun membalas senyummu. Sejak itu pula aku punya tetangga perempuan yang dekat dengan rumahku.

Ternyata tak hanya dekat rumah saja, kau pun adalah perempuan yang mempunyai kedekatan emosional denganku nomor dua setelah ibuku. Itu terjadi saat kau ternyata menjadi murid baru di sekolahku waktu itu. Ternyata kau adalah adik kelasku, kelas satu SMA. Ya, aku waktu itu telah berada dua tingkat darimu, kelas 3 SMA. Ketika kau melihatku juga satu sekolah denganmu, tepatnya ketika jam istirahat di depan kantin kecil-kecilan pak Suryo. Aku tak menyangka kau akan berani mendekatiku dan menyodorkan tangan kananmu berniat bersalaman denganku. Dengan sedikit gugup dan sesegera mungkin menghilangkannya, lalu aku balas sodoran tangan kananmu itu dengan menyodorkan juga tangan kananku. Saling bersalamanlah kita, dan kau menyebut namamu,

“Anjali Kezia” katamu.

Dan aku pun membalas “Rizza” jawabku.

Saling kenallah kita, dan sejak itu pula kau lebih sering menghabiskan waktu istirahat denganku ketimbang dengan teman sekelasmu. Aku masih tak paham, apa alasanmu bersikap begitu. Aku tak mau berpikiran yang aneh dan terlalu jauh. Toh, aku adalah anak desa yang cukup seadanya, sedangkan kau adalah anak kota yang serba berlebihan. Apalagi katamu waktu itu hanya tiga bulan di desa ini, karena ayahmu segera pindah tempat kerja lagi. Oleh, karena aku tak berani banyak berpikir tentang hubungan kita.

Sekolahku bagi ukuran desa cukup besar itu, akhirnya ramai dengan kedatanganmu pertama sebagai siswi pindahan dari kota selama tiga bulan nanti. Jadilah kau perbincangan hangat bagi setiap siswa, karena kecantikan fisikmu dan nilai kekotaanmu yang masih melekat jelas itu. Bagi para siswi kaupun tak kalah menjadi bahasan gossip mereka juga. Pernah kudengar dari salah satu siswi, kedatanganmu yang sebentar itu cukup membuat sekolah desa ini gempar dan mereka dengki karena kau dianggap bak seorang puteri raja. Sebenarnya lebih dari itu, kau tak hanya seolah sebagai puteri raja, namun sebagai bidadari anugerah dari Tuhan yang diturunkan dari langit untuk sekolah ini.

4

Terutama bagiku, kedekatanmu denganku yang tiba-tiba itu telah banyak membuatku tahu tentang dirimu dan keluargamu. Tentang kerja bapakmu, yang mengapa selalu pindah dari kota ini ke kota satunya, atau dari desa satu ke desa berikutnya, begitu seterusnya. Kau bercerita tentang bapakmu yang bekerja di pusat penelitian tanaman dan pertanian di kota dan desa. Kau pun bercerita, sebenarnya tak suka dengan pola pindah rumah dan pindah rumah sering sekali. Tapi, kau pun mensyukuri itu karena dengan itu maka kau akan bertemu teman-teman baru, termasuk bertemu denganku katamu. Ah, mendengar itu An, membuatku bak melayang di langit pagi. Tapi aku sadar, hanya menjadi teman saja sudah seperti itu apalagi ketika aku dianggap lebih oleh dirimu.

Selama tiga purnama yang kita lalui itu, kau memang yang banyak bercerita An. Aku hanya mendengarkan saja. Aku hanya mengamati saja, aku hanya berkomentar sedikit saja, aku hanya ingin membuatmu paling tidak senyum saja cukup. Suatu ketika kau pun berkisah tentang masa lalumu, entah kenapa begitu mudah kau bercerita tentang masa lalumu itu. Kurasa kau memang tak mungkin tahu, apa yang aku rasakan saat ini tentang dirimu. Tapi aku cukup hanya mendengarkanmu saja.

“Kau pernah suka pada seseorang Riz?” tanyamu.

“Hmm, belum” jawabku sekenanya.

“Bener nih?” Tanyamu lagi dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.

“Ya, aku belum pernah suka sama perempuan selama ini An” jawabku lagi.

“Hmm, boleh aku cerita Riz?” tanyamu dengan suara yang lebih rendah.

“Ya, boleh aja An, cerita sajalah gak perlu sungkan-sungkan, kayak kita baru kenal saja”

“Aku dulu pernah suka keseseorang waktu masih SMP Riz, tapi aku gak paham kenapa aku suka ke dia.

Ya, walaupun gitu sampai sekarang aku masih suka ke dia Riz, padahal aku belum tahu apakah dia juga suka ke aku apa nggak? Tapi, denger-denger dari teman dekatnya sih dia juga suka ke aku. Anehnya, kalo kita ketemu di kantin misalnya, dia hanya diam bahkan menyapa aku aja nggak apalagi mau bilang suka ke aku Riz. Padahal aku sangat berharap Riz, ke dia. Ya, sampe sekarang aku gak tahu apa yang dia mau dan dia fikirkan. Padahal aku tetep menunggu.”

Kau terus bercerita tentangnya, tentang masa lalumu yang sangat kau cintai itu. Kurasa aku tak perlu berkomentar tentang ini, andai kau tahu mendengarnya saja sudah mengiris-ngiris hatiku jadi beberapa bagaian yang tak utuh. Apalagi jika ternyata kisahmu benar dia juga suka padamu. Betapa hancurnya hatiku An, aku tak tahu siapa yang meremuk dan melumatkannya. Tapi, pasti remukan dan lumatan hatiku terasa sangat jika itu benar.

5

Kuingat katamu terakhir waktu itu An, “Tunggu saja setiap pagi Riz, aku ada di situ.”
Sudah tak terhitung berapa purnama telah berlalu, namun aku setia menunggu pagi disini. Sampai diriku saja lupa aku rawat, kini mata hitamku sayu dan tubuhku kurus ringkih. Biarlah, bagiku menunggu pagi itu nomor satu. Karena, aku menunggumu yang hadir di pagi hari, entah itu kapan aku akan tetap menanti.

An, semoga perkiraanku benar kau paham dengan apa yang kulakukan selama itu bersamamu, semua itu karena aku mencintaimu. Menemanimu memandang malam, sampai tiga purnama saja itu sangat membuatku bahagia. Apalah lagi jika kau mau menerimaku apa adanya, An. Tapi, aku sangat paham kau sangat sulit melupakan masa lalumu itu. Ya, dari caramu bercerita tentangnya saja bisa aku simpulkan mungkin cintamu cinta mati untuknya. Aku pun tak tahu engkau sekarang ada di mana, entah di kota atau mungkin di desa sebelah.

Sampai saat ini, malam betah di langit sana. Entah kenapa pagi pun tak segera menggantikannya. Apakah ia enggan, menerangi dunia. Ah, aku sendiri tak tahu, An. Sedari tadi aku menunggu pagi dan sabar menemani malam berjalan dengan waktunya. Tapi, sepertinya semua itu sia-sia. Aku yang terbaring ini, tak bisa melihat pagi lagi, An. Hanya malam dan gelap saja yang kulihat. Ibuku pun sampai menangis melihatku seperti ini. Aku sudah tak bergerak, sangat kaku katanya. Oh, aku tak lagi mampu bernafas kata ibuku.

Meski begitu, aku selalu menunggu pagi An. Aku menunggu cerahnya dunia kala itu. Menunggu dirimu datang dengan sunggingan senyummu yang menawan. Serta wajahmu yang kemerah-merahan indah itu, datang di dihadapan jasadku. Aku setia menunggu pagi An, aku setia menunggumu sepanjang malam sampai malam panjang ini. Saat jasadku tak lagi berruh seperti sedia kala, sungguh pagi serta kedatanganmu selalu kutunggu. Itulah kata jantung hatiku An, sampai saat ini sudah tak berguna lagi. Tak ada detak-detak yang mengguncang lagi. Tak ada tanda-tanda hidup lagi. Yang ada hanya jasad lelaki penunggu pagi.

21.04.2011, Rumah Taqwa, Malang.