Glucklich

Minggu, 17 Januari 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas

Dimuat di Suara Pembaruan, 17 Januari 2010







Kini, tahun-tahun gugur melahirkan tahun-tahun baru. "Ibarat tunas pohon ek yang mengitari pabrik- pabrik keju Algau, An."

Begitu kau mengumpamakan Desember yang diusir Januari empat tahun lalu. Oh Meir, aku begitu tolol, ya? Mencintai engkau, wanita yang tak mencintaiku. Tapi, mengapa kau seolah nyaman ketika bersamaku, Meir? Tidakkah itu artinya kau pun merasai apa yang kurasakan. Ya, lagi pula, bukankah kau sendiri dulu pernah bilang begini: kata orang bijak, bila kau merindukan seseorang, sejatinya orang itu pun merasakan hal yang sama. Ah, aku tak percaya itu, Meir. Maksudku, bila pun kau merinduiku, aku yakin itu hanya seperduapuluh dari rinduku yang menyala-nyala!

Bumi Itu bulat, An.

Lagi, aku terngiang kata-katamu itu. Kau sangat memercayainya walaupun sudah kutanyakan apa maksudmu dengan postulat itu. Bumi itu bulat, titik! Apalah istimewanya, Meir!

Aku ingat sekali, kau hanya tersenyum kala itu. Lalu, kau pegang jemariku. Lebih tepatnya, meremas tanganku. Kau bisikan kata-kata dalam bahasa yang tak kumengerti. Bahasa Jerman, kira-kira begitu pikirku. Kau juga tersenyum (lagi-lagi meremas tanganku), ketika kutanyakan, dengan gaya berseloroh, bagaimana perasaanmu bila suatu saat aku meminangmu, menikahimu.

"Glucklich!"

Selain guten morgen yang berarti selamat pagi, dan madchen yang berarti gadis, aku tak tahu apa-apa tentang bahasa Jerman.

*

KAU katakan bahwa Hannover bukanlah kota kecil. Sangatlah mahfum bila kau menjadikan keberangkatanmu ke sana, sebagai jenjang karier yang takkan kau sia-siakan. Kau terus saja bercerita perihal perusahaan keju Wolfsburg yang akan menjadi tempatmu berdikari. Kau tegaskan, kau satu-satunya orang Indonesia yang dipekerjakan di sana. Bahkan, mungkin pula, satu-satunya wanita Asia Tenggara yang berhasil memakai seragam biru dengan bros menyerupai pohon cemara kecil di dada kananmu.

"Orang-orang di sana sudah tahu tentang keberangkatanmu, Meir?" Hebat! Aku pun tak tahu bagaimana pertanyaan itu dapat menyusup di antara riuh-rendah ceritamu tentang tempat kerja-barumu itu.

"Ya. Klinso, dia yang akan menjemputku?"

"Klins...?"

"Klinso!"

"Oh, Klinso. Kau sudah sangat dekat dengannya, ya?"

Kau tertawa renyah. "Facebook, An. Facebook!" Kau menaik-nurunkan alis bagai menunjukkan betapa bangga kau mendapat teman lelaki dari luar negeri.

"Oooo...!" Ah, bibirku yang monyong tiba-tiba terlalu basi untuk menutupi ketaknyamanananku atas pembincangan ini. "Dia pasti teman yang baik, ya Meir?"

Kau sumringah. " Dia single, An. 27 tahun. Aslinya dari Texas.

"Mmm...," kau mengangguk-angguk seolah memikirkan sesuatu. "Sebentar," telunjukmu memilin ujung rambutmu. "Mengapa kau tampak antusias tadi, An?"

"Kapan?" tanyaku pura-pura tak sadar. Sungguh, itu refleks saja. Aku matigaya bila ceritamu sudah mengindikasikan betapa kau akan semakin jauh dariku. "Yang mana, Meir?" Kembali aku berpura-pura.

"Sudahlah, An. Forget it!"

Oh, untunglah.

"O ya, aku akan take off besok jam delapan. Katanya sih transit di Singapura dulu. Dan, itu berita gembira, An!"

"Ya, kebetulan sekali, ada temannya Klinso di Orchad Road yang akan ke Jerman pula. Jadi barengan deh!"

"Laki-laki?"

"Madchen, An!"

"Syukurlah, Meir."

"Maksudmu?"

"Maksudku, syukurlah kau punya teman di pesawat nantinya."

Ooooh, sudah sebegitu dekatnyakah kau dengan Klinso, Meir...?

*

KAU bodoh, An! Mengapa kau ucapkan selamat tinggal padanya bila kau masih mau mencoba?!

Tidak, aku tidak mengucapkan selamat tinggal.

Tapi kau lepas ia ke Jerman?

Tidak. Aku bahkan tak ke bandara pagi itu.

Sekarang dia di Hannover, kan?

Ia bekerja di sana.

Bersama Klinso?

Ya, temannya.

Termasuk teman tidur.

An, An..... Jangan pernah menyerah bila kau merasa masih sanggup.

Jangan sesekali mengatakan kau tak mencintainya jika kau tidak dapat melupakannya!

BUGGGG!

Kutiupi tanganku yang terasa panas berdenyar-denyar. Aku baru saja meninju tembok. Oh, keparat! Aku berhalusinasi lagi. Oh, tiba-tiba kepalaku berat.

Kau harus percaya bumi ini bulat, An.

Untuk apa.

Untuk harapanmu yang tak pernah mati pada Meir.

Maksudmu?
Percaya sajalah.

*

KAU mengirim e-mail. Kau ceritakan bahwa Hannover adalah kota yang sangat indah. Kau sering ke taman kota hanya untuk melihat gerombolan burung dara menyongsong para pengunjung yang merelakan telapak tangan mereka (yang dipenuhi dry-corn) dipatut mereka. Kau selalu membawa kamera-digitalmu ketika bepergian. Termasuk memfoto unggas-unggas jinak itu. Tak jarang kau minta difoto oleh Klinso-ah Klinso lagi, Klinso lagi, bila kau berada di antara kerumunan burung. Kau tampak sangat bahagia.

Segera kubuka Facebook. Kusearch Mira Sugita.

Not Found!

Oh, apakah kau telah meremoveku dari pertemanan FB-mu? Atau kau telah menutup account FB-mu? Atau kau kini aktif ber-twitter-ria? Atau....

Ups! Kulihat profile. Sebuah tagging foto terbaru. Ada wajahmu di sana. Kubaca tulisan pengirim di atas foto: Meir Sugern. O, kau sudah mengubah namamu menjadi sangat Jerman.

Seperti yang kauceritakan di e-mail, beberapa foto taggingan-mu bagai berseru: aku benar-benar bersama burung-burung itu! Kau berpose bersama seorang wanita. Kalian tampak sangat akrab. Ah, dia pasti temannya Klinso yang berangkat dari Singapura tempo hari. Kubaca keterangan foto: Luneburger Heide.

Oh, tempat apalagi ini?

Kubaca lebih lanjut. Ya ya ya, kau tengah bertamasya di sebuah sabana. Atau, mungkinkah ini padang rumput terluas di Eropa Barat, sebagaimana kauceritakan dulu.

"Dekat padang rumput luas itu, ada taman yang sangat indah, An. Namanya Lune Park. Taman itu sangat terkenal. Aku benar-benar ingin pergi ke sana."

DAMN! Bagaimana aku dapat mengingat percakapan kami menjelang keberangkatannya dulu. Ohhh....

Mengapa aku tak pernah menangkap gejala bahwa bule Jerman itu telah begitu lama mengincarmu, Meir! Oh, sialnya aku.

Segera ku-search 'Klinso". Seperti apa wajah lelaki itu!

Not found!

*

Telah kutamatkan riwayat facebook-ku. Aku memang tak mengerti bagaimana menutup account, tapi, aku telah menghapus semua data pribadi dan foto-foto, dan mengganti password dengan sejumlah angka-acak yang kutulis di kertas untuk memverifikasinya. Kemudian kubakar kertas itu. Tamat!

Tidak itu saja, setelah kubaca pesan singkatmu perihal kau sedang menikmati schooregg, keju khas Jerman yang berongga-rongga itu, klek! kumatikan ponsel. Kubuang kartu GSM-ku.

(Go to hell everything sounds and smells Meir!!!)

O o, tiba-tiba aku ingat sesuatu. Glucklich! Oh, mengapa baru kini terpikirkan olehku kata asing itu. Mungkin, itu hanyalah sepotong kata tak penting yang berarti: bercanda, gila, sinting, tak masuk akal....

Aku ingat sekali, setelah aku menanyakan pertanyaan paling gila sepanjang hayatku itu (dan kau melempar kata itu), aku menghilang darimu. Menghilang lama. Hampir satu tahun, dan kita bertemu di pergantian tahun yang kaukiaskan dengan sangat Jerman.

*

Hari-hariku bergelut dengan perulangan saja. Kesibukan yang selalu itu. Memayet kebaya pesanan beberapa teman, mengecek beberapa salon di Depok, ke twenty-one bila film-film yang dibintangi Jennifer Aniston diputar, atau sesekali membeli boneka barbie latest edition.

Aku tak tahu, telah berapa lama hidup tanpa Meir, tanpa Meir yang berbau Jerman. Terakhir, ketika sedang memilih gaun yang akan kukenakan di pesta pernikahan seorang rekan kerja di bilangan Kemang, aku menguping perbincangan dua wanita yang baru pulang dari Polandia (tentu saja mereka tak tahu kalau aku begitu memuja Meir), mereka bertemu Meir di Warsawa. Meir sudah menikah. Aku tak bertanya lebih lanjut. Termasuk apakah Meir telah punya momongan, atau jangan-jangan ia sedang hamil. (ah, lagipula, siapalah aku bagi perempuan-perempuan Warsawa itu?). Namun, adalah perih yang tak tepermanai ketika tiba-tiba mereka menyebutkan kata itu. Bahagia, demikian kutangkap arti 'glucklich'!

Oh, tentu aku tak perlu mencari-carinya nomor ponselmu hanya untuk meyakinkan bahwa Klinso pastilah seorang wanita. Oh Meir, bagai ada separuh jiwaku yang kembali. Walaupun aku tak mendapatkanmu, paling tidak, aku tahu kau pun mencintaiku.

MEIR, aku kini tahu mengapa kau katakan pertautan kita bak bumi yang bulat. Karena dunia menyerupai bola, kan? Maka ketika kita berseberangan, sejatinya kita semakin dekat. Karena aku akan tergelincir. Pun engkau. Melingkar. Lalu, lalu, lalu.... Oh, aku tahu lalu apa. Lalu kita tak bisa saling membohongi bahwa akhirnya cinta itu pun koyak-moyak tabirnya. Yang jelas, aku penting bagimu, bukan? Aku tahu, kau pasti tengah mencari-cariku. Entah, engkau akan gila karenaku atau tidak. Entah, engkau akan mati karenaku atau tidak! Kau percaya bumi itu bulat, kan? Oh, aku juga percaya. Sangat percaya.

Sangat-sangat percaya. *

Lubuklinggau, 09 Januari 2009