Perempuan Berpayung Malam

Selasa, 15 Juni 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Fahri Asiza
Dimuat di Sumut Pos 06/06/2010

Bibir yang dipenuhi warna merah pekat itu selalu menebar senyum pada siapa saja yang lewat. Sesekali menguatkan hati untuk bangkit, sekadar mencolek atau menyapa, siapa tahu ada yang berminat. Namun keberuntungan tak lagi berkawan dengannya.

Sejak tiga malam lalu, dia selalu berdiri di jalan ini, membiarkan tubuh direjam dingin dan gelitik malam menuju pagi, tak seorang pun yang berminat padanya.

Sesekali dipandangi iri gadis-gadis ber-tank-top yang cekikan manja dengan pemuda sebaya, ada pula yang sedang bermanja melongokkan kepala ke dalam sebuah mobil mengkilat. Entah siapa di dalamnya. Yang pasti, pintu akan terbuka, lalu gadis itu terlempar ke ruangan ber-AC yang segera menggelinding dari sana dan menyisakan kikikan manja.

Sekarang sudah pukul tiga dinihari. Masih diucapkan doa semoga ada pelanggan yang datang. Namun hingga adzan Shubuh terdengar di kejauhan, lagi-lagi tak satu pun yang hinggap. Lesu akhirnya dia memutuskan pulang. Melangkah dulu ke sebuah pom bensin, menumpang berganti baju di kamar mandi berlumut yang menebarkan bau sangat tidak sedap. Gincu dihapusnya bersih, rambut sedikit diacak dan bedak tebal yang sejak tadi menipis digigit, sepi pelan-pelan dibasuhnya dengan air.

Dalam angkot yang membawanya pulang, dia meratapi lagi jejak-jejak menyiksa yang dilakoninya hampir tiga tahun. Mengikis nurani yang tak kuasa dipanggul, mulai pukul sembilan malam dia sudah berdiri di jalan itu. Tak pernah berubah. Selalu di jalan itu.
“Benar kau mencintaiku, Kang?” tanyanya delapan tahun yang lalu, pada satu malam, di jalan itu, ketika Abdi yang menjemputnya ke rumah mengajak menikmati malam tiba-tiba melamarnya.
Abdi mengangguk mantap, menggenggam erat tangannya. “Aku mencintaimu, Imas.”
Lima tahun kemudian, di jalan itu, Abdi berkata padanya dengan suara cemas, “Tunggu di sini. Aku akan cari taksi. Didin harus dibawa ke rumah sakit.”
“Cepatlah, Kang… badannya panas sekali.”

Abdi pergi bergegas, membawa kepanikan sekaligus harapan. Bocah lelaki berusia dua tahun yang meringkuk pucat dalam gendongannya, berdesahan tak arah, membuat setengah jiwanya menggantung di atas bara api. Ditenangkannya dan didendangkannya kidung pelipur lara yang pernah dinyanyikannya. Malam terus bergerak, kegelisahan terus merayap. Hingga adzan Shubuh Abdi tak muncul kembali. Hingga hari ini, Abdi telah lenyap ditelan bumi. Lelaki yang mengaku mencintainya itu tak pernah kembali.

Sekujur tubuhnya yang dipeluk jaket kumal—jaket yang kerap dikenakannya dengan alasan bekerja di pabrik—tiba-tiba menggigil. Kebenciannya pada Abdi mengental. Angkot yang sarat dengan belanjaan orang dari pasar dan menyisihkan bau yang tak nyaman tak lagi mengganggunya. Abdi… di mana lelaki keparat itu? Aku berharap dia sudah mati!
Kembali ke rumah, Didin sudah menyambutnya disertai teriakan khasnya, “Jajannya mana, Mak? Jajannya mana?”

Setiap memandangi Didin yang sekarang sudah berusia lima tahun, kadang terselip kebencian pada lelaki keparat itu. Garis wajah Didin jelas mewarisi garis wajah Abdi. Pernah dia marah besar ketika Didin tak sengaja menumpahkan bedak yang dibelinya sepuluh ribu rupiah. Nyaris dihajarnya bocah itu sebelum dia beristighfar kalau bocah itu tak pernah tahu kesalahan apa yang dilakukan bapaknya.

Disodorinya gemblong ketan yang selalu dibelinya setiap kali pulang pada Didin yang melonjak-lonjak gembira dan memakannya layaknya persembahan dari para dewa. Lalu diucapkannya terimakasih pada Mak Iyoh, perempuan tua yang selalu menjaga Didin.
Tapi kali ini Mak Iyoh tidak menjawab atau segera melangkah pulang ke rumahnya yang terletak lima rumah dari sana. Tatapannya tajam namun juga resah.
“Ada apa, Mak?”
“Kapan kau mau berhenti dari pekerjaan nista itu, Imas?”
Bila halilintar yang tiba-tiba menggelegar di depannya dia tak akan melonjak, tetapi pertanyaan Mak Iyoh membuatnya terperanjat dengan sepasang mata menggelepar seperti ikan yang terlempar ke daratan.

“M-maksud Mak apa?” desisnya terbata. Hujan gemuruh dalam dadanya coba dialihkan dengan ketenangan.

“Tak perlu kaututupi lagi, Imas. Mak tau apa yang setiap malam kaulakukan.”
“Ini soal apa, Mak?” Keringat tiba-tiba saja liar berlarian.
“Jangan berbohong pada Mak, Imas. Pada saat-saat tertentu

alam satu bulan kau pasti tak akan pernah meninggalkan rumah. Karena, kau sedang datang bulan. Tapi pada hari-hari lain kau akan kembali ke jalan itu, bukan? Menunggu Abdi kembali atau kau menjajakan dirimu pada lelaki busuk yang mau mengeluarkan rupiah demi sebuah penyiksaan batin terselubung?”
Dia menggigil hebat, kata-kata Mak Iyoh lebih tajam dari sengatan ular mana pun. Kedua lututnya bergetar, lalu jatuh berlutut menangis. Didin melompat mendekat, bersiaga penuh di dekatnya. “Kenapa, Mak? Siapa yang ganggu Mak? Bilang sama Didin, akan Didin hantam perutnya sampai menjerit-jerit!”

Kata-kata bocah lima tahun itu semakin merejam batinnya. Segera dirangkulnya Didin yang masih teriak-teriak siapa gerangan yang membuat maknya menangis. Sekilas Imas mengumpulkan sisa-sisa keberanian memandang Mak Iyoh yang masih menuntut jawab namun hati tuanya pun melunglai dengan pandangan maaf. Lalu dikuncinya pintu. Tinggal Mak Iyoh yang menghela napas panjang.

“Kalau aku tak melakukan ini Mak, dari mana aku bisa memberi makan Didin?” isaknya tiga malam kemudian, karena Mak Iyoh terus mendesak.

“Kau bisa mencari pekerjaan lain. Bukan pekerjaan tertua di dunia seperti ini.”
“Mak lupa, aku pernah bekerja di pabrik selama dua bulan dan dua bulan pula aku dilecehkan oleh atasanku? Mak lupa, aku pernah berniaga di pasar tapi di sana pula aku nyaris diperkosa Badrun? Atau Mak lupa, aku pernah meminjam uang pada Tuan Kirun untuk membeli mesin jahit, yang akhirnya aku merelakan diriku ditidurinya karena aku tak mampu membayar uang pinjaman? Mak lupa semua itu, Mak? Apakah Mak lupa?” Entah dari mana munculnya semua itu, tiba-tiba saja berhamburan kepedihan yang selama ini bersembunyi di belahan jiwanya—entah di bagian mana.
Mak Iyoh goyah. Perempuan di hadapannya ini sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Pedih hatinya mengetahui Abdi meninggalkan perempuan yang lemah lembut, baik hati dan seharusnya dilindungi.

“Abdi yang salah!” tiba-tiba menggeram suara seraknya, tanda kemarahan menggelegar.
“Tak perlu Mak menyebut nama dia! Bagiku dia sudah mati! Sudah mati, Mak!!”
Teriakannya membuat Didin yang lagi asyik memandangi ikan-ikan kecil di dalam toples menghambur keluar. Bersiaga lagi dengan gerakannya yang lucu. “Siapa yang Mak teriaki? Siapa? Bilang sama Didin Mak, akan Didin pukul kepalanya biar benjol sepuluh!”

Dipandanginya bocah yang tak tahu apa-apa itu dengan haturan sayang tak bertepi. Lalu dipandanginya Mak Iyoh.

“Didin yang membuatku bertahan hidup, Mak. Pekerjaan busuk yang menyakitkan hatiku pun terpaksa kulakoni… demi Didin.”

Mak Iyoh terdiam. Tak kuasa air matanya yang sejak tadi ditahannya pun luruh. Derita perempuan dari zaman ke zaman tak berubah. Peradaban boleh maju, Kartini boleh memperjuangkan emansipasi, tetapi dalam rumah tangga, perempuan selalu menjadi kandang.
“Mak paham maksudku, bukan?”

“Mak tidak tahu. Hati kecil Mak ingin sekali melihat kau meninggalkan itu. Tapi, Mak juga tak berdaya untuk mengangkatmu berdiri, Imas.”

“Terimakasih, Mak. Doakan, semoga aku dapat pelanggan banyak malam ini.”
Kembali berdiri di jalan itu dan membiarkan tubuh dicumbui dingin, dikuatkan segala bentuk keberanian. Di jalan ini bunga itu pernah tumbuh, di jalan ini bunga itu mulai layu dan di jalan ini bunga itu membusuk. Kenangan pada sebuah jalan ternyata sangat menyakitkan.
Malam itu dia mendapat dua lelaki hidung belang yang menghabiskan syahwatnya di hotel yang jadi langganannya. Kembali tercabik-cabik kewanitaannya. Namun senyum harus selalu dipasarkan agar mereka kembali lagi menikmati hidangan.

Malam berikutnya, langganannya bertambah. Dari mulai satu orang, dua orang, bahkan pernah dia melayani hingga lima orang. Malam berikutnya, dia sudah menjadi incaran para lelaki pembeli nafsu. Kehidupannya mulai berubah. Dari rumah yang sudah nyaris rubuh hingga ke rumah yang permanen, dari tak punya alat komunikasi sekarang memiliki telepon genggam meski masih berkapasitas biasa. Baginya itu sebuah berkah. Dia tidak tahu, inikah jalan Tuhan ataukah kebusukan yang akan semakin menjerumuskan.

Meski sudah banyak mendapat langganan, dia tetap berdiri di jalan itu. Kalau dulu masih berharap Abdi akan muncul, kali ini siapa pun yang datang akan disambutnya dalam rangkulan hangat penuh gairah.

Dia tidak tahu, setiap kali ada lelaki yang membeli jasanya, sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari sana. Dari balik kaca gelap yang menaungi mobil itu, Abdi menghela napas panjang sambil mendesis, “Sengaja kubayar setiap lelaki yang mendatangimu, Imas, agar pulang kau berpeluh uang.“ Lalu dijalankan mobilnya pelan-pelan, masih dipandanginya Imas yang tengah menggandeng seorang lelaki bertampang kasar yang tak sabar untuk meraup tubuh perempuan lembut bulat-bulat. Abdi mendesis, “Itulah bentuk tanggungjawabku padamu….” ***

Mutiara Duta, 10 Maret –1 Juni 2010