Kampung Anyaman

Selasa, 16 Maret 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Riau Pos, 28 Februari 2010

DAHULU, ketika tepian semenanjung Sumatera Tengah masih bersambung dengan Borneo, kau tak tahu bahwa sebagian besar penduduk negeri yang kaudiami sangat gemar menganyam. Entah pak turut atau karena memang menyukainya, kau pula memiliki kegemaran yang sama dengan mereka.

Kalau tak menganyam, paling tidak kau membuat barang kerajinan rumah. Bakul, sumpit, ambung, katang-katang, tikar, kajang, atap, ketupat, tudung saji, tudung kepala, dan alat penangkap ikan yang disebut sempirai, pangilo, lukah… mengonggok di bilik tengah rumahmu.
***

SEJATINYA, kau tak tahu bagaimana kau demikian lihai melipat-kunci bilah, daun, dan temali. Kau tak tahu dari mana datangnya kecakapan itu, layaknya tak tahu (atau memang juga tak pernah ingin tahu), bagaimana kau mengonggok di tanah ini. Kau bagai diterajang begitu saja dari langit. Tak ada ayah, ibu, atau sanak-kerabat. Nasabmu putus (atau memang tak bernasab?). Ya, tak terang bagimu tertib perkaranya. Yang tersangkut di ingatan adalah; ketika mimpi basah pertamakali berlabuh di tengah tidurmu, laut tiba-tiba meluap. Kau —juga para penduduk lainnya— mengira itu adalah banjir. Tapi banjir dari mana, tak ada yang kuasa menyuat kabar. Maka, sejak itu daratan yang kaudiami dibelah oleh laut yang tak begitu luas. Hanya dengan memicingkan mata serta menudungkan sebelah tangan di atas dahi yang berkerut, kau mengeker daratan di seberang.1
***

KAU pun berumah tangga. Kausunting seorang perawan dari pedalaman. (Ia jua pandai menganyam. Layaknya dirimu. Tak lebih, jua tak kurang.) Kau kerap diolok kawan-kawanmu bila kedapatan memanggil gadis berkulit pekang —hitam liat— itu “Putri”. Sejatinya olokan itu bukan cuma tentang kulit pekang, tapi jua tentang istrimu yang tampak berbeda dibanding perempuan kampung kebanyakan.

Bila bercampur ketika menganyam, istrimu agak lebih jemawa. Ia kerap bercerita perihal laki-laki yang tak selayaknya disembah-sembah. Ia memang tak menyulut mereka agar melawan laki. Di lain perkara, ia pula bersetuju dengan pekerjaan sebagian besar laki-laki kampungmu sebagai pedagang (termasuk kau yang berdagang kain). Sangatlah elok. Nabi kita dulu jua menjual kain, katanya.

Namun, buah dari batang-cakapnya adalah, menjadi istri tak usah berlebihan-tunduk pada laki. (bakda itu, buru-buru ia —bagai meralat— berwasiat: laki tetaplah imam kita untuk pergi ke taman langit.). Semoga itu bukan musabab istrimu yang tak beranak hingga kini —atau kau yang tak jantan?
***

OLOKAN pada istrimu itu, selalu diungkapkan bagai tak sungguh-sungguh (entah karena mereka sudah dapat berkira-kira bagaimana bila istrimu yang perkasa itu naik pitam, atau karena menghormatimu sebagai orang sekampung), namun, di belakangmu mereka menceritakannya bagai menanak nasi yang menguap bau pejuh.

Ya, mereka tak rapi mengganti muka. Alahai, seluas apa nian kampung —yang dari kabar yang melawat— ditahbiskan bernama Kampung Anyaman itu.2 Orang-orang kampung ini adalah kerabat. Tak ada perkara yang bernama rahasia. Bila ada satu-dua yang diajak bersekutu, tak ada sumpah yang layak dipegang dengan sebenar. Karena ketika berkumpul menganyam —yang ibarat sembahyang lima kali siang-malam itu— tumpahlah semua kesah. Selain kepada Tuhan, kegemaran menganyam —saban matahari bergelantungan semiring atap rumah— bagai titian untuk mengadu dengan setumpah-tumpahnya. Bila telah diinjak puncak percakapan itu. Lupalah gelok gula yang lengang, gelas-gelas kopi yang tak bergedu, anak-bini yang ngidam beras pulut…. Nah, apakah sekadar rahasia yang berkait dengan orang lain pun dapat dieram?

(Tersenyum miringlah kalian….)

Kau memang merasa tersudut ketika, suatu waktu, istrimu bercerita. Kau tak perlu khawatir dengan semua gunjingan itu, katanya. Kau sedikit terhenyak, sebelum ia —bak memapas keterkejutanmu— bertubi-tubi menceritakan bahwa kawan-kawanmu lupa perihal hidup yang bukan hanya perkara makan, minum, ranjang, sembahyang, atau menganyam. Mereka adalah orang-orang yang tak paham silsilah puak!

Kau mendongak. Kau tanyakan, apakah “mereka” yang dia maksudkan juga termasuk dirimu.
Istrimu tak menjawab. Ia membadikmu dengan sebuah pertanyaan maut, yang selayaknya kautanyakan lebih dahulu sebelum pelaminan kalian dibentang dulu. (Ai, bodohnya kau, bagaimana kau menerima saja perihal keluarga penghulu yang dulu diseret sebagai saksi kawin dari pihak perempuan!)

Kau makin terdiam ketika diceritakan bahwa ia pun sama denganmu. Diturunkan begitu saja di tanah ini. Orang tuanya adalah angin yang meliuk-liuk di antara kerumunan penduduk Koto Baru, Solok, Bayang, Simawang, atau Lubuk Alung. Sangat berbeda dengan angin-angin yang menyelip di tubuh orang-orang Sakai, Akit, Hutan, dan Talang Mamak, yang mungkin saja (satu dari lima puak itu) adalah mereka yang dipercaya Tuhan untuk menitismu di kampung ini.

“Kita bahkan lebih hebat dari Isa yang dilahirkan Maryam tanpa ayah, Kak?”

Kau merinding. Perasaanmu berdesir.
***

PEREMPUAN itu berasal dari gugusan tanah Malaka. Enam puluh mil dari Kerajaan Rumbo.3 Ia bercerita pula perihal nenek moyangnya yang berasal dari Semenanjung Malaya dan Semenanjung Malaka. Mereka dikenal sangat suka berpetualang. Menyebar hingga ke negeri-negeri tetangga. Konon, kebiasaan inilah yang menyebabkan kulit mereka pekang-pekang.4
Ketika masih kecil, ia terdampar di pulau yang pernah berjuluk Putri dari Kerajaan Britania.5 Lalu, pernah diajak karibnya menetap di Lubuklinggau. Di sana ia melihat orang-orang membuat terindak—semacam caping dari daun pandan hutan. Dia belajar membuatnya. Lalu mereka mengembara hingga ke Sungai Tatang. Selain menjala ikan, ia pun menyongket. Hendak kembali, mereka singgah di Musirawas. Membuat labu-kayu—tatakan minum/makanan dari labu yang dikeringkan. Dan… sebelum menggapai Malaka, mereka terpisah. Karibnya kembali ke Singapura, sementara ia sendiri tak kuasa melepaskan rantai yang menggelung seonggok daging merah di kiri dadanya.
***

PAHAMLAH kau kini, mengapa perempuan itu sampai khatam menganyam, bagaimana ia tampak sangat jemawa —bukan benci pada laki-laki. Ia berdarah Melayu Jauh, tetangga sebuah negeri yang memindahkan kekuasannya ke Sumatera Tengah, ke daerah yang mejadi induk kampungnya.6 Namun, bagaimana perihal silsilah puak itu?

Bagai membaca ketakpuasanmu atas ceritanya, ia mengoar, “Sejatinya, asal orang Melayu seperti asal orang-orang lain. Dari dongeng.”

Kau takzim menunggu. Kau tahu istrimu —yang kini bagai asing bagimu— itu akan melanjutkan kata-katanya.

“Tak ada mau percaya bukan, bila rambut mulanya adalah putih. Tak ada jua yang takzim menganggukkan kepala bahwa matahari tu putih cahayanya. Kau pun tak percaya bila orang Melayu asli tu kulitnya pekang-pekang….”

Kau meneguk liur. Kau baru tahu bila istrimu dalam ilmunya. Kau baru tahu bahwa mungkin saja benar dongeng-dongeng yang berkisah pria yang beristrikan putri jadi-jadian. Kau mulai gemetar.

“Hari sudah layu, Kak. Kita diundang Nek Cik turut bergabung makan nasi hadapan. Berhormatlah kau pada cucu tetua kampung yang baru kawin tu!”

Kau mengambil kain bergaris kotak-kotak. Tanpa melepas celana panjang, kau melilitnya di pinggang hingga kain itu turun sebatas betis. Istrimu mengambilkan kopiah hitam lis kuning-emas. Perempuan itu jua berhelat; bakda menangkup sanggul dengan songkok, ia memakai kerudung hijau rumput. Kalian berdua menuruni jenjang rumah panggung.

“Selesai makan kelak, kita akan diajari kecakapan baru, Kak.”

“Apa tu?” tiba-tiba saja kau terpancing menyahut.

“Berpantun.”

“Berpantun?”
***

KAU menangis tua. Istrimu raib. Sungguh di luar prakira. Ya, akhir-akhir ini, perempuan itu tampak bersemangat sekali belajar berpantun, kecakapan baru yang membuat kalian lupa menganyam. Lalu, bagaimana bisa ia pergi? Atau ia tak pergi, hanya belajar membuat tenun Siak? Atau ia dimakan Batu Betangkup?7 Atau…. Oh, kau terus memantik harap. Tak kauhiraukan orang-orang yang coba menghiburmu. Pun, tak kau amini kabar yang berembus bahwa istrimu pergi ke sebuah negeri di barat Tanah Andalas. Negeri di mana laki-laki dibeli perempuan bila hendak berkawin; negeri di mana laki-laki tak hanya menganyam, berdagang, atau berpantun, di tanah kampungnya, tapi jua merayap ke negeri-negeri nun jauh di sana. Oh, mungkin pula, ia tak sabar berketurunan. Anak bujang. Anak yang bila baligh, ia suruh terbang bak kumbang. Merantau.***

Lubuklinggau, 11 Oktober 2009

Catatan:
1 Pada mulanya, Sumatera, Jawa, Semenanjung Muangthai, dan Borneo, adalah satu pulau. Dari waktu ke waktu, seiring suhu bumi yang terus naik yang berakibat melelehnya es di kutub bumi, pulau itu tercerai-berai. Tak heran, bila kebudayaan Melayu dapat ditemui di Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, hingga Laos. Namun begitu, tak semuanya terpisah oleh laut yang luas. Singapura sendiri, kota pertama dalam hikayat Melayu, dapat dilihat dari beberapa tepian Riau. (Dictionary of National Biography, XXVI).

2 Riau sangat kaya dengan kerajinan daerah. Kerajinan daerah di Riau sangat erat hubungannya dengan kebutuhan hidup masyarakat. Salah satu bentuk kerajinan daerah yang ditekuni adalah anyaman. Kerajinan ini dikembangkan dalam bentuknya yang aneka ragam, dibuat dari daun pandan, daun rasau, rumput laut, batang rumput resam, rotan, daun kelapa, daun nipah, dan daun rumbia.

3 Thomas Raffles, Sekretaris Pemerintahan di Pulau Pinang, telah berusaha mendapatkan keterangan tentang orang-orang Melayu. Ia mendapati, di pedalaman Malaka, terdapat Kerajaan Rumbo. Raffles berkesempatan berkomunikasi dengan penduduknya. Mereka memiliki dialek khusus. Mereka mengganti /a/ dengan /o/ di ujung kata, seperti “amba” menjadi “ambo”. Dialek itu disebut orang Malaka sebagai bahasa Minangkabau. (C.P.J. Elout, Maleische Spraakkunst, doorden, Haarlem, 1825)

4 Penduduk selat adalah orang-orang pertama yang menjelajahi Sumatera dan mendirikan pemukiman di sana pada abad ke-12. Akibat kedatangan para pendatang, penduduk asli, yang lebih mirip orang Negroid, terpinggirkan ke hutan-hutan dan pegunungan. (History of Sumatera, William Marsden, 1966).

5 Konon, ketika pertama kali orang Inggris mendatangi dan bermukim di selat Malaka, Pulau Penang dijuluki Pulau Prince of Wales. (Asal-usul Kerajaan Melayu, Mr. Francis Light, 1783)

6Nama “Riau” besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang Melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal sejak Raja Kecik memindahkan pusat kerajaan Melayu dari Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini dipakai sebagai salah satu negeri dari empat negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang. (Sejarah Sumatera, edisi ketiga/terbaru, William Marsden, 2008)

7 Cerita rakyat yang populer di daerah-daerah Melayu: Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan sekitarnya.