Bulan Celurit Api

Selasa, 16 Maret 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Merdeka, 7 maret 2010















MAK MUNA duduk di tubir jenjang. Menengadah ke kelam raya. Bulan berubah menjadi celurit api. Lagaknya mengajak pucuk Limas berseteru. Mak Muna risau. Itu adalah lukisan masa hadapan yang tak berbingkai. Apabila diutarakannya tafsir tentang “peperangan” bulan sabit dan atap rumah pusaka itu, pastilah sesiapa menolak bersetuju.

Firasatnya, kampung akan petaka. Ah, Mak Muna mati-matian menindih-redam ramalan yang menyembul-nyalang itu. Cukuplah praduganya terdahulu yang melesat bak bumerang. Menancap-menusuk kehidupannya.

Ia beringsut mengganti tengkuluk —semacam penutup kepala. Pekan lalu —Mak Muna lupa persisnya, ia diundang Salim (Ai senangnya, diundang, oi!), ketua RT, untuk berkumpul di laman Haji Makmun bakda Isa malam ini. Iyut, tetangga yang ditunggu-tunggunya, tak jua menjemputnya. Mungkin ada perkara syaríi yang menghalangi, atau… Iyut sibuk tengah menemani sanak-sanaknya dari kota; muda-mudi yang pasti beragam ulahnya….

***

ORANG-ORANG beragam usia, pekerjaan, dan kehormatan berkumpul di tarup. Tarup?! Ya, zaman kini, biasanya tenda lebih banyak dibentang. Ah, serasa kembali ke masa lama saja….

Walaupun duduk di bagian belakang, tapi, sejatinya, Mak Muna menyimpan kebanggaan. Walau ia juga tahu, tak ada yang memedulikan bunga yang tiba-tiba mekar di dadanya itu. Jarang-jarang berada satu suasana dengan Haji Makmun, orang beruang dan terpandang yang beberapa kali fotonya tercetak di koran. Ah, bulan celurit itu tak menantang pucuk Limas. Aku berlebihan saja dalam berkira….Mata tua Mak Muna menangkap rombongan ada orkes melayu di panggung. Ai ai, senangnya hati seorang tua. Ia bayangkan, irama senjang dilagukan. Umar Tanjung, pemain gitar tunggal tersohor itu akan dipadu dengan Mak Nur, sejawatnya yang merdu berejung. Anak-anak seumur Mira pun akan bermain sandiwara. Melakonkan Dul Muluk. Atau juga, belasan pasangan muda-mudi menggayung-sambut pantun adat; mengenakan belah bulu, songket dengan badong raja, tanjak di kepala, dan terompah kayu yang kemeretak-kemeretok bagi yang bujang; kain lasem, baju kurung, dan sanggul malang yang ditanam tiga tusuk kembang goyang untuk yang gadis. Elok nian malam ni!

Saking khidmatnya memundur-mundurkan zaman, tiada terasa olehnya; satu dua sambutan telah tunai. Dan… ketika malam meninggi, entah apakah karena usia yang melamurkan telinga dan mata, atau memang ia harus sadar bahwa dunia bukan lagi sangkarnya, apa-apa yang dipidatokan Haji Makmun dengan setengah berteriak itu tiada dimengertinya. Pun mereka yang makan minum sambil berdiri itu, dan… Ya Rahman, joged-jogedan di atas panggung tarup orkes….

“Ayo… lanjut! ‘Kucing garong’!!!”

Hai hai hai Mak tua, lupakah, engkau! Kini bukan zaman keresidenan dan pesirah-pesirahan. Bukan jua masa radio kemerosok melayu yang antena peraknya bergoyang kiri-kanan. Ini tahun yang baru, Mak! Indonesia Raya baru saja memilih presiden! Kita jua akan mengangkat lurah!

Mak Muna terhuyung pulang. Hatinya bak ditusuk cuban. Tak pernah ia duga, Salim yang juga pengurus masjid itu, berela-rela mengundang khalayak untuk hajatan tak beradab!

“Ini dari calon lurah kita, Mak.” Seorang pemuda menghampirinya. Memberi sebuah kertas putih berlis garis birumerah yang menyelang-nyeling.

Mak Muna tak sempat bertanya karena pemuda itu gegas menyongsong keramaian. Mengejar tetamu yang berdehem: hendak pulang namun belum mendapat bagian. Mak Muna bermaksud mengembalikan amplop….

“Mak, dari tadi dicari-cari. Rupanya di sini,” Iyut menghampiri. “Tadi sanakku Maria yang nyusul. Mira menceracau, Mak. Tentulah alamatnya ia sakit lagi…,” kata Iyut cemas.

Tergesa-gesa mereka pulang. Amplop itu masih di tangan. Mak Muna urung mengembalikan. Bahkan, kini, erat sekali digenggamnya kertas putih itu. Di rumah, bertanyalah ia pada Iyut perihal amplop itu. Gadis tua itu mengangguk, seakan paham arah percakapan.

“Kita gabung saja, Mak. Cukuplah membawa Mira ke puskesmas esok.”

Baiknya kau, Yut. Mengapa masih saja kau menunggu Rusli, si Hidung-belang itu, untuk meminangmu? Bungsuku tak bisa diajak bersetia. Tak ada itu, Yut….

***

SEBATANG badan Mak Muna sudah tak kokoh lagi. Seperti Rumah-Limasnya di Kayu Ara ini; setiap bagiannya bopeng sana-sini bagai menunggu waktu rubuh. Tak ada yang Mak Muna punya selain itu pun menurut ia sendiri kelihaiannya membaca tanda.

Dahulu, pada petang rinai, matanya menangkap pelangi dekat Sungai Kelingi. Kelir lengkungnya buram. Orang-orang tak gubris. “Tertutup kabut ia, Mak,” kata mereka. Tak lama, puak Col dan puak Musi berseteru. Banyak yang jadi korban dalam peristiwa itu. Termasuk Haji Bidin, suaminya yang imam masjid tersohor itu.

Jua, saat kelambit-kelambit berkibaran pada siang pekat. “Ingin pindah rumah rombongan kelelawar itu, Mak,” kata orang-orang yang menangkap kegelisahannya.

Ketika itu, Seno membeli pemancar siaran televisi itu. “Ini bukan parabola biasa, Mak. Siarannya yang bagus-bagus,” kata sulungnya itu sehabis menanam payung besi terbalik di atap rumah. Mak Muna tahu, Seno, Anjani, Yanti, Dewi, dan Rusli, kongsian dari hasil menjual getah karet tiap bulan.

Tak apalah, Nak. Asal itu faedah dan kalian gembira….

Mak Muna miris jua melihat tak satupun anaknya menjadi orang. Keenam-enamnya masih menumpang —bila boleh dikatakan seperti itu—- di rumah pusaka. Jadi, mereka yang jumlahnya hampir 20 beranak itu memang sepatutnya berhibur; melupakan keletihan menyadap karet; mencari titik pandang pada televisi yang selama ini, bila dihidupkan, hanya menampilkan jutaan semut yang mengerlap-ngerlip.

Mak Muna salah lagi. Benar-benar tak paham ia. Walaupun hampir tak pernah ikut berkumpul dengan anak-menantu-cucunya berhahak-hihik atau bersedu-sedan atau… ya berjoged-joged di depan televisi, tapi… apanya yang bagus-bagus, bila cucunya yang bernama aneh-aneh itu —Alberto, Isabela, dan… uuuh, Mak Muna sendiri susah mengingatnya— susah sekali diajak sembahyang. Ah, induk-induknya pun tak sembahyang!

***

DULU, bakda anak-anaknya menjual tanah-tanah warisan dan membelikannya dengan gubuk-gubuk beton untuk bertegak sendiri, hati Mak Muna bergelinjang. Ada jua niat kalian untuk menghidupi keluarga sendiri-sendiri.

Namun, entah Iprit dari mana yang mengajak bersekutu, anak-anaknya termasuk cucu-cucunya ganau, ribut hendak menjual rumah pusaka.

Dan… Mak Muna tak runduk. Pemerintah kota saja memerhatikan rumah panggung ini, dalihnya. Kata-kata itu memang berlapik. Beberapa hari sebelumnya, orang-orang berseragam cokelat muda —mungkin dari Dinas Pariwisata— meminta Mak Muna duduk di kursi rotan di pekarangan rumah, di antara rerumpun pandan kering yang belum sempat dianyam. Mak Muna difoto. Perasaannya merona. Bukan karena foto yang bila telah tersalin di almanak, maka di belakangnya, bersikokohlah rumah kayu yang bagian tengah atapnya menunjuk-nunjuk langit menajam, menantang bulan yang mengarit bila purnama batal bergelantungan. Oh, untuk seorang renta sepertinya, tak guna jemawa! Ia sekedar menyekak anak-anaknya agar tiada mengejek istananya.

Tetapi… berbilang masa, tak jua dicetak tanggalan itu. Maka, bak kacung tua tak berharga, dipojoklah ia. Bahkan beberapa cucunya yang sudah SMP-SMA ikut mengaramkan ketakberdayaannya.

“Kami pamit, Nek. Ke rumah baru.”

Setelah mencabut payung besi terbalik itu, pergilah mereka. Tanpa salam dan cium tangan. Hanya Mira yang ditinggal. Seakanakan bocah gagu itu akan menjadi tukang kabar bila ia mati kelak.

Sejak itu, beberapa kali Mak Muna melihat Alberto dan cucunya yang lain sempoyongan dari panggung musik kampung. Ia tiada menegurnya (Takkan mereka mendengarnya. Bahkan, bisa saja mereka kalap. Menyepaknya hingga menyeruduk tanah). Ah, memang dasar mak-bapaknya tak pernah melarang minum air kelat itu….

Dari Iyut, ia jua beroleh kabar, Seno dan beberapa saudaranya yang lain sudah jadi preman pasar. Saban malam bermain kartu di lapau Bi Sirah di Pasar Satelit.

“Hanya Rusli yang tidak, Mak!”

Mak Muna tak pecaya itu. Iyut, Iyut, rupanya linjang buta, kau!

Kini, bagi Mak Muna, kegembiraan Mira yang sudah berumur tujuh tahun itu adalah jua kesenangannya. Ia turut sumringah. Membuka tangan lebar-lebar demi menyambut Mira yang berhasil menangkap belalang rusa di semak ilalang; atau bila melihat gadis kecil itu menganggukkan kepala saat mengaji, pertanda ia paham pada ajaran neneknya itu walaupun tak ada bukti, karena ia tiada melafalkannya.

***

PERASAAN Mak Muna berkabut bebal. Ia kerimukkan baju kurungnya. Terkenang almarhum suaminya. Ai Bidin, bertenang kau di liang lahatmu, ya. Iri berkibas. Entah, rasanya berkalang tanah jauh lebih tenang daripada mengonggok di bumi. Menyalang perubahan yang membuatnya bagai boneka ladang….

“Mak, jadi kan kita ke hajatan Cik Madur?” Iyut memecah nostalgia buramnya.

Mak Muna sigap mengangguk. Ia papah Mira menuruni jenjang. Menitipkannya di rumah Iyut. “Beritahulah sanakmu dari kota tu. Bila Mira menceracau, alamatnya ia menangis. Maklumlah anak bisu, Yut.” “Aman, Mak.” Iyut mengangguk cepat. “Mak jua tak perlu khawatir. Kampung seberang memang nanggap organ tunggal, tapi, tadi sengaja kujerang air. Kusuruh mereka menunggui. Jadi, ada kawanlah Mira tu, Mak.”

Sejujurnya, bila tak mengharap amplop seperti di hajatan Haji Makmun, Mak Muna takkan menghuyung sebatang badan liatnya. Oh, semua demi Mira yang masih demam, panas saja….

***

BERARTI Mira bisa berobat gratis, Yut?” Mak Muna bergumam.

Khusyuk disimaknya pidato lelaki paroh baya di panggung. Tampaknya hajatan kali ini cukup dimengertinya. “Orang-orang tua seperti Mak akan dapat santunan, Yut!” Nenek tua itu berseru rincah. “Ai, kita pilih Cik Madur saja, Yut!”

Tiba-tiba, saling mencarut, kursi plastik bercentang-prenangan, berbabit-babitan, berlemparan dengan makanan, gelas, kayu…. Perkelahian besar itu pecah.

Mak Muna menoleh ke samping, bermaksud mengajak Iyut menyingkir. Tapi… gadis tua itu tak ada lagi. Mak Muna bergemerudupan, menghuyung badan, menepi ke rimbunan batang pisang yang bersisian dengan semak ubi kayu.

Mak Muna terperanjat. Matanya mendelik ke semak ubi kayu. Serasa tercerabut nyawanya. Bukan, bukan karena ia mendapati beberapa anak-cucunya menjadi bagian rombongan yang mengacaukan hajatan. Bukan pula karena orang-orang di tarup sana sudah bertujah-tujahan; saling tikam dengan pisau….

Mak Muna pucat. Masih belum dapat ia memercayai apa yang ditangkap matanya barusan. Tiba-tiba, di kejauhan, merah nyala menggapai-gapai bulan yang masih mengarit. Beberapa kali ia usap wajahnya, mencubitcubit lengan keriputnya…. Hanya istighfar yang didesau parau. Api berkibar-kibar di sana, di atap rumah pusaka.

Mak Muna terhuyung. Hampir ia terseruduk di antara bingar perang saudara itu. Lupa ia kalau sebatang badannya sudah reot. Wajahnya yang keriput-marut meringis. Tampak sekali ia kesal pada kerentaannya. Tak jua mampu ia berlari. Tubuh rentanya tak bisa dilawan. Sudah tua-bangka kau tu, Mak! Kepala delapan!

“Pastilah, sanak-sanak Iyut lupa mematikan kompor! Pasti mereka berjingkak-sorai di tarup orgen kampung sebelah!” Mak Muna mengutuk-ngutuk. Matanya menyala saga. Antara tangis dan marah yang bergelora di sana. “Binatang kau, Yut!” teriaknya parau. “Tak beda kau dengan anak-anakku. Wanita jalang!” Mak Muna menunjuk-nunjuk tak jelas arah sembari terus mengayun satu-dua langkahnya, ke Rumah Limas yang membara, ke rumah Iyut yang telah menyulap Mira jadi abu-abu.

“Mak, Rusli dan Iyut diarak keliling Kayu Ara. Mereka tertangkap basah sedang bekacuk di kebun ubi Cik Madur!’’ Seseorang membantunya bangkit. Raganya tak kuasa lagi bertegak. Ia hanya menyandarkan tubuh rentanya di tebasan batang-batang tua di tepi jalan kampung.

Ah, mungkin ia terlalu tua hingga tak dapat membaca satu tanda yang menyumbulkan keganjilan yang maha: Bulan celurit api yang menantang pucuk Limasnya beberapa hari yang lalu. Dan kini berbalik: Pucuk Limas itu yang menantangnya dengan bara yang menyala-nyala, hendak memanggang sabit raksasa itu. Ah! Kini, bukan saatnya meraba alamat tanda atau menyesali kebodohan berkira-kira… Ini salah bumi, yang lamur berkurap-kurap, yang berkarat terlampau pekat! (*)

Catatan:

*) bakacuk = berhubungan badan

Lubuklinggau, 22 Desember 2008
Bulan Celurit Api adalah salah satu cerpen terbaik Piala Balai Bahasa 2009