Tarian Tya
Minggu, 20 Desember 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Naqiyyah Syam
Dimuat di Lampung Post, Minggu, 01/112009
SEJAK pulang sekolah, Tya tak seperti biasanya. Wajahnya muram, senyum cerianya tak tampak sama sekali. Sayur asem, ayam goreng, dan kerupuk udang kesukaannya tak disentuh. Suara komputer pun tak terdengar dari kamarnya. Padahal Tya paling senang mengetik puisi-puisinya ataupun bermain games edukatif di komputernya. Tapi siang ini? Rumah terasa sangat sepi tanpa tawa ceria Tya. Ibu sampai bingung. Anak bungsu kesayangannya menjadi mendadak 'bisu'. Aih..ada apa ya?
"Tya, buka dong pintunya," pinta Ibu lembut saat mengedor pintu kamar Tya. Sepi. Tak ada sahutan.
"Tya, anak Ibu yang cantik, ayo dong buka! Cerita sama Ibu ada apa sih, kok diam saja? Dosa lo ditanya Ibu diam saja," bujuk Ibu lagi. Kali ini ia berhasil! Pintu terkuak. Terlihat Tya dengan mata sembap.
"Ada apa, Tya? Kenapa menangis? Maaf ya, tadi Ibu tidak sempat jemput jadi pesan dengan Tante Rima, biar bareng dengan Freni, kalian kan satu kelas. Apa Tya marah sama Ibu?"
Tya menggeleng lemah.
"Lalu kenapa, Sayang?" Ibu mengusap kepala Tya dengan sayang. Bukan langsung menjawab, Tya malah nangis tersedu-sedu. Ibu semakin bingung.
"Cerita dong, Sayang, kalau diam saja, Ibu jadi bingung!," desak Ibu. Akhirnya dengan terbata-bata Tya menceritakan permasalahannya.
"Tadi di sekolah Bu Rita guru Seni Budaya dan Keterampilan memberi pengumuman, kalau dua minggu lagi akan ada pengambilan nilai praktek menari. Semua anak kelas V dibebaskan mencari kelompok sendiri paling sedikit 2 orang dan paling banyak 3 orang. Teman-teman, Ima, Freni, semua mencari teman untuk belajar tari. Tapi Tya tidak dapat kelompok! Mereka tidak mau bergabung, kata mereka Tya tak mung..mungkin bi..bisa menari dengan bagus, hu..hu..," Tya kembali menangis.
Ibu memeluk Tya dengan erat. Ibu membiarkan Tya menumpahkan isi hatinya. Tak lama, baru ibu bicara.
"Sayang, itu bukan masalah besar, Tya kan bisa berlatih sendiri, nanti Ibu bantu deh menghapal gerakannya. Emm..Ibu ada ide! Bagaimana kalau Tya sendirian saja menarinya, tapi Tya harus berlatih dengan keras agar gerakannya bagus, sehingga teman-teman tidak lagi merendahkan kemampuan Tya, bagaimana?"
"Tapi, apa mungkin, Bu?" kata Tya ragu.
"Bukankah cita-cita itu harus diperjuangkan? Kita coba dulu, nanti kita cari CD tarian daerah, kita berlatih dengan sungguh-sungguh, bagaimana?" tanya Ibu.
"Lalu syarat paling sedikit 2 orang bagaimana, Bu?.
"Tenang, nanti Ibu menemui Bu Rita dan menceritakan alasannya. Oke? Ayo kita siap berlatih!
Tya. Chytia Dewi lengkapnya. Sejak lahir memiliki kelainan pada tenggorokannya, sehingga pernah menggunakan sonde selama dua tahun. Sonde adalah selang makanan yang dimasukkan lewat hidung hingga saluran pencernaan. Namun, atas kesabaran dan perawatan yang penuh kasih sayang dari Ibu, Tya sudah tidak menggunakan sonde sejak usia 3 tahun. Tapi pertumbuhan tubuhnya cukup terganggu.
Ia pernah diterapi untuk belajar duduk maupun berjalan. Suaranya pun agak sengau dan matanya minus tiga. Tapi Tya anak yang ceria, tidak minder dan ramah. Namun cepat sensitif bila ada yang menyinggung dan mengatai dia. Tya memang tidak sama dengan anak sebayanya kalau dilihat dari beberapa kekurangan yang dimilikinya, sehingga Ibu selalu menguatkannya, bahwa cita-cita hak semua orang, dan tak boleh menyesali keadaan yang telah Tuhan anugrahkan kepada kita, termasuk fisik yang tak sempurna.
Keesokan harinya, Ibu dan Tya meminta izin pada Bu Rita. Setelah mendapat izin, mereka langsung berburu CD tarian daerah. Setelah berkeliling toko, maka mereka sepakat memilih tari Rantak dari Minang Kabau Sumatera Barat.
Setiap hari selama 10 hari, Tya berlatih dengan giat. Ia tak mengeluh dengan gerakan tari Rantak yang kadang-kadang menghentak, melompat dan kadang memutar. "Wow, sungguh mengasikkan!," seru Tya senang.
"Lo Ibu bisa menari juga ya? Kok tak pernah cerita?" ujar Tya takjub dengan gerakan yang ditiru Ibu dari CD.
"Ibu dulu juga suka menari dan ikut dalam sanggar tari, tapi setelah kenal asyiknya menulis. Ibu berganti cita-citanya, bukan lagi jadi penari, tapi menjadi penulis he..he..," ujar Ibu sambil tertawa.
Tya pun ikut tertawa. Ibu bahagia melihat Tya sudah kembali ceria.
Tibalah pada hari yang ditentukan. Semua anak kelas V SD Pelita Harapan berkumpul di suatu ruangan, lengkap dengan pakaian tarian daerah masing-masing. Tya dengan percaya diri menggunakan pakaian Minang. Satu per satu setiap kempok menampilan tarian pilihannya.
Ima dan kempoknya menampilkan Tari Badana dari Lampung, Freni menampilkan tari Saputangan dari Maluku dan bermacam tarian daerah lainnya. Ada yang gerakannya kompak, ada juga yang salah gerakan. Sorak dan tepuk tangan mengiringi penilaian praktek menari itu.
Tibalah giliran Tya. Ia menari dengan sepenuh hati. Dari jauh Ibu memandang dengan haru. Gerakan Tya sungguh memukau.
Dengan keterbatasan fisiknya, Tya mampu menari dengan baik. Jarinya lentik menghentak sesuai dengan irama gendang. Kadang melompat dengan cepat, kemudian berganti gerakan lainnya. Teman-temannya melihat tak percaya.
"Wah..Tya juga jago menari ya," puji Ima.
"Tak disangka, ternyata Tya bisa menghapal gerakan tari Rantak yang banyak itu!" ujar Freni kagum.
"Maaf ya Tia kami pernah menolakmu bergabung di kelompok kami," ucap Ima menyesal.
Tya tersenyum. Dengan tulus memaafkan teman-temannya. Benar kata Ibu jika ingin berusaha, maka semua akan menjadi kenyataan! Seperti menari, siapa yang mengira Tya bisa menari dengan baik. Semua bisa dilakukan, asal giat berlatih. Ah, bahagianya! Di depan kelas, Bu Rita tersenyum bangga melihat keberhasilan Tya.