Kemughau
Selasa, 08 September 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Padang Today, Selasa, 08 September 2009
NEKNO merepet lagi. Pagi tadi, untuk yang kesekian kalinya, Bi Awi melapor pada wanita 70 tahun-an itu. Bukan perkara Nekno mudah dihasut. Namun, sudah menabiat rupanya tingkah gila Neknang. Sudah hampir 80-an, masih juga gila perempuan!
Bi Awi adalah perempuan yang kesekian yang jadi ’korban’ Neknang. Nekno pun tahu bahwa Niar, menantunya yang tinggal serumah, sering menerima aduan yang tidak semuanya berhasil ia endus. Niar tak mau banyak omong. Ia sudah paham benar betapa kemughau si ibu mertua.
“Jangan kalian anggap Mak kemughau! Tak ada untungnya cemburu-cemburuan di ujung hayat ni!”.
Neknang seolah tak mendengar. Baru saja ia menyeruput dua sendok sirup-batuknya.
“Bak kalian tu yang kanji, genit tak tepat waktu!”
***
NIAR baru saja memberhentikan Siti, pembantunya yang belum setengah tahun bekerja. Pasalnya, Neknang—entah disengaja atau tidak—meminta Nekno mengajari gadis 16 tahun-an itu tata-cara mandi wajib.
“Penting tak itu, Yar?!!”
Waktu itu Nekno memuntahkan semuanya. Dia bercerita, sudah lama dipendapnya bara yang menyala-nyala itu, tapi Neknang nyinyir memintanya mengajari si Siti mandi wajib.
“Hendak kawin Bak-mu dengan budak1 tu, hah?!”
Maka, sejak itu, Nekno sering minggat. Pergi ke rumah anak angkatnya di Taba Jemekeh. Berulangkali pula Neknang menyuruh Ja’i, cucu sulungnya, menjemput sang istri. Lalu minggat lagi, dijemput lagi.... semua baru reda ketika Siti diberhentikan. Siti cengegesan saja. Tentulah ia tak habis pikir bagaimana pasangan berbau tanah itu kerap berkamelut karena dirinya. Ya, manalah mungkin ia menambat hati dengan Neknang. Awalnya, ia pun tak yakin kalau Neknang seperti yang dituduhkan Nekno, tapi... setelah mendengar keluhan majikannya tentang perangai laki-laki itu, Siti agak percaya juga.
“Tak apa-apa, Bu, tapi... bagaimana dengan kebaya...?”
Sejak bulan kedua bekerja di tempat Niar, Siti sudah mengkredit kebaya pada Bi Sul, tukang kredit baju keliling. Musababnya, Siti diundang pesta kawinan tetangga. Karena merasa dapat menyisihkan 50 ribu saban bulan untuk nyicil, maka berkebaya barulah Siti ke pesta malam itu. Tentulah Siti bingung bagaimana harus melanjutkan cicilannya bila ia sudah tak bekerja di tempat majikannya lagi.
“Siti nak balik ke kebun lagi, Bu. Bantu orangtua motong, menyadap karet. Tak sampai 50 ribu Siti diupah....”
Niar mengangguk kecil. Siti paham maksudnya. Maka, sigaplah ia membereskan pakaiannya yang hanya beberapa. Tak lupa, Niar melipatkan beberapa kain panjang, baju pestanya yang tak dipakai lagi, dan dua set kutang dan sempak yang baru dibelinya dari swalayan malam tadi.
Setelah menerima beberapa lipatan 50-ribuan, Siti salim. Pulang. Tak lama, Nekno turun dari sepeda motor Ja’i. Lagi, pulang dari minggat. Nekno tak bertanya perihal Siti yang sudah beberapa hari tak ada di rumah. Hanya Neknang yang hati-hati bertanya pada Yan, suami Niar. Sejak itu, suasana rumah kembali terkendali.
***
“MAK ni memang mertua tiri-mu, Yar. Tapi, sayangnya Mak pada Yan, kau, dan kedua anakmu; Ja’i dan Yakup, tentulah tak usah ditanya lagi. Sudah belasan tahun Mak ikut dengan kau. Mak memang tak punya anak, makanya kalianlah yang Mak anggap anak. Sebenar anak, Yar. Entahlah, tahun-tahun belakangan ini, perangai Bak-mu bejat nian. Sudahlah ngidap sakit paru-paru, badan kurus kering, masih sempat-sempatnya mikir ke situ. Lah tue dak nue....!!!2 “
Neknang yang duduk di kursi garuda kayu yang bertebuk di sana-sini, diam saja. Ia sudah capai berdalih. Niar, Yan, dan cucu-cucunya, pasti menyalahkannya. Ia pasrah. Pun ketika Niar menyarankan agar mereka berdua tinggal di bedeng milik Yan yang beberapa hari lagi akan ditinggalkan penghuninya.
Tentu sudah Niar uraikan alasan ia mengambil langkah itu. Keluarga Niar memiliki dua rumah yang saling berdempetan. Rumah lama untuk usaha kursus bahasa Inggris si Ja’i. Rumah yang baru, ditempatinya untuk usaha manisan. Pinjaman dari bank untuk modal kedua usaha itu baru cair bulan lalu. Tak kuat Niar membereskan dua rumah sendirian. belum lagi mengamankan barang-barang penting yang kerap diletakkan serampangan oleh suami dan kedua putranya. Inilah tak eloknya punya anak bujang. Tak ada yang dapat dikoar untuk beberes.
Dan... Niar bermaksud mencari pengganti Siti. Tentulah itu perempuan. Sementara dari gelagat Nekno belakangan ini, sudah hilang kepercayaannya pada Neknang. Siapapun orang baru itu, selama ia perempuan, pastilah penyakit kanji—suka perempuan, suaminya akan kumat. Tentulah memindahkan Nekno dan Neknang ke bedeng yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah, bukan untuk mengucilkan mereka, namun... agar pembantu baru nanti dapat leluasa bekerja. Nekno pun tak perlu khawatir Neknang akan ’kumat’.
Namun, Nekno tak hendak pindah. “Bila akhirnya harus pisah rumah juga, lebih baik dulu tak usah kau jemput kami dari Ulaklebar tu.” Demikian Nekno bersikeras.
Dulu, Neknang menjadi penjaga SD di Ulaklebar, dan menempati sebuah rumah mungil di belakang sekolah. Neknang membuka kebun di belakang rumah, sementara Nekno membuka warung kecil-kecilan. Nekno berjualan nasi gemuk, bakwan, pecal, dan kue talam. Tak lama, usaha percetakan Yan maju pesat. Tak inginlah laki-laki itu dicap Malin Kundang. Maka, Yan mengajak istrinya berembuk; agar orangtuanya tinggal bersama mereka. (Ya, Yan tak perlu mengusulkan pada istrinya agar, demi keadilan, diboyonglah juga kedua mertuanya yang toke parah—pengumpul hasil sadapan karet dalam jumlah besar—itu ke kediaman mereka.)
Niar setuju.
Maka, demi mendengar eloknya alasan tersebut, Nekno pun terpaksa menutup warung yang sedang laris-larisnya itu. Neknang juga merelakan kebun yang digarapnya selama ini kepada penjaga SD yang baru.
“Biarlah Mak sendiri yang membereskan rumah belakang dan depan. Tak masalah itu, Yar. Mak kuat. Lagipula, Mak tak harus repot mencuci pakaian. Biar Mak yang ngantar cucian ke rumah Bi Non saban petang dan menjemputnya keesokan hari.”
Pahamlah seisi keluarga itu, betapa kemughau-nya si Nekno. Bahkan pada Bi Non yang sudah mencuci pakaian, sekaligus menjemput-antar cucian, sejak lima tahun yang lalu pun....
***
BENAR. Nekno dapat melakukan pekerjaan yang selama ini dijabani Siti dengan baik. Oh, ternyata benar adanya bahwa suasana hati dapat membuat tenaga bertambah beberapa kali-lipat . Sampai di sore itu...
PRAAAAK!
Nekno melempar dan menumpas beberapa piring-gelas di hadapan Neknang.
“Rupanya ini musabab kau selalu pergi berurut di simpang gang tu, hah? Nak kausunting si Nur tu?!!!”
Neknang tak menerima tuduhan itu. Batuk kering beberapa kali menyelingi penjelasannya. Nekno tak peduli. Dihamburkannya lipatan-lipatan baju suaminya dari lemari. Ia merepet tak henti. Nekno benar-benar kalap. Lagi, dengan lenguhan bosan, Niar dan keluarga menenangkan Nekno. Neknang terduduk, bersandar di kursi rotan tua dekat lemarinya yang acakadut.
Malamnya, Nekno minggat.
***
NIAR, suami, dan kedua anaknya baru saja menjemput Nekno dari pos polisi. Pagi buta tadi, Nekno kedapatan menghajar seorang gadis idiot dekat Rumah Sakit Kota. Nekno berdalih bahwa gadis itu benar-benar Siti. Namun, ketika gadis itu dihadirkan, Nekno menuduh kalau polisi membohonginya. Ini gadis yang lain, katanya. Pun bila gadis itu adalah Siti, apakah Nekno berhak menghajarnya?
Akhirnya, dengan setengah terpaksa, Nekno mengakui kesalahannya. Ia tampaknya malu, sebagaimana merah-masainya wajah anak-menantunya ketika menerima wejangan petugas agar mereka memerhatikan orangtua.
Sepanjang perjalanan pulang, Nekno tak berhenti merepet. Ia sibuk memuntahkan kekesalannya perihal gadis jalanan—yang katanya (atau perasaanya saja?)—mengaku-ngaku sebagai Siti.
“Berbohong pula dia! Katanya Neknang kalian meninggal dunia.” Berapi-api dia bercerita pada kedua cucunya.
Nekno pun menganggap cerita Yakup perihal Neknang yang gelagapan menjelang subuh karena mendapati dirinya tak ada lagi di kamar belakang, hanya karangan cucunya itu saja.
“Alaaah tak percaya aku!” ujarnya tak peduli.
Yakup diam saja. Pun yang lain. Tak ada yang berniat menanggapi, apalagi mendebat ceracauannya.
***
SEORANG laki-laki renta membuka pintu. Ia batuk beberapa kali.
“Kumat paru-paru kau, Kak?” Belum setengah daun pintu dikuak, Nekno sudah serta merta bertanya. “Ja’i, ambil sirup Neknang dekat rak buku!” perintahnya tanpa menoleh. Ia memegangi bahu suaminya lamat-lamat.
Ja’i masih termangu mendapati pemandangan yang tak biasa itu. Neknang batuk lagi.
“Siruuuup, Ja’i...!!!” Setengah berteriak Nekno mengulangi perintahnya.
Cucu sulungnya itu gelagapan, gegas ke belakang.
Nekno menempelkan tangannya di kening dan pipi suaminya. Yang lain bersitatap, mengulum senyum, dan berdo’a dalam hati. Entah apa isi do’a itu.
*Lubuklinggau, 09 Juli 2009