Tuhan Maja
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Republika 08/11/2009
1.
Mak merepet lagi. Dukun kampung itu kembali diseretnya untuk beralibi. Kami memanggilnya ”Wak”. Bersibelakang dengan Mak yang menggelarinya ”Kiai”.
”Padang kelam, Bujang. Berhormatlah pada nasehat Mak-mu ni!”
Kami masih diam. Mencari kata-kata yang paling makbul untuk meruntuhkan koar-bingarnya. Oh, Bukankah Mak yang bersikeras menentang Bak menerima tamu-tamu dari kota—yang hendak melunasi kesumat dengan musuh-musuh mereka? Bukankah Mak sering mual bila mencium bau kemenyan yang dulu dibakar Bak saban Kamis malam? Tidakkah Mak sendirilah yang menjadi saksi bagaimana mulut Bak berbusa, tubuhnya membiru, mata membelalak, sebelum kejang-kejang mengantarnya ditanam di Lubuk Senalang? Bak mati setelah balik dari akikahan anak Mang Lut di kampung sebelah.
”Bakmu termakan racun-terbang yang dikirim oleh dukun baru di belakang masjid kampung!” Itu yang dikabarkan orang-orang waktu itu.
Wallahi, ini bukan perihal mengimani ilmu hitam. Ini juga bukan perkara tak merelakan kematian Bak. Tapi... bila mau memutar pikiran, Mak dapat mengendus luka lama itu: Siapakah laki-laki yang bertongkat batang kopi di belakang rumah sembahyang itu? Wak Maja ’kan?! Lalu, kini Mak mengimaminya. Menggelarinya ”Kiai”. Bukankah Mak bagai menjilat ludah anjing yang tumpah di sarung Bak?
2.
Adalah satu tahun silam. Ketika Kak Tanjung masih berjibaku menyelesaikan kuliahnya di Kota Bingkuang, satu persatu guru ngaji kami pergi.
Wak Guntur, guru tajwid yang paling disegani itu sudah dijemput Izrail setelah lebaran. Aku ingat sekali, ketika baru menjadi muridnya. Waktu itu aku kelas lima SD. Baru saja dinyatakan lulus baca Qur’an oleh Ustazah Jum. Aku kedapatan mencuri napas di tengah-tengah ayat. Wak Guntur membelalak sempurna sebelum menyuruh kawan-kawan mengaji menyiapkan sebaskom besar air dari tempat wuduk. Aku disuruh Wak Guntur mengambil napas perut dalam-dalam, sebelum ia memerintahkan Ustazah Jum memenyok kepalaku ke baskom. Lima menit, sayup-sayup kudengar Wak Guntur menjatah waktu. Tapi tak sampai separuhnya aku bertahan.
Neknang Ujang lain lagi. Tubuh imam masjid yang juga mantan veteran itu kini mati sebelah. Kata orang-orang, kena struk. Kami sudah menganggapnya neknang kami sendiri (di kampung kami, ”neknang” adalah panggilan untuk kakek). Ia guru yang paling kami senangi. Bakda Magrib di masjid, ia sering memanggil kami untuk berkumpul mengelilinginya. Mengaji. Neknang tak pernah marah. Tak elok orang yang suka marah, katanya suatu waktu. Namun, ketika kami mengeluh perihal Wak Guntur, Neknang seolah membelanya.
”Sekali-kali, belajarlah membedakan mana duku, mana langsat.”
Kami bersitatap tak mengerti sebelum ia melanjutkan, ”Wak Guntur kalian bukan marah, tapi mendidik dengan tertib. Kalian masih ingat ’kan cerita Khalid bin Walid yang memenggal kepala musuh di perang yang dipimpinnya? Nah, apakah lelaki yang berjuluk Pedang Allah itu nak kalian sebut pemarah?”
Kami diam. Kami juga takjub. Walaupun, untuk sepantaran kami, bahasa Neknang terlalu berbelit-belit, terlalu tinggi. Kami petik saja buah ceritanya: Wak Guntur tidak salah. Tapi dalam kepala masing-masing, kami masih bersikeras, bahwa guru tajwid itu pemarah.
”Tapi Neknang, kami bukan musuh-musuh Allah, kan?” Yam, yang paling kecil di antara kami, menyela.
Neknang menarik napas dalam sebelum melepasnya dengan lenguh agak panjang. Kami senyam-senyum sendiri melihat gadis kecil yang kebingungan itu. Neknang tersenyum kecil. Mengelus kepala Yam yang berkerudung putih-pias. Kepalanya ditelengkan ke jam dinding di belakang mihrab. Kami paham maksudnya. Kami bergegas bangkit. Ke belakang. Bermain-main air, sebelum mengambil wuduk dengan tergesa-gesa karena bedug sudah dipukul. Ah, bergemerincah nian waktu itu....
Yang lain?
Mang Leman, guru fiqih itu, sudah mengajar di Pesantren Air Itam. Lalu Ustazah Nur diboyong suaminya ke Muarabungo. Terakhir, Mang Sar, guru kami melagu Qur’an itu, ditangkap segerombolan orang berpakaian preman yang mengaku polisi. Kata Bi Sur, istrinya, mereka menuduh lelaki itu terlibat jaringan teroris....
3.
Wak Maja bertobat. Awalnya, penduduk mencibir saja. Paling hangat-hangat tahi ayam!Tapi mereka terkelabui jua. Bukan hanya saban waktu solat tiba, sebagian besar waktu laki-laki 50 tahun-an itu pun dihabiskan di masjid—yang tak jauh dari rumahnya—itu. Ketika, antara ragu dan tidak, penduduk memercayainya menjadi khotib solat Jumat, ia lunas menunainya. Ayat Qur’an dan hadis Nabi dikutip, dibaca, dan diterjemahkan, dengan sangat fasih. Dan tersiarlah kabar, dukun kampung itu beroleh karomah. Maka, tersingkaplah teka-teki lama; siapa yang akan menjadi imam masjid setelah kepergian para guru? Dukun itu pun berganti julukan: Kiai!
4.
Tak perlulah harus kuredam buncah, bila tak mendapati ibu-ibu jamaah pengajianku, tak solat Asar. Mereka hanya berkerumun, gibah—bergunjing—di beranda masjid.
”Kata Kiai, solat tu cukup ingat, Ustazah....”
”Kata Kiai, berkerudung tu menurut-nurut orang Arab....”
Oh, bagaimana mungkin.... Aku, guru pengajian mereka saban Jumat, dimentahkan oleh alibi-alibi kiai dadakan itu. O bukan, aku tak tersinggung, tapi ini perkara syar’i! Sejak itu, seperti telah kubaca, tak ada lagi pengajian di masjid. Majelis itu digelar di kediaman Wak Maja. Dan, sakit itu makin menyesak, ketika Mak menjadi bagian darinya. Awalnya, Mak hanya ingin menyelami kabar tak sedap seputar dukun kampung itu, tapi, alamak jan, Mak pun takluk.
Aku benar-benar bagai mandau tumpul. Malu sebagai tamatan Madrasah Aliyah—walaupun sudah empat tahun lalu. Malu sebagai bekas ustazah mereka. Malu pada Tuhan; bagai tak berfaedah diri mengonggok-hidup di kampung sendiri!
Maka, tak sanggup kusiram gelegak itu sendirian. Saban hari aku berkabar pada Kak Tanjung. Bahkan, dua hari lalu, setengah memaksa kupinta ia pulang.
”Mungkin kau terlalu muda bagi ibu-ibu itu, Len,” katanya di telpon beberapa waktu lalu. Ia juga meminta maaf, tak bisa pulang karena akan melaksanakan ujian sarjana. ”Hanya tinggal menunggu jadwal saja, Len,” imbuhnya di ujung percakapan.
Ah, tak guna aku menepuk duduk-perkara. Maka, kutarik busur panah itu: Kakak harus balik! Bila tak, Lena susul!!!
Pulanglah laki-laki yang dihadiahi panggilan ”Bujang”—pemuda yang perkasa—oleh Mak itu. Lunaslah rindu kami. Bakda Jumat ini, kami hadiri majelis Wak Maja. Mak senang tak kepalang. Pun dukun itu, jemawa nian ia menyambut.
5.
Tabik! Tak perlu berlelah-lelah diurai benang kusut itu. Kak Tanjung pandai mengendus perkara. Di rumah, dari air mukanya, kegelisahan berkeriapan. Ya, Kak Tanjung sangat menyayangi sekaligus menghormati Mak. Ia tahu, betapa perempuan itu lintang pukang membiayai kuliahnya hingga semester dua. Mujur, pada semester tiga, ia sudah mengajar privat beberapa anak pejabat, dan membantu beberapa proyek dosen di kampus, hingga tak perlu membebani Mak lagi. Sejak itu pula, Mak berhenti nakuk—menyadap karet. Kami hanya menerima hasil jual getah karet yang dibagi dua dengan penyadap. Ketika itu, aku sudah mengajar Agama sebagai honorer di beberapa SD. Alhamdulillah, selain uang pensiunan almarhum Bak, Kak Tanjung juga kerap membantu. Insya Allah, halalan toyyibah, demikian pesan singkatnya bakda mengirim uang.
Pernah, Kak Tanjung dan Mak terlibat percakapan yang menegang urat-leher. Tampak sekali, tuturan Kak Tanjung lebih makbul diterima daripada ceracauan Mak. Tapi, di luar dugaan, Mak menang. Tepatnya, Kak Tanjung yang mengalah.
”Selagi bukan perkara akidah, tak nak Kakak berkeras durja, Len,” katanya.
Dan kini, Kak Tanjung paham sekali bagaimana Mak telah menyatu dengan petuah-petuah Wak Maja.
”Bujang, Bujang.... baru tiga hari singgah, nak balik ke Padang lagi kau, hah?!”
”Bukan kehendak Kak Tanjung, Mak... tapi...”
”Sudahlah, Len!” potong Mak. ”Tak perlu kau memengaruhinya!” Ia berkacak pinggang ke arahku. Kak Tanjung meneguk liur. Tak menyangka Mak akan semurka itu. ”Kau tunda saja ujianmu, Bujang! Salah dia juga, mengabar mendadak!”
”Wah, Mak.” Kak Tanjung sedikit terkejut. ”Harus menunggu tahun depan...”
”Tak apa!” Mak mengibaskan tangannya. ”Yang penting kau selamat!”
Aku dan Kak Tanjung bersipandang. Melipat-tiga dahi sebelum saling angguk. Tak mungkin ceruk di hilir menjadi sungai dengan sendirinya. Ya, hulunya adalah Wak Maja.
Dan... Mak pun bagai membaca pikiran kami.
Berkoarlah ia perihal tewasnya Pak Sande sekeluarga di hotel terkenal di Jakarta, karena serangan bom. ”Sudah berkali-kali Kiai Maja berpetuah, Jakarta merah! Tapi dasar orang-orang kaya, lupa kalau nyawa bukan perkara duit! Yang ngebom itu pasti komplotan laki si Sur!” Kami terperanjat. Mak sudah berani menuduh sejauh itu.
Mak jua membawa-bawa rencana perkawinan Mala.
”Tahu kau, Bujang! Haji Majid pun dapat memilah mana yang layak untuk diimami. Hajatannya si Mala, yang semula akan digelar di kediaman menantunya di Pariaman, dipindahkan ke Palembang. Di sana lebih makbul. Calon suaminya itu, kemarin sudah di Linggau. Pagi ini, mereka nak bertolak dengan kereta api. Selayaknya, kau pula turut melepas, bukannya mengemas barang untuk sampai di Padang petang ni.”
Dan, teranglah semua. Betapa Kak Tanjung bersipongah menentang perkara yang sudah berkelok itu. Setelah mencium keningku, sigap ia mengambil tangan kanan Mak, hendak menciuminya. Mak gegas menarik tangan. Kak Tanjung tak hela, ia berlalu jua.
”Kualat kau, Bujang! Kualat kau!” Mak menunjuk-nunjuk seraya berlari ke muka pintu, melepas sesak yang tak tepermanai. ”Anak durhaka kau, Bujaaaang!” para tetangga hampir saja mengerumuni kami bila tak kukatakan, ini hanya urusan keluarga. Kupapah Mak ke dalam. Mataku berkaca-kaca.
6.
Kami melepas keberangkatan rombongan Haji Majid di stasiun kereta. Dalam perjalanan pulang, kapalan Mak membandingkan tabiat anak bujangnya dengan Haji Majid.
”Kaupikirlah, Len! HA-JI. Ya, HA-JI saja mendengar Kiai Maja....! Ai, kualat nian Bujang tu, Len!”
Aku diam. Menyimpan perasaan-perasaan ganjil yang bersigesek. Ah, Mak, kau bahkan tak kuasa memilah: mana nasehatmu, mana petuah dukun itu.
7.
Gempa kecil yang menggoyang Lubuklinggau petang itu, tak urung membuat orang-orang gelagapan. Tak lama, didapat kabar; kampung kami hanya terimbas getaran. Gempa hebat itu terjadi di Padang. Mak lunglai. Pun aku. Kurogoh saku rok. Oh, ponselku raib. Mungkinkah tececer atau dicopet ketika di stasiun tadi? Oh... .
Mak duduk berselonjor di lepau pekarangan. Kucoba menenangkan.
”Semoga...”
”Semoga apa?!” tukas Mak. ”Sudah berjamur mulut Mak, bukannya disokong, tapi malah kau bakar Bujang agar ke Padang....!!!”
Aku tertunduk.
”Kini... oh, Kakak kau tu, Len. Petang ini, bus kakakmu sudah terseruduk di jalan, terpelanting ke jurang curam....!!” suara Mak mulai parau. Matanya basah.
Kupeluk Mak. Kami sama-sama menangis.
....
”Biiiii, Biiiii..!”
Kami tergeragap. Yuk Bet menyongsong. Keponakan Haji Majid itu menyesak Mak, memeluknya dengan raung sejadi-jadinya.
”Kereta api terbalik di Prabumulih, Bi! Banyak yang matiiii.... Mang Majid, Mala, Kak Irul, Bi Ila....” Tangis Yuk Bet makin keras.
Kami tercekat. Innalillahi....
8.
Seorang pemuda menggerutu di antara pepohonan tumbang di tepi jalan. Beberapa kali nama “Lena” ditelponnya, tapi tak ada yang mengangkat.
“Bus sudah diperbaiki. Kita balik ke Linggau. Tak mungkin meneruskan perjalanan. Di depan, banyak jalan rusak dan bukit longsor.” Seorang kernet memberi kode untuk segera naik.
Di perjalanan, para penumpang tak henti-hentinya mengucap syukur atas mogoknya bus mereka di Sitiung, daerah bagian selatan Sumatera Barat, selama beberapa jam. ***
(bakda gempa itu), Lubuklinggau, 07 Oktober 2009
Catatan Penulis : Cerpen ini disunting untuk "Sayap Bidadari; Memorabilia 7,9 Skala Richter" (Pustaka Fahima, segera terbit)