Lelaki yang Menunggu Gerimis

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Suara Merdeka 31/08/2003



Sampai hari beranjak senja, lelaki itu duduk di beranda depan rumahnya. Seharian penuh ini ia seperti tengah menunggu seseorang. Tetapi entah siapa. Ia lelaki penyendiri yang tak pernah terlihat tengah bersama seseorang. Ia seorang lelaki yang jarang ke luar rumah kecuali saat gerimis datang.

Sebentar-sebentar bola mata lelaki itu menghadap ke langit hitam. Hari ini memang mendung sejak pagi. Namun begitu, rintik-rintik hujan belum jua kelihatan. "Mendung tak berarti hujan," desis lelaki itu pada dirinya sendiri, mengingatkannya pada masa-masa ketika ia pakai putih abu-abu dulu. Kata-kata itu sering keluar dari mulut Elliza, ketika ia dan Elliza masih selalu bersama-sama.

"Kamu ini aneh," kata Elliza kala itu. "Mengapa kau mau keluar rumah hanya bila gerimis datang? Apa sih bedanya gerimis dan tidak?" masih kata Elliza.

"Kebanyakan orang yang kukenal, mereka tak jadi keluar rumah justru ketika gerimis datang!"

Lelaki itu tersenyum. Ia tak memberikan alasan mengapa ia mau keluar rumah hanya ketika gerimis datang. Meski begitu, toh Elliza bisa bertahan lama dengan lelaki yang ia katakan aneh itu. Elliza sudi menemani lelaki itu keluar rumah walau hanya ketika ada gerimis. Sungguh, dalam hidup lelaki itu hanya Elliza seorang yang mengerti akan dirinya. Dan hanya Elliza seorang yang barangkali perempuan yang pernah bersamanya menemani saat-saat ketika lelaki itu keluar rumah saat gerimis datang.

Setelah Elliza menghilang, tiada seorang pun kelihatan bersama lelaki itu. Perempuan mana sih yang mampu bertahan hidup pada seorang lelaki yang baru mau keluar rumah hanya ketika gerimis datang?

Hanya saja, beruntungnya lelaki itu, menetap di sebuah tempat yang selalu mendung dan sering gerimis. Dan hidup serba kecukupan meski tak bekerja karena peninggalan orangtuanya yang melimpah. Yang bila ingin sesuatu tinggal angkat telepon lalu apa-apa yang ia inginkan segera datang tanpa ia harus capek-capek keluar rumah. Ia hanya keluar rumah ketika gerimis datang!

Ya, lelaki itu hanya keluyuran pada saat gerimis datang. Lelaki itu begitu menikmati, entah suasana, entah kesejukan, entah pada bunyi tik-tik rintik hujan, atau entah pada tanah basah yang terinjak kakinya?

Kini, lelaki itu masih terus menunggu. Menunggu saat langit menangis. Wajahnya mendongak ke atas. Pandangannya penuh harap. Seperti menanti putri cantik turun dari kayangan! Saat kilat menyambar-nyambar di kolong langit. Saat awan hitam bergerak ke sana ke mari. Kedua bola matanya yang penuh harap itu masih saja mendongak ke atas, menanti-nanti saat hadirnya gerimis.

Lelaki itu menutup kedua matanya. Lelah seharian menanti datangnya gerimis. Tetapi pada aura wajahnya, tak nampak kesan putus asa. Ia memang lelaki tegar yang tak pernah putus asa. Untuk gerimis, tak kan pernah bosan ia menunggunya! Meski kadang kesal juga, menunggu kedatangan gerimis yang demikian lama.

Namun setelah gerimis itu datang, hilanglah segala kegundahannya. Karena ketika gerimis datang, ia akan meraih jaket kulitnya, lalu keluar rumah. Dengan perasaan riang gembira.

Tak banyak yang dilakukan lelaki itu saat keluar rumah di mana titik-titik gerimis menyertainya. Biasanya, ia berjalan ke sebuah warung rokok yang tak jauh dari rumahnya. Mampir, menyulut rokok, dan kembali berjalan riang seperti seorang pemuda menjemput kekasihnya. Sembari jemarinya menjepit sebatang rokok, kakinya melangkah menjejak tanah basah. Ia hisap rokok itu dalam-dalam lalu melepaskan asapnya. Hingga asap itu menghilang terbentur oleh rintik gerimis.

Lalu lelaki itu terus saja melangkah hingga berhenti pada sebuah taman perumahan. Di taman itu biasanya lelaki itu duduk sambil menghabiskan sebatang rokok. Setelah habis sebatang, ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan bungkus rokok untuk batang berikutnya.

Dulu kala, saat Elliza masih sering menemaninya, gadis itu selalu saja marah bila lelaki itu kembali menyulut sebatang rokok. Namun lelaki itu tak pernah peduli dan terus saja membakar rokoknya. Maka Elliza akan memberengut hingga lelaki itu membuang puntung rokok itu ke tanah yang tergenang air hujan hingga menimbulkan suara cess... bersamaan dengan asap hitam dari latu lalu gosong terendam.

Lelaki itu akan tersenyum sendirian mengingat hal itu. Juga ketika dengan kasih sayangnya yang berlebihan, saat ia duduk di bangku taman di mana pada saat itu hujan begitu derasnya, Elliza datang memayungi tubuhnya. Elliza mengerti, lelaki itu benci pada gerimis yang berlebihan.

Dan lelaki itu mengingat masa lalunya sambil duduk di kursi goyang, sambil menanti datangnya gerimis. Lagi, kedua bola matanya mendongak ke langit. Namun, hingga matahari sudah benar-benar nyaris tenggelam, tak jua datang gerimis yang dinanti. Yang ada hanyalah samar sisa pelangi di tepi langit yang semakin lama kian memudar. Sampai ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, gerimis yang dinanti tak kunjung datang. Maka lelaki itu pun kembali bersandar pada kursi goyangnya. Berharap siapa tahu nanti malam hujan.

Sejak Elliza pergi dengan alasan menuntut ilmu keluar negeri, praktis tak ada lagi yang menemani lelaki itu. Tak ada seseorang yang menemaninya duduk di bangku taman saat gerimis datang. Tiada yang melarang lelaki itu menyulut rokok berbatang-batang. Tiada yang memayungi ketika gerimis tercurah berlebihan. Pasti lelaki itu merasa kangen akan kehadiran Elliza. Atau setidaknya, menginginkan seseorang seperti Elliza?

Lelaki itu masih terduduk di kursi beranda depan rumahnya. Hari telah benar-benar gelap. Di atas awan ada bulan pucat. Lelaki itu melirik awan hitam yang mulai bergerak menutupi bulan. Lalu kilatan bola listrik memercik seperti lambang PLN. Berkilat zig-zag membelah langit. Diikuti gemuruh layaknya raungan musik milik Harry Roesli. Seketika ujung bibir lelaki itu merekah. Pikirnya, mungkin sebentar lagi apa yang ia tunggu-tunggu segera tiba. Barangkali inilah saat-saat yang mendebarkan, saat-saat di mana embun akan segera rontok dari kulit langit dengan gerakan lurus seperti desing peluru. Gerimis!

Ketika entah pada kilatan yang keberapa. Dan gemuruh guntur yang keberapa pula, akhirnya apa yang ditunggu-tunggu sejak pagi tadi, datang juga! Titik demi titik air membentur rumput halaman rumahnya. Lalu bertetes-tetes jatuh secara tak beraturan, seperti peluru yang dilepaskan beribu-ribu pasukan. Gerimis itu datang! Gerimis itu datang! Sesungging senyuman menyeruak pada wajah lelaki itu, diikuti gerakan lincah tangannya, meraih jaket kulit untuk kemudian menghambur ke luar rumah.

Tubuh lelaki itu meluncur membentur tetes-tetes gerimis yang hadir memborbardir. Ia berjalan meninggalkan rumah, untuk kemudian berhenti pada tukang rokok yang mangkal tak jauh dari rumahnya. Sebatang rokok ia hidupkan lalu berjalan menuju taman. Sudah bisa diduga bahwa lelaki itu akan duduk-duduk di bangku taman itu sambil menghabiskan berbatang-batang rokok di tengah gerimis hujan.

Malam semakin larut diikuti gerimis yang seolah tak mau surut. Lelaki itu begitu menikmatinya. Bak seorang pria dikunjungi perempuan terkasihnya yang sekian lama berpisah.

Begitu nikmatnya lelaki itu duduk sendirian di bangku taman dengan sebatang rokok di tengah guyuran rintik gerimis yang gemercik. Sebentar-sebentar kedua bolamatanya mengerjap-ngerjap. Dan ... oh, rupanya ia menangis! Air matanya tumpah membahasi pipi bersama guyuran tetes gerimis. Semakin lama semakin meledak isaknya. Bersamaan dengan semakin derasnya gerimis!

Mengapa lelaki itu menangis? Apakah itu tangis haru karena malam ini gerimis yang ia tunggu-tunggu sejak pagi tadi datang? Ya, ya, barangkali ia memang terharu. Kita bisa menyebut itu tangis haru manakala tawanya meledak di tengah isak tangisnya. Dan semakin keras tawanya semakin melimpah air matanya, semakin deras pula gerimisnya!

Namun tiba-tiba, manakala gerimis semakin deras, tak setetes pun jatuh menyentuh tubuhnya. Rupanya terhalang oleh payung yang dibawa oleh seseorang di belakangnya! Lelaki itu terkejut!

Setelah sekian lama tak mengalami lagi hal seperti ini, di mana seseorang memayunginya manakala tetes gerimis menderas saat ia duduk di kursi taman, kini terjadi lagi. Harum wangi parfumnya begitu jelasnya. Dan lelaki itu sudah bisa menebak seseorang yang berdiri memayungi tubuhnya. Elliza!

Pamulang Barat, Banten, Juni 2003