Sebuah Senyum

Minggu, 22 Agustus 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Fahri Asiza
Dimuat di Sumut Pos,
15/08/2010

Setiap berangkat atau pulang bekerja, Syarif pasti melihat lelaki muda itu penuh semangat menyapu jalan. Sapu lidi bertangkai bambu panjang dan seragam kuning-kuning yang mulai kumal selalu jadi pemandangan pada sosok itu. Gerakannya membuang sampah yang kerap menyebarkan bibit penyakit tak pernah berubah. Cepat. Tangkas dan bergairah tinggi.

Bila hari Minggu seperti ini, sejak pukul enam pagi hingga pukul dua siang nanti, jalan protokol ini selalu ramai oleh orang-orang berdagang. Dari mulai buatan Jepang, Cina, sampai Indonesia pun tersedia. Dari mulai pakaian hingga kendaraan bermotor pun ada. Kesibukan jalan itu selalu memacetkan lalu lintas. Kendaraan diparkir di depan para pedagang yang menghiasai lapak mereka beraneka warna. Ada yang memakai payung besar ada pula yang hanya berpayung kecil atau menempati bawah pohon yang rindang. Keriuhan itu akan berakhir siang nanti, dan menyisakan sampah yang sangat banyak.

Lelaki muda itu dengan sigap menyapu jalan sepanjang lima kilometer dan berarti sepanjang sepuluh kilometer kanan kiri dia berpeluh menarik gerobaknya. Namun semangatnya tak pudar sedikit pun. Mantap tertancap pada wajah gigih. Berapa gajinya?

“Cukuplah untuk bertahan hidup di Jakarta, Pak,” sahutnya kala satu hari Syarif sempat bertanya.
Bekerja sepanjang pagi, dilanjut kala sore ditambah extra kerja pada hari Minggu, rasanya kurang layak diberi gaji seperti itu.

“Layak atau tidak layak kan tergantung kita menyiasatinya, Pak,” sahut si lelaki lagi sambil tersenyum.
Jawaban yang patut diacungkan jempol. Syarif jadi teringat dengan suasana rumahnya. Di rumahnya yang berukuran 6 x 9 meter ditambah tiga meter halaman di depan rumah, rasanya terlalu sempit dibanding jalan raya yang lapang ini. Hanya ada dua kamar. Satu ditempati ibu mertuanya. Sebuah kamar lagi ditempati dia, istrinya dan anak mereka, Bandi, yang baru berusia tiga tahun. Tak ada pembantu, meski mampu membayar. Mau ditempatkan di mana?

Tiba-tiba Syarif menggigil setelah ingatan tentang rumah semakin dalam. Istrinya memang wanita pilihan yang baik hati dan mau menerima apa adanya, tapi ibu mertuanya, selalu cerewet dan kadang bikin dia kesal. Semua ditelannya saja tanpa perlu dikunyahnya. Bekerja sebagai guru di dua sekolah sebenarnya cukuplah untuk biaya bulanan rumah, tapi suasana rumah terkadang bikin kepalanya berputar ke belakang. Makanya, bila satu hari lagi tidak ada jam mengajar, Syarif merasa lebih baik keluar rumah. Kemana saja, bertandang ke rumah temannya pun dilakoni meski si teman nampak sudah gerah selalu didatangi.

Tiba-tiba Syarif iri pada si penyapu jalan. Betapa tidak, lelaki itu nampak sangat menikmati hidupnya, meski matahari menyalang di atas kepala, membiarkan debu memeluk sepatu ketsnya yang kumal. Derap tangannya terus berderai, mengiring langkah dari ujung jalan ke sudut lampu merah. Adakah terpikir soal keresahan?
“Sering juga, Pak,” sahutnya sambil embuskan asap kreteknya. “Masa orang hidup tidak pernah resah?”
“Tapi kamu selalu gembira.”

“Kalau tidak gembira atau bermalasan, mana bisa makan? Jakarta ibarat raksasa yang bukan hanya siap menendang makhluk-makhluk berhati liliput, tapi juga menginjak-injaknya, Pak.”

Lagi-lagi Syarif salut dengan ungkapan itu. Terbayang lagi ketika pagi mengajar di sebuah sekolah dasar, lakon yang sudah ditekuninya hampir 13 tahun. Betapa keceriaan anak-anak selalu terpancar meski kadang bikin hati berlipat pula. Bila siang, dia pun harus menjalankan sepeda motornya sekitar delapan kilometer ke sebuah sekolah menengah atas. Hati bukan hanya terlipat, tercabik-cabik. Pernah beberapa siswa mengempesi sepeda motornya. Berpeluh Syarif mencari tambal ban. Belum lagi menjalankan sepeda motornya, uangnya hanya lima ribu, tak ada makanan yang mengisi tangki motornya. Terpaksa didorongnya. Tiba di rumah, sambutan sinis mertuanya memakan pula wajahnya. Biasa, tanggal tua begini, ibu mertuanya semakin nyinyir.

“Kau harus bilang sama ibumu, Nah… jangan sembarangan bicara,” keluhnya pada Mutma’innah, istrinya yang biasa dipanggil Inah. Kepalang tanggung bertahan lebih lama, kepala seperti dirajut jarum, berkali-kali tusuk naik.
Bila dia sudah mulai meradang, Inah pasti akan menangis. Jawabannya sudah dihafal pula, “Mau kukirim kemana lagi Ibu, Da? Mau kemana lagi? Kakak-kakakku seperti menutup pintu buat ibu.”

Aku juga ingin menutup pintu rumahku untuk nenek sihir ini, Nah, keluh Syarif, yang sudah tentu tak dikeluarkannya. Bila Inah sudah menangis, malah dia yang ditikam pilu. Dan sekarang, membiarkan bunga tetap bermekaran di hati Inah, diputuskan untuk membiarkan bunga layu di hatinya.

Dan si penyapu jalan itu tertawa. “Bapak ini lucu, kenapa harus marah? Biasalah ibu mertua seperti itu.”
“Hei, memangnya kau sudah menikah?”
“Sudah, Pak.”

“Dari usiamu, hanya tampak sekitar 25 tahunan.”
“Usia saya baru 23 tahun, Pak.”

“Nah, sudah menikah?”
Si penyapu jalan tertawa, mengangguk. “Saya punya anak dua.”

“Istrimu?”
“Di kampung.”
“Rumah sendiri?”
“Ya, peninggalan orangtua saya.”
“Tinggal pula ibu mertuamu di sana?”

“Tidak. Ibu mertua saya sudah meninggal.” Gagang sapu dicengkeram erat.
Banyak cerita yang kemudian membuat Syarif seperti anak kecil yang baru belajar tentang arti toleransi dan kehidupan. Apakah malaikat yang sedang bersamanya?

“Tersenyum, itu ibadah yang mendiang ibuku ajarkan…” kata si penyapu jalan sambil berdiri, lalu melakukan lagi tugasnya.

Mata Syarif mulai sarat berkabut. Dia yang berjarak usia 17 tahun dengan si penyapu jalan seperti baru menguak arti kehidupan sebenarnya. Pulang ke rumah, Syarif berubah. Nyinyiran ibu mertuanya disambut senyum. Sindiran pun dilindungi senyum. Semua serba senyum. Inah terheran-heran melihat tingkah polanya, yang tak bisa menahan kesal bila lelah sudah sampai kepala.

“Senyum itu ibadah, Nah. Seseorang bilang pada Uda, dengan senyum kita bisa menaklukkan dunia.”
Langkah Syarif semakin ringan pelan. Detik yang berjalan pun dibaluri senyuman. Menghadapi murid-muridnya di sekolah dasar dia tersenyum, pun menghadapi murid-murid SMA-nya, dia tetap tersenyum. Seiring senyum yang dilakukannya dunia semakin merekah dan mudah dimasukinya. Ini semua berkat si penyapu jalan. Belajar memang bukan hanya pada orang yang lebih tua, yang lebih muda dan dianggap sebagai garis rakyat kecil pun, bisa mendapatkan manfaat yang lebih banyak.

Kala malam mata Syarif lebih mudah diajak bersahabat. Terpejam rapat hingga adzan Shubuh terdengar. Terlakoni selama seminggu. Di sela hari-hari itu dia kerap mendatangi si penyapu jalan yang telah dianggapnya sahabat mudanya. Cerita pun bertuturan dan ucapan terimakasih berhamburan.
Si penyapu jalan tersenyum saat dia menjabat tangannya erat.
“Terimakasih.”

“Saya yang banyak berterima kasih pada Bapak, karena saya serasa punya seorang kakak.”
“Terimakasih lagi karena menganggap saya sebagai kakak.”
Senja itu Syarif pulang serasa menumpang awan. Ketika mau berbelok ke kiri, dilihatnya si penyapu jalan melambaikan tangan dengan bibir yang selalu tersenyum. Memang benar, dengan senyum semuanya akan terasa mudah.
Lepas shalat Isya pukul delapan malam, Syarif langsung tidur. Dia ingin bermimpi dalam keheningan. Tapi guncangan itu membuatnya tersentak. Tangan Inah dengan hati-hati mengguncangnya, mulutnya berbunyi resah, “Ada orang masuk, Da.”
“Ibu?”
“Bukan… aku dengar pula jeritan Ibu.”
“Jatuh?”
“Bukan…”
“Lantas apa?”

Suara Inah terdengar gemas dan panik sekarang, “Ada orang masuk rumah.”
Melonjak Syarif bangkit dari tempat tidur. Suara orang berbisik terdengar sampai ke kamar. Syarif memberanikan diri. Inah mengingatkan untuk membaca bismillah. Bismillah pun terucap sebelum… braaakkk!! Pintu terbuka paksa karena sebuah kaki telah menjejak keras. Tiga lelaki bertopeng masuk, menyergap dirinya dan Inah. Bandi tetap terlelap. Salah seorang mengancam dengan pisau terhunus.
“Serahkan harta bendamu!!”

Syarif tergagap dan kejadian hanya berlangsung singkat. Harta seadanya yang dimiliki digasak habis. Ibu mertuanya menjerit-jerit karena kalung emas satu-satunya dibawa paksa. Tiga orang itu berhamburan keluar dan suara yang berasal dari salah satu motor yang meninggalkan rumahnya, jelas itu sepeda motor miliknya.
Syarif menghela napas, bersyukur tak ada yang luka dalam kejadian itu.

“Allah telah menolong bapak dan keluarga dari kejahatan mereka,” kata si penyapu jalan prihatin.
“Ya, Allah telah menolong keluarga saya.”

“Dan sejak tadi bapak datang, pun setelah menceritakan kejadian buruk itu, bapak lupa tersenyum.” Syarif buru-buru tersenyum. “Ingat, dengan senyum semua akan lebih mudah.”

Syarif mengangguk, lega, bersyukur, tersenyum. Dan senyum pun tetap mengulas bibirnya ketika mengenali yang melingkar di leher si penyapu jalan itu adalah kalung milik ibu mertuanya…***

Mutiara Duta, 21 Februari – 25 Juni 2010