Tanah Galian

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Suara Pembaruan 25/01/2004



Tanah galian proyek kompleks perumahan itu sudah hampir mepet di belakang bilik rumah tetangga sebelahku. Tingginya sekitar enam atau tujuh meter! Curam dan berbahaya bagi kami dan anak-anak kami yang masih kecil-kecil. Tetapi aku dan istriku tetap bertahan di rumah gubuk kami, bersama sekitar sepuluh rumah tetangga lainnya. Berharap uang ganti rugi lebih besar dari harga yang ditawarkan pihak pengembang.

Aku dan istriku merasa waswas, bila saja rumah tetangga sebelah kami itu menjualnya, maka galian tanah akan terus berlanjut ke tanah rumah kami. Bukan tidak mungkin, kami pun harus menyingkir demi keselamatan kami dan anak-anak kami yang masih kecil-kecil.

Pembangunan proyek perumahan di daerah kami berkembang cukup pesat. Tadinya kupikir, aku dan para tetangga yang menempati rumah gubuk di bukit dekat persawahan tidak terkena proyek pembangunan kompleks perumahan itu. Mengingat letak tanah dan rumah kami yang berbukit-bukit nan terjal itu, serta sawah darat yang masih beberapa kali aktif memanen padi musiman.

Namun ternyata, setelah sawah-sawah itu ditimbun, buldozer terus menggali bukit-bukit untuk menguruk tanah di sekitar sawah itu. Para penduduk diberi ganti rugi agar mereka menyingkir. Setelah itu kompleks perumahan dibangun satu per satu, dan dalam waktu singkat sudah ratusan jumlahnya. Selain menjual rumah, pihak pengembang menjual tanah kapling yang sudah diratakan, dan siap dibangun hunian.

"Kita pindah saja, Pak. Seperti Pak Markum," bujuk istriku, suatu malam.

"Tunggu dulu, Bu. Siapa tahu mereka memberi ganti rugi yang layak. Masak tanah kita dihargai tujuh puluih ribu per meternya. Bapak dengar, mereka menjualnya lima ratus ribu per meternya!"

"Mereka kan lain, Pak. Mereka menata tanah-tanah mereka begitu indahnya. Lha, tanah dan gubuk kita ini, semrawut seperti ini?"

"Wah, Ibu ini bagaimana? Justru kita harus menjualnya lebih besar. Sebab mereka bisa mengeruk tanah ini untuk menguruk sawah-sawah itu!"

"Terserah Bapak saja! Aku Cuma khawatir sama anak-anak kita. Tanah galian itu sudah mepet di bilik pagar rumah Mang Sarwan! Aku khawatir anak-anak main ke belakang. Apalagi kalau hujan turun, sedikit demi sedikit tanah di sekitar rumah itu katanya longsor ke bawah!"

"Sabar, Bu! Kan bukan hanya kita yang bertahan. Masih ada Bang Udin, Bang Kasdul, Bang Romlih, dan Bang Samsul, dan lainnya!"

Selama ini kami memang tak pernah mendapat tekanan atau paksaan dari pihak pengembang. Mereka tak pernah memaksa atau mengancam kami. Kami jual tanah kami, mereka beli. Tidak dijual, tidak apa-apa. Hanya saja, setelah membeli tanah tetangga kami, mereka langsung menggali tanah tersebut, untuk menguruk sawah-sawah yang sudah lebih dulu mereka beli. Sehingga rumah gubuk kami yang berada di ketinggian, semakin lama semakin tinggi saja. Sebab penduduk di sekitar kami tinggal telah menjual tanah mereka. Dan kami yang tersisa dikelilingi kompleks perumahan!

"Biar saja, Bu! Kita ladeni apa maunya mereka!"

"Tapi, Pak, apa Bapak tidak khawatir bila anak-anak kita tergelincir?"

"Makanya, kita harus hati-hati, Bu. Kita harus menjaga mereka. Lagi pula, kita mesti pindah ke mana? Apakah tanah dan rumah yang kita jual nanti cukup untuk membeli rumah baru?"

Istriku diam mendengar pertanyaanku tadi.

Mungkin dia memaklumi keputusanku untuk tetap bertahan di rumah ini. Sebab dia tahu kemampuanku. Aku hanyalah seorang buruk pabrik rendahan yang penghasilannya pas-pasan. Penghasilanku per bulan cuma cukup buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu pun harus mengutang sana-sini bila anakku yang kelas dua SD minta dibelikan buku. Belum lagi satu yang di SMP, yang kerap kali minta tambahan uang sekolah!

Namun begitu aku bersyukur memiliki rumah ini, rumah peninggalan orangtua istriku. Aku bersyukur tidak repot-repot memikirkan rumah setelah menikah. Karena istriku tinggal berdua saja dengan ibunya yang renta. Setelah ibunya meninggal, kami menempati rumah itu karena istriku anak satu-satunya.

Di rumah ini, meski hanya sebesar gubuk, kami hidup bahagia. Sebelum ada pembangunan kompleks perumahan, istriku menanam berbagai macam jenis sayuran di sawah darat yang tidak kami ketahui siapa pemiliknya. Penduduk bilang sih sawah yang ditanami istriku itu milik orang kota. Di tanah itu istriku menanam kangkung, bayam, kacang panjang, atau pohon singkong. Lumayan hasilnya, bisa untuk mengurangi beban yang harus dipikul. Ada kalanya istriku menjual sayur-sayur itu ke pasar, seperti daun singkong atau kacang panjang misalnya, bila hasilnya melimpah.

Bukan Cuma kami yang memanfaatkan sawah-sawah itu. Beberapa penduduk sekitar juga melakukan hal yang sama. Di samping penduduk yang memang masih memiliki tanah di sawah itu. Sebab tanah di daerah kami memang cukup subur bila ditanami sayuran, di samping padi. Hanya saja, para penduduk agak malas bercocok tanam. Terbukti, ketika pihak pengembang membeli sawah-sawah itu, mereka langsung menjualnya. Termasuk tanah orang kota yang ditanami sayuran oleh istriku.

Setelah tanah itu dibangun, keadaan langsung berubah. Tanah sawah yang diuruk dengan tanah yang dikeruk dari tanah-tanah di sekitarnya, yang datarannya lebih tinggi, itu berubah jadi rumah-rumah. Pembangunan terus dilakukan hingga nyaris menyentuh batas tanah gubuk kami. Satu dua penduduk lainnya menjual tanah mereka, lalu pindah entah ke mana. Pengembang terus menggali tanah-tanah yang mereka beli. Dan kami yang masih tersisa tak bisa berbuat apa-apa.

Hingga akhirnya, tanah galian itu benar-benar sudah mepet di pagar dapur rumah tetangga seelahku! Kini antara tanah galian dan rumahku hanya berselang satu rumah!

"Kita hrus pindah, Pak! Tanah di belakang rumah Mang Sarwan semakin longsor!" teriak istriku, sore itu ketika hujan baru saja turun.

"Tenang saja, Bu! Hari ini aku akan berunding dengen mereka."

"Terserah Bapak, yang penting kita harus pindah!"

Siang itu aku dan beberapa tetangga yang tersisa mendatangi kantor proyek pengembang untuk membicarakan nasib kami. Siapa tahu mereka mau membayar tanah kami lebih mahal.

Setibanya di sana, beberapa pegawai menerima kami dengan santun. Dan kami pun membicarakan pokok permasalahan itu. Namun sayangnya, tak ada kesepakatan sama sekali. Yang ada justru kekecewaan. Menurut pegawai proyek pengembang itu, saat ini proyek sedang macet. Untuk sementara pembangunan proyek dihentikan dulu. Tetapi bila kami mau menjual tanah kami dengan harga lima puluh ribu per meternya, mereka pun membeli!

"Wah, gawat pak! Kok, bisa jadi begini?" istriku kembali panik, setelah aku dan bapak-bapak para tetangga kembali dari kantor proyek.

"Mau bagaimana lagi, bu? Mungkin mereka juga terimbas krisis!"

"Bapak, sih! Bukannya dari dulu menyerah saja!"

"Lho!? Ibu kok, menyalahkan aku? Lagi pula bu, kalau kita jual dengan harga segitu, kita mau tinggal di mana?!"

"Daripada sekarang, kita harus bagaimana?!"

"Kita bersabar saja, bu...."

"Sabar bagaimana toh, pak! Tanah di belakang makin longsor saja!"

Waktu pun berlalu. Kami tetap bertahan di rumah kami. Sekitar sepuluh rumah tersisa di perbukitan, diapit oleh kompleks perumahan yang tersendat-sendat pembangunannya. Sebenarnya pemandangan perumahan itu jadi tampak buruk karena menyisakan rumah gubuk kami yang tidak sedap dipandang mata. Namun entah kenapa pihak pengembang tak mau menyingkirkan kami dengan harga yang layak.

Hampir setengah tahun, sejak mendatangi kantor proyek itu, tanah di belakang bilik pagar rumah tetangga dekat kami semakin longsor ke bawah. Beberapa hari lalu, Mang Sarwan bercerita, sebuah panci lusuh miliknya jatuh ke bawah, karena tanah di sudut dapurnya mulai terkikis. Hal itu benar-benar membuat aku dan istriku semakin ketakutan.

Dan pada akhirnya, sehari kemudian kudengar kabar bahwa Mang Sarwan rela menjual tanah dan rumahnya!

"Lho, Mang Sarwan mau pindah ke mana? Kalau Mang Sarwan menjual, bagaimana nasib saya dan anak istri saya?"

"Habis mau bagaimana lagi, Ma'un! Gue ngeri anak-anak gue celaka!"

"Emang tanah Mang Sarwan dihargain berapa?"

"Naik sedikit dari harga kemarin. Enam puluh ribu per meternya! Ya sudah, Mang Sarwan jual saja! Mang Sarwan mau pindah ke Gunung Sindur saja!"

"Sudah dapat tanah penggantinya?"

"Kebetulan Mang Sarwan punya saudara di sana. Jadi untuk sementara menumpang dulu!"

Setelah tanah Mang Sarwan dijual, rumah gubuknya yang memang sudah reot seperti rumahku, luluh lantak digaruk buldozer. Dan akhirnya aku dan anak istriku sudah bisa melihat rumah-rumah yang berada di bawahnya dengan gamblang.

"Bagaimana Bang Maun, Mang Sarwan sudah pindah. Kita tinggal sembilan rumah. Apa kita juga harus pindah?" tanya Bang Romlih, setelah rumah Mang Sarwan telah rata dengan tanah.

"Bagaimana, ya? Saya juga bingung. Kalau proyek menggali tanah bekas rumah Mang Sarwan, berarti tanah galian itu berbatasan dengan rumah saya! Saya juga ngeri!"

"Begini saja Bang. Saya denger proyek udah mulai bergerak lagi. Abang bisa lihat kan, pembangunan taman di depan gerbang kompleks? Menurut si Jamal yang jadi satpam di proyek, sekarang proyek sudah mulai bangkit lagi. Itu berarti, kita bakal dapet ganti rugi yang lebih baik!"

"Baguslah! Kalau begitu kita datangi lagi kantor proyek itu!"

Siang itu kami kembali mendatangi kantor proyek. Kami hendak menanyakan nasib tanah dan rumah gubuk kami.

"Kalau bapak-bapak bersedia menjual enam puluh ribu per meter, sekarang juga kami akan membayarnya," ucap seorang pegawai proyek, di tengah perundingan.

"Apa tidak bisa naik sedikit lagi, pak?" tanya Bang Samiun, sambil membenarkan letak tudung lakennya.

"Kami hanya mampu membayarnya enam puluh ribu. Dulu kami tawarkan tujuh puluh ribu, bapak-bapak tidak mau. Sekarang, keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Jadi, kami hanya bisa menawarkan dengan harga demikian. Seperti yang tadi saya katakan, kalau bapak-bapak bersedia, kami akan membayarnya secepatnya!"

Aku dan para tetanggaku hanya bisa menghela napas. Pertemuan itu pun tak menemukan kesepakatan. Akhirnya kami memilih tetap bertahan di tanah rumah kami. Biar saja proyek terus berjalan. Pembangunan terus berlangsung. Kami tetap bertahan di rumah gubuk kami, di atas rumah-rumah kompleks perumahan yang asri.

Sehari setelah pertemuan itu, tanah bekas rumah gubuk Mang Sarwan digali buldozer. Dan kini tanah galian itu sudah mepet persis di belakang tanah rumah gubukku! Istriku semakin histeris!

"Bagaimana ini, Pak! Tanah itu sudah mepet di belakang pagar rumah kita!"

"Sabar bu, Biar saja mereka gali. Yang penting kita bisa menjaga anak-anak agar tidak bermain ke belakang!"

"Tapi Pak, kalau hujan bagaimana. Tanah itu bisa longsor! Kita bisa ambruk, Pak!"

Istriku terus saja mengoceh. Aku tetap bergeming, tak tahu harus bagaimana. Sementara itu kudengar di luar hujan mulai turun rintik-rintik. Aku beranjak ke belakang rumah. Kulihat segumpal demi segumpal tanah berguguran ke bawah.

Pamulang, Banten, 2003