Suara Tiga Hati

Selasa, 10 Agustus 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Karkono Supadi Putra
dimuat di Malang Post, 8 Agustus 2010

Aku sendiri tidak mengerti dengan diriku.

Aku tahu jika keadaan yang kini aku alami adalah karena kelemahanku. Karena ketakberdayaanku pada cinta. Sebagai seorang putra mahkota, seharusnya dengan besar hati aku menerima perjodohan itu agar dua kerajaan besar ini bersatu. Sudah seharusnya persoalan asmara tidak aku tempatkan di atas kepentingan kerajaan. Namun, sekali lagi aku katakan; aku sendiri tidak mengerti dengan diriku. Aku tidak bisa membohongi nurani dan logikaku. Aku tidak bisa meninggalkan Anggraini dan juga tidak bisa menikah dengan Sekartaji.

Apakah benar cinta sudah membutakan logikaku?

***

Langit sempurna terlumuri warna hitam. Malam perlahan merambat, menggantikan senja yang penuh romansa. Rangkaian resepsi pernikahan usai sudah. Suasana istana berangsur sepi seperti semula. Ada beberapa abdi dalem yang terlihat membersihkan sisa janur di beberapa sisi pintu, membenarkan gebyok yang sebelumnya dibuka, dan ada juga yang mengatur kembali posisi gamelan yang tadi digunakan untuk iringan pahargyan.

Ada kelegaan kurasa di sini, di dalam dada ini. Meski sebenarnya begitu lelah, semuanya serasa hilang karena terganti oleh rasa bahgia yang sulit aku lukiskan. Wanita mana tak akan bahgia disunting oleh lelaki yang selama ini menjadi pujaan para wanita. Akulah wanita yang beruntung itu. Aku kini telah sah menjadi istri Panji Inukertapati, putra mahkota yang termat aku cintai.
Saat ini, aku merasa menjadi wanita paling bahgia di dunia.

***

Bukan permasalahan sakit atau tidak sakit, tetapi lebih pada persoalan harga diri. Dengan dia tidak menerima perjodohan ini, berarti dia lebih memilih perempuan itu daripada diriku. Dia lebih mencintai wanita itu daripada aku. Dan, apakah itu artinya aku kalah menarik dengan wanita itu? Ah, Bagiku itu tidak penting. Yang saat ini ada dalam benakku, aku harus membuat perhitungan dengan lelaki ini. Aku akan tunjukkan pada dia suatu saat nanti, dia akan menyesal karena pernah menolak perjodohan ini.

Aku akan buktikan kata-kataku ini.

***

Dua pekan sudah berlalu.
Pagi berhias pelangi. Pelangi memang indah karena ia hadir bersama rinai gerimis dan matahari. Gerimis pagi ini seperti tak lelah menusuki bumi. Aku termenung di dekat kolam ikan yang di atasnya ada beberapa lembar daun teratai menjalar. Jarum-jarum gerimis itu jatuh di atas jernih air kolam, membuat bundaran-bundaran kecil melebar silih berganti. Aneka bunga di sekitar kolam terasa begitu segar berseri. Tingkahan gerimis justru mencipta suasana syahdu, indah. Seakan sambut bergayung dengan suasana hatiku saat ini. Hatiku serasa penuh sesak dengan bunga, bunga aneka rupa dari negeri yang hanya ada bahgia bertahta di sana.

“Dinda Anggraini, hari ini aku harus pergi… ada tugas kerajaan yang harus aku tunaikan…” suara yang begitu akrab terdengar di telingaku seketika mengamuk paksa imajinasiku, sedikit membuatku terkejut. Aku menoleh ke arah pemilik suara: suamiku, laki-laki yang kini menemani indah hari-hariku. Walau samar, ada sebentuk bayang yang datang coba mengeja arti senyum manisnya. Gurat wajahnya mengundang rindu dendam yang kupendam dalam balutan kalbu yang menderu. Sorot mata menjelma kilau bening telaga tersinari mentari. Aku terkesima! Bagiku ia lebih dari sekadar kekasih yang tak pernah lelah bawakan kembang setaman ke atas altar pemujaan khusyuk semedhiku. Sosok yang tak akan kasip untuk datang mendendangkan lagu-lagu cinta yang berkelindan dalam ruang-ruang hampa kesepian jiwaku. Selalu hadir tanya dalam sukmaku, serasa tak percaya bahwa dia adalah milikku, suamiku.

”Tapi... bukankah ini masih gerimis... ” jawabku seraya mendekatinya.
”Tidak mengapa Dinda, sebentar lagi juga reda.”
”Kalau begitu, pergilah Kanda, tunaikan tugas kerajaan dengan kesungguhan hati...”

”Aku sangat mencintaimu dan aku berjanji tak akan membelah hatiku menjadi dua. Selalu simpan kata-kataku ini Dinda...” kata suamiku lagi. Beribu kali dia ulang kata-kata itu. Entahlah, sepertinya dia selalu khawatir jika aku meragukannya. Padahal, tanpa dia ucapkan kata-kata itu pun, aku sungguh yakin kalau dia teramat mencintaiku.

”Kanda Panji, aku akan selalu setia menjaga hatiku agar hanya cenderung padamu, bukan pada pria yang lain. Sungguh, sebuah kebodohan jika aku sampai melabuhkan cintaku pada sosok lain selain sosok pria yang begitu menyayangiku ini.”

Setelah mengecup keningku, suamiku pun pergi. Aku mengamatinya sampai kuda yang ditungganginya lenyap ditelan tikungan tembok kerajaan yang tinggu menjulang. Dan, serasa ada yang hilang pada diriku. Ah, mengapa aku jadi khawatir seperti ini? Bukankah cinta Kanda Panji teramat besar padaku? Tidak mungkin dia akan berpaling meninggalkanku. Entahlah, aku melepas kepergian suami dalam suasana gerimis, seperti suasana hatiku yang mendadak gerimis.

Sebenarnya, yang aku khwatirkan bukan pada kesetiaan Kanda Panji. Aku sangat yakin akan kesungguhan cintanya. Namun, bukankah banyak pihak yang tidak menyukai pernikahanku dengan Kanda Panji? Dan, aku harus menyadari sepenuhnya kalau sebenarnya hubungan kami seperti menentang badai.

***

Mengapa tiba-tiba ada rasa cemas saat aku meninggalkan istriku? Apakah akan terjadi sesuatu pada wanita yang teramat aku cintai itu? Kekhawatiranku ini memang cukup beralasan. Banyak yang tidak setuju aku menikahi Anggraini. Bahkan, pernah ayahandaku terang-terangan menginginkan kematian Anggraini.

”Pernikahan kamu dengan Sekartaji adalah keniscayaan untuk bersatunya kerajaan Jenggala dengan Kediri. Kamu harus pertimbangkan itu, jangan menuruti hawa nafsumu semata. Ingat itu, Panji!” kata-kata ayahanda masih terngiang-ngiang di telingaku.

“Maafkan Panji, Ayah! Bukannya Panji tidak menginginkan Kerajaan Jenggala dan Kediri bersatu, tetapi Panji sungguh tidak bisa meninggalkan Anggraini. Panji mohon dengan sangat Ayah memahami perasaan Panji!”

***

“Maafkan aku Anggraini… aku hanya menunaikan tugas dari Ayahanda Lembu Amiluhur. Aku tahu bagaimana perasaanmu… aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa…”

“Kakang Brajanata… kalau itu yang Kakang inginkan, dan mungkin juga keinginan semua orang, lakukan Kakang… bunuhlah aku…! Bunuh…!!!”

“Tetapi Anggraini…”

“Tetapi apa? Bukankah ini yang akan membuat kalian semua bahagia? Aku rela menerima semuanya. Aku ikhlas melakukan ini demi Kanda Panji. Agar Kanda Panji tidak senantiasa menjadi tumpuan kesalahan keluarga. Jika ini adalah jalan terbaik… sekali lagi aku ikhlas, Kakang…”

“Maafkan aku Anggraini! Sejatinya, aku juga kasihan padamu… ini bukan kesalahanmu.”

“Aku sama sekali tidak pernah meminta dalam posisi semacam ini, Kakang. Siapa yang ingin menjadi duri dalam daging bagi bersatunya dua kerajaan besar ini. Jujur, jika bukan karena alasan aku tidak ingin menyakiti hati Kanda Panji, sungguh aku juga tidak menginginkan pernikahan ini. Namun, saat aku menyadari betapa besar cinta Kanda Panji pada diriku, aku kembali berpikir dua kali. Tak adakah jalan lain untuk membuat dua kerajaan ini bersatu selain dengan perjodohan itu? Jalan lain yang tidak akan membuat hati lelaki yang teramat aku cintai tersakiti? Maka, aku pun menerima pinangan Kanda Panji karena pernikahan kami adalah kebagiannya. Tetapi kini, sepertinya jalan lain itu benar-benar tertutup rapat. Perjodohan itu adalah kunci satu-satunya…”

“Lantas?” Kakang Brajanata tercengang mendengar penuturanku. Barangkali keputusanku ini mengejutkan, tapi aku tidak punya pilihan.

“Aku rela mati supaya Kanda Panji bisa menikah dengan Dewi Sekartaji.”
“Mengapa kamu sampai berpikiran seperti itu?”

“Biarlah sejarah yang mencatat dalam buku putihnya. Dan kau Kakang Brajanata, sebagai saksinya bahwa kematianku adalah sebagai bukti kecintaanku pada Kanda Panji. Jika aku mati, Kanda Panji tidak akan terbayangi oleh rasa bersalah telah menolak perjodohan politis itu selama hidupnya. Dan, aku tahu, perasaan bersalah itu sangat menyiksa. Sekarang, bunuh aku Kakang! Tunaikan tugasmu, Kakang…”

“Anggraini… tapi… apakah ini justru tidak akan membuat Panji terpukul dan sakit?”

“Itu hanya sementara Kakang. Bagiku, mencintai adalah membuat orang yang kita cintai senantiasa bahagia dari waktu ke waktu, meski kebahagiaan itu tidak harus bersama dengan kita. Percayalah, kematianku ini adalah bukti kesucian cintaku. Aku ingin Kanda Panji bahagia dan Kediri dengan Jenggala bisa bersatu.”

“Sungguh mulai hatimu, Anggraini.”

***

Betapa terkejutnya aku saat aku mendapati tubuh istriku tergolek di atas tanah dan berlumur darah, “Tidaaaakkk… Bangun Dinda Anggraini! Bangun!! Kamu tidak mati kan?”

“Panji… relakan istrimu mati… ini sudah suratan takdir…”

“Tidak! Istriku tidak mati… dia hanya tertidur… tidak, Anggraini tidak mati… Anggraini akan selalu hidup dan menjadi istriku… Tidaaaaaaaaakkkk!!!”

“Panji..tenangkan dirimu!”

“Kakang Brajanata, katakan siapa yang telah tega membunuh Anggraini istriku… katakan Kakang!”

“Panji... aku sendiri sebagai saksi akan ketulusan cinta Anggraini. Istrimu itu benar-benar wanita mulia. Dia rela mati demi kehagiaanmu. Ketahuilah… betapa terkejutnya aku ketika tiba-tiba dengan gesit Anggraini merebut keris yang saat itu terhunus di tangan kananku. Keris itu dengan keras dia tancapkan di dadanya. Darah segar pun mengalir. Dia pun luruh ke bumi. Tubuhnya yang ramping terkapar lemah di atas tanah. Wajahnya justru menyinarkan cahaya terang bak rembulan. Ia meninggal dengan senyuman.”

“Bohong! Kamu pasti yang telah membunuhnya…” aku meragukan kata-kata Brajanata. Cerita itu pasti rekaan dia saja. Tidak mungkin Anggraini nekad seperti itu.

“Sungguh Panji… itulah yang sebenarnya terjadi.”

***

Aku tidak tahu; aku harus bersedih ataukah bahagia mendengar kabar kematian Anggraini. Aku tidak pernah menginginkan kematian Anggraini. Aku juga tidak berharap untuk menjadi istri Panji. Tetapi, mengapa sudut hatiku yang lain sangat menaruh iba pada Panji. Aku tahu, betapa sakit hatinya kini. Dan, secara tidak langsung, aku turut andil dalam mencipta kesedihan hatinya itu. Aku ingin membuat dia bahagia. Aku ingin menebus segala dosa. Aku ingin mengembalikan senyum ceria yang senantiasa menghias wajahnya. Namun, bagimanakah caranya?

***

Aku harus meninggalkan kerajaan ini. Aku tak mau lagi berada di sini. Aku akan pergi dan akan membawa Anggraini. Dia tidak mati.

***

Ah, apakah aku sanggup menemuinya dalam keadaan seperti ini? Apakah justru bukan muntahan dendam yang akan dia keluarkan saat melihatku lagi? Akulah cuka yang akan menyiram luka hatinya yang masih menganga. Aku tidak mau membuat dia kian terluka. Ah, aku harus menjadi orang lain untuk dapat mengembalikan senyum manisnya yang kini tercerabut paksa.

***

Dinda Anggraini, biarlah kaki ini terus melangkah tak tentu arah. Biarlah langkah ini yang akan menjadi saksi perjalanan cinta kita. Bangunlah Sayang… engkau sudah terlalu lama tertidur, bangun Sayang…

***

Aku sudah menjadi orang lain, kini aku akan menemuinya.
Kasihan sekali dia. Rupanya cintanya yang terlalu besar pada istrinya itu telah memutarbalikkan logikanya. Dia gendong mayat istrinya itu mengikuti langkah kakinya. Dia tidak bisa menerima kenyataan kalau istrinya itu telah meninggal.

“Apakah kamu tidak kasihan pada arwah istrimu, wahai lelaki tampan?” kataku pada lelaki itu. Dia menoleh ke arahku, kelihatan sekali kalau dia terkejut. Dan… betapa mata teduh itu serasa menusuk ulu hatiku. Mata teduh itu menatapku tajam, lama. Serasa tak percaya dengan yang kini terjadi. Tubuhku seketika meriang. Ada keteduhan yang begitu sulit aku gambarkan, dan waktu seakan pucat pasi di hadapannya, menghentikan setiap debaran kata yang ingin terlontar. Aku tidak tahu, mengapa kini ada getaran aneh di dalam dadaku.

“Siapa kamu? Dan apa perlumu mencampuri urusanku?”

“Aku Panji Semirang… Aku hanya kasihan melihat keadaanmu kini. Kamu harus belajar menerima kenyataan, istrimu itu sudah meninggal…”

“Sungguh, aku tidak pernah bisa kehilangan istriku ini. Dia tidak sekadar indah, tetapi dia tak akan terganti…”

“Berjalanlah di atas kenyataan… jangan logikamu terbutakan oleh cinta. Istrimu sudah meninggal. Dia rela mengakhiri hidupnya demi membahagiakanmu…”

***

Walau baru pertama berjumpa, tetapi mengapa aku merasa mengenal lelaki yang mengaku bernama Panji Semirang ini? Aku menemukan ketulusan dari hatinya. Aneh.

***

Sungguh, aku tidak bisa membohongi nuraniku kini. Aku sungguh telah jatuh hati padanya. Aku ingin perjodohan itu benar-benar terwujud. Aku ingin menjadi istrinya. Aku ingin menghapus kesedihannya dan menggantikannya dengan berjuta kebahagiaan. Aku harus mengembalikan jati diriku.

***

“Sekartaji? Kamu Dewi Sekartaji?”

“Iya ini aku… Sudah teramat lelah aku mengikuti setiap jengkal langkahmu Kakang Panji. Aku kasihan melihat keadaanmu… aku hanya ingin membahagiakanmu… terlepas soal perjodohan itu, tetapi aku kini benar-benar ingin menikah denganmu agar aku benar-benar bisa membuatmu bahagia.”

***

Ah, Sekartaji. Beri aku waktu. Waktu tiada bisa menyembuhkan luka, tapi penyembuhan luka perlu waktu. Begitu juga bukan waktu yang membuat sebuah kenangan terlupakan, tapi terlupanya kenangan itu memerlukan waktu. Waktu tak membuat dua manusia bersatu dalam cinta, tapi bersatunya dua manusia dalam cinta membutuhkan waktu.
Dan, air mataku ini kian menderas.