Keluarga Sempurna

Minggu, 17 Januari 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Surabaya Post, 17/01/2010

AKHIR-akhir ini aku sering merasa tak tenang. Tapi sangat tak mungkin aku mengungkapkan ini pada sesiapa. Walaupun gugatan itu telah kucabut tanpa sepengetahuan istriku, namun entah mengapa, sampai hari ini, seperti telah kukatakan tadi, aku hanya memendam warna janggal dalam hati. Aku tak mau ditertawakan, apalagi dianggap tak waras. Aku benar-benar berada dalam keadaan yang tak lazim.

Sebenarnya ketaklaziman ini sudah cukup lama kurasakan. Ketika usia pernikahan kami baru seumur jagung. Tapi saat itu, ketaklaziman yang kurasakan lebih tampak sebagai adicita kehidupan yang telah menjadi nyata. Aku diserang euforia sebuah ektase berkeluarga yang mahalangka di zaman ini.

Sungguh, sebenarnya apa yang kami alami lebih berwujud utopia bagi sebagian besar pasangan suami-istri, bahkan bagi yang telah berkeluarga selama puluhan tahun sekalipun. Singkat kata, pada saat itu—juga saat ini, aku benar-benar merasa beruntung. Paling beruntung mungkin. Dan aku yakin, apa yang kurasakan juga dirasakan oleh istriku—walaupun tak pernah diungkapkannya. Ah, aku juga tak pernah mengungkapkannya.

....

Ketika semua telah berjalan lebih dari dua tahun, tepatnya ketika beberapa bulan yang lalu, Tio lahir ke dunia. Kami mendapatkan energi kebahagiaan yang baru. Menambah paripurna ketaklaziman itu.

Tio adalah penegas semua kebahagiaan baru yang akan kami lalui di perjalanan hidup berikutnya. Dan semuanya berjalan begitu mulus, tanpa celah. Sungguh, tampaknya, apabila suatu hari kami ribut besar, aku yakin tak akan pernah ada kata “perpisahan”, karena Tio ada di tengah-tengah kami. Kami pasti mampu melaluinya dengan baik-baik saja. Tapi, ah, itu hanya impian. Itu tak mungkin terjadi. Kami terlalu bahagia. Dan tampaknya kebahagiaan ini akan terus berlangsung.

Tapi karena itu pula, aku makin yakin bahwa apa yang kami, lebih tepatnya aku rasakan, adalah benar-benar sebuah ketaklaziman. Ketaklaziman yang benar-benar akut.

Bayangkanlah. Aku adalah suami dengan keluarga kecil yang SE-LA-LU bahagia. Istriku tak pernah marah. Ia tak pernah mengeluh kalau uang belanja kurang. Tak pernah ada piring terbang yang menyentang-perenang di dapur. Tak juga pernah ada repetan tak henti bila si buah hati merengek di tengah malam. Istriku tak pernah seperti itu. Tak pernah, tak pernah, dan tampaknya tak akan pernah. Sekali lagi, ini adalah mahaimpian—bagi banyak orang—yang menjadi ketaklaziman dalam dunia kecil kami, keluarga yang begitu indah dan tak seperti kebanyakan.

***

“MI, kok nggak pernah marahin Papi sih?”

Istriku hanya tersenyum.

“Lho kok malah senyum, Mi?”

“Ya iyalah. Pertanyaan kok seperti itu, Pi! Bagaimana kalau pertanyaan itu Mami kembalikan ke Papi?” Istriku masih mengulum senyum. Tangannya sigap mengganti popok Tio.

Aku termangu.

“Setiap apa yang kita perbuat itu ada sebabnya, Pi.”

“Memangnya Papi nggak pernah berbuat salah ya, Mi?” Tanganku membantu mengalihkan popok basah Tio ke pinggir kasur mungilnya.

“Hmm,” istriku kembali tersenyum simpul, “kita ini manusia, Pi. Artinya, kita bukanlah makhluk yang sempurna secara sifat dan kelakuan.”

“Jadi?” Aku makin mendesaknya.

Wanita rupawan itu baru saja selesai mengganti popok. Ia tampak tak terlalu memedulikan pertanyaan lanjutanku. Senandung lirih meluncur dari bibir merah delimanya. Tio tertawa kecil. Ah, sebentar lagi Tio akan terlelap juga. Aku percaya sekali pada kemampuan istriku dalam menjalankan tugasnya. Paling tidak dalam hal membuat Tio merasa nyaman dengan semua sentuhan dan canda-keibuannya.

Istriku masih bersenandung kecil, meninabobokkan permata hati kami. Dia tampaknya tak melihatku yang tiada berkedip menatap mata indahnya. Aku masih menunggu jawaban.

“Mi,” kupegang tangannya yang lembut.

Dia memandangku. Wajahnya memerah.

“Lanjutkan dong jawabannya tadi, Sayang.”

“Yang mana, Pi?” Dia sudah siap melepas senyum manisnya.

“Yang tadi, Mi?” Cubitan kecilku mampir di pipi kejalnya.

Istriku berlari kecil. Aku mengejarnya. O o, dia menuju kamar. Kami saling kelitik. Berlemparan bantal. Canda lepas, tawa renyah, dan celotehan manja berebutan meluncur dari bibir kami, tepatnya dari hati-hati kami, hingga akhirnya kami kelelahan sendiri. Terkapar di spring bed empuk ini.

Tiba-tiba kami sudah saling berhadapan saja. Ia menatapku dalam. Di matanya ada begitu banyak metafora yang menyeruak. Semuanya indah-indah, sangat indah. Seindah dirinya sendiri. Ada mawar kemesraan, melati kasih, anggrek cinta, anyelir setia, dan heharuman lain yang menyeruduk dada.

Ah hampir saja kukecup bibir merah delimanya kalau saja Tio tidak tiba-tiba menyenandungkan tangisan manjanya. Tampaknya kami harus menunda semuanya. Kubiarkan saja istriku menyalibkan telunjuknya di bibirku yang hanya beberapa senti di hadapan wajahnya. Ia menggantinya dengan kecupan hangat di keningku seraya membisikkan, “Anak kita cemburu, Pi.”

Aku tersenyum kecil.

Maka, istriku tak pernah lagi melanjutkan jawabannya. Mungkin karena aku pun mulai terlupa dengan pertanyaanku sebelumnya.

***

SUNGGUH, sejatinya aku tak pandai menyimpan perasaan ’mahabahagia’ ini sendirian. Maka, entah bagaimana, akhirnya kutumpahkan semua di buku harianku. Kebiasaan baru setelah berkeluarga, demikian aku menyebutnya. Sebenarnya, tak ada hal—yang kupikir—pribadi dan layak kuanggap privacy, terhadap istriku, terhadap catatan-catatan kegelisahan itu. Catatan yang senantiasa kuukir dengan penuh gaya dan estetika; seakan-akan menunjukkan perasaan terdalam dan kesungguhanku dalam meresapi setiap kata di dalamnya.

Setiap pengujung hari, ketika telah selesai kuukir setiap kisah-harianku, pernah terbersit keinginan untuk sama-sama membacanya dengan istriku. Tapi entah mengapa, tak pernah mampu kumembangunkan bidadari surga yang tertitis ke dunia tersebut. Bidadari yang akhirnya mencari luahan hati, dan kebetulan manusia naif sepertiku tak akan mungkin menolak mahakarya Tuhan yang begitu indah itu.

Ah, engkau begitu sempurna, istriku. Semoga aku segera menemukan titik-titik kelemahanmu, agar aku benar-benar percaya bahwa engkau bukan peri jadi-jadian yang hanya menumpahkan warna merahmuda di kehidupan lelaki yang begitu mencintaimu ini.

Salahkah aku, Tuhan? Salahkah aku dengan semua keabsurdan ini?

***

AKHIR-akhir ini, kami makin sibuk dengan aktivitas masing-masing. Walaupun aku (boleh dikatakan) hampir tak pernah sempat bercanda kecil lagi dengan Tio karena saban hari selalu pulang kerja larut malam, dan harus pergi lagi bakda Subuh, namun buah hati kami tersebut sudah bisa berceloteh kecil—kata istriku. Kudengar juga darinya, bahwa paling tidak, kata-kata “Papi” dan “Mami” telah mampu diproduksi oleh pita suaranya yang masih muda.

Ah, esok aku ingin meluangkan waktu bercanda dengan Tio. Mungkin itu bisa membuatku lupa pada ketaklaziman yang mendarahdaging dalam kehidupan kami.

Aku juga ingin melupakan gerutuan teman-teman kantorku tentang rumahtangga mereka. Tentang istri yang pemarahlah, istri tak pandai masaklah, istri tak bisa dandanlah.... Belum lagi masalah anak nakal, anak yang sering melawan orangtua... dan masih banyak lagi. Singkat kata, mereka benar-benar dituntut ekstra keras dalam mengemudikan bahtera agar tak karam. Tak jarang mereka mengungkapkan betapa irinya mereka padaku. Di pandangan mereka, keluarga kami adalah keluarga yang rukun, damai, dan harmoni. Dan itu benar. Tapi, takkah mereka tahu bahwa aku juga mendambakan berlelah-lelah dengan keringat usaha yang keras, demi merasakan tantangan kerumahtanggaan yang sebenarnya? O sungguh, mengapa rumahtanggaku tak tampak seperti bahtera? Kalaupun kami memiliki bahtera, kami melepasnya di tengah kolam yang tak terlalu dalam. Tentu saja tanpa paus, hiu putih, singa laut, gurita raksasa, apalagi badai dan ombak ganas, yang siap menggoyahkan atau mengaramkan bahtera tersebut.

Kami benar-benar melaju tanpa hambatan. Mengitari perairan yang kami buat sendiri. Tanpa riak, sekecil apapun itu. Mungkin kalau pun bahtera kami karam karena terlalu sumringah dengan kebahagiaan yang tak lazim ini, kami hanya akan menyikapinya dengan tertawa. Tapi ah, hal seremeh-temeh itu pun tak pernah kami rasakan, karena sejatinya kami memang tak berbahtera. Maksudku, tak seperti yang orang lain awaki.

Ah, mungkinkah, semuanya disebabkan aku yang memilih istri sempurna seperti dia?

***

SIANG itu, aku pulang cepat karena ada reparasi beberapa bagian bangunan kantor, termasuk ruang kerjaku. Dan istriku masih melayaniku seperti biasa—maksudku untuk ukuran wanita sesempurna dia. Ketika kutanyakan perihal Tio, ia hanya tersenyum sambil menyendokkan nasi yang masih menguapkan awan-awan hangat.

“Makan dulu, Pi.” Senyum-manisnya masih menyimpul di sana.

Aku lahap sekali makan hari ini. Tak biasanya istriku masak gurami goreng asam-manis, tempe bacem, sayur lodeh, dan lalap kubis muda dengan sambal asem, secara bersamaan. Uiih, benar-benar lezat. Istriku sampai berulangkali menyedokkan nasi untukku. Ketika kutanyakan apakah ada yang spesial hari ini, istriku diam saja. Tetap tersenyum. Aku yakin pasti ada kejutan untukku.

Selesai makan, istriku mengajak ke kamar, tempat di mana Tio terlelap. Kami duduk di antara buah hati kami.

“Pi,” Istriku menatapku dalam, seolah melarangku mencium kening Tio. “Tangguhkan sejenak. Mami mau bicara.”

Wajahku menjauh dari Tio. Tampaknya ini hal serius.

Tiba-tiba istriku melepas lenguh. Cukup panjang. Bagai mengempas beban berat yang menjejali setiap lekuk tubuhnya.

“Ada apa, Mi?” tanyaku heran.

“Pi.”

“Ya.” Aku mengernyitkan dahi.

“Pi,” istriku mendekat. Ia menggenggam tanganku erat.

Aku kikuk.

“Papi begitu sempurna,” bisikan dari bibir merahnya nyaris mencium telingaku. “Setidaknya menurutku,” lanjutnya.

“K.... k... kau juga, Mi....” Aku kikuk. Wajahku memerah.

Tiba-tiba istriku menjauh.

“Apalagi semenjak Tio hadir di rumah ini. Kita benar-benar bahagia, Mi. Tak alang kepalang…”

“Buah hati kita juga yang telah membuat kesempurnaan ini makin sempurna,” potong istriku seolah melanjutkan kalimatku. Ia menatapku dalam.

“Hidup kita seakan-akan tak beriak, Mi.” Giliran aku yang menatapnya dalam.

“Ada riaknya kok, Pi.”

Aku mengernyit tajam.

“Perasaan papilah yang membuat bahtera kita beriak. Dan sebenarnya, tidak hanya Papi yang merasakan riak itu. Maksudku, ketaklaziman ini juga kurasakan. Nah, ketaklaziman inilah yang meriakkan semuanya. Dan itu lebih berbahaya dan penuh tantangan dibandingkan dengan gerutuan rekan-rekan kerja Papi, dibandingkan curhat-curhat teman-teman pengajian Mami, tentang rumah tangga mereka.” Dengan senyum khasnya yang membentuk lesung mungil di kedua pipinya, istriku selalu memberikan penjelasan yang membuatku tak kuasa untuk bertanya lebih jauh. Tapi sungguh, kata-katanya hari ini telah membuatku sadar bahwa ketaklaziman ini adalah hal luar biasa yang dapat meruntuhkan semuanya. Dan yang terpenting adalah, aku baru saja menyaksikan dan mendengarkan suatu pernyataan yang begitu menohok: Ketaklaziman ini bukan hanya milikku! Ia juga milik istriku!

“Pi,” istriku memalingkan wajah ke arah Tio, “Mami telah mendaftarkan gugatan cerai atas dasar kesempurnaan dalam berumahtangga.”

Aku terngaga.

“Papi juga telah mendaftarkan hal serupa satu tahun-an yang lalu, kan? Atas dasar yang sama, kan?” istriku seolah menyampaikan sebuah berita gembira.

“Tapi saat itu, Tio…” aku tak mampu melanjutkan kata-kata ketika istriku mengeluarkan buku harianku dari balik bantal. Tampaknya ia baru saja selesai membacanya. Aku merasa tersudut.

“Ya, saat itu Tio belum hadir di tengah-tengah kita. Bahkan Papi juga belum tahu kalau Mami tengah mengandung.”

Wajahku pasi.

“Papi jangan cemas dan merasa bersalah seperti ini. Lagi pula tak ada aib, cerita miring, atau hal buruk lainnya yang dapat menurunkan derajat Papi di mataku. Apalagi meruntuhkan bagunan kebahagiaan sempurna keluarga kita.” Istriku meletakkan buku harian itu di tanganku, seakan-akan memintaku menyimpannya di tempat yang tak mungkin diketahuinya lagi. “Benar, Pi. Kesempurnaan ini tak lazim. Kita kerap berbohong pada diri sendiri, pada perasaan kita.”

Aku balik memandang Tio.

“Tio tak bersalah. Namun ia akan membuat semuanya berubah, Mi.”

Kami sama-sama memandang anak kami semata wayang tersebut.

“Peluklah ia, Pi,” istriku memandangku datar. ”Peluklah ia untuk terakhir kalinya.”

Aku mendongak. Menatap matanya tajam. Terakhir kalinya?

“Takkah Papi sadar, sejak Papi disibukkan pekerjaan di kantor, Papi tak pernah bercumbu dengan anak kita?”

Aku menggamit bibir hingga membentuk garis. Aku merasa bersalah.

“Papi juga tak tahu kalau kita tak pernah lagi mendengarnya merepotkan kita dengan tangisan manjanya, bukan?”

Aku mencium pipi Tio yang mendingin. O Tuhan, mengapa aku baru menyadari tubuhnya yang sudah membiru.

“Urusan cerai kita bicarakan nanti, Mi,” Aku gegas bangkit. “Papi ngeluarin mobil dari garasi dulu. Kita bawa Tio ke dokter atau rumah sakit!” aku panik.

“Tio telah meninggal, Pi.”

Aku terhenyak.

“Kalau berharap ini mimpi. Sebenarnya kita sudah lama hidup dalam mimpi orang kebanyakan, dan kita telah meraihnya. Tidakkah itu sudah cukup, Pi?”

Aku tak bisa menjawab. Lebih tepatnya, aku tak mampu memahami kata-kata istriku. Aku pun tak sadar ketika telah berada dalam pelukan hangatnya. Kami sama-sama menangis. Kami telah memutuskan untuk meninggalkan semua kesempurnaan yang bersedekap dengan ketaklazimannya ini.

Kami segera menuju kamar mandi, memandikan Tio, sebelum menyolatkan dan menanamnya dengan cara yang lazim. Ah, mungkin ini satu-satunya kelaziman yang benar-benar coba kami lakonkan, sebelum kelaziman-kelaziman lain yang akan kami temui dalam kehidupan kami yang baru nanti, kehidupan kami masing-masing. Kami akan berpisah. ***

/Lubuklinggau, September 2009