Surga di Telapak Tangan Ibu

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Koko Nata
Dimuat di Majalah Femina No.03/XXXV 18-24 Januari 2007

Surga ada di telapak tanganmu. Kaulah yang mengantar mereka ke surga

Pisau tinggi terangkat. Mata baja berkilat. Gagang kayu tergenggam erat. Sekali terayun, kulit tersayat, darah mengalir hebat.

“Kamu kenapa? Masakin air panas, dong!”

Pisau jatuh berdenting. Ujung runcing membentur lantai keramik. Tiba-tiba letih meraja.

Tanpa semangat Ani menjerang air permintaan suaminya.

Di depan kompor gas, Ani terduduk lemas.

Fajar belum merekah ketika suami meminta sambil berkata “aku ingin bocah perkasa.” Suami terlelap setelah tersenyum puas. Tanpa kata mesra. Tiada cinta atas nikmat surga. Perempuan awal tiga puluh itu tergugu sendiri. Belum empat puluh hari menimang Kiki, menambah ramai suasana selain celoteh Dina dan Wilda. Khawatir. Benih baru tumbuh lagi.

Ani tak punya waktu untuk ikut memejamkan mata. Sebelum tiga bocah terjaga, ia bergegas ke dapur, menyisingkan lengan baju. Menjerang Air. Menyeduh teh. Membuat susu. Memanggang roti. Mengoleskan selai. Memarut keju. Menata meja makan. Mengumpulkan baju kotor. Menumpuk pakaian yang harus disetrika. Mengumpulkan serakan mainan. Menyiapkan bekal, seragam TK, dan alat tulis Dina. Semua dikerjakan Ani dengan menahan sesak di dada. Tangis tanpa suara. Sedang suami asyik memeluk bantal.

Sang suami muncul di belakangnya. Lehernya berkalung handuk.

Ani menyodorkan ceret. Belum mendidih benar. Tapi cukuplah untuk membuat badan nyaman.

Tangisan Kiki terdengar bagai alarm. Tadinya Ani berharap Kiki bangun agak siang. Semalaman bocah itu rewel terus. Beberapa kali Ani bangun, menemani. Menggendong sambil mengusap basah di pipi. Sendiri.

Belum sempat menimang Kiki, Wilda ikut menjerit. Kesibukan baru mulai lagi. Mendekap Kiki. Mendiamkan Wilda. Menuntun Dina ke kamar mandi. Mengawasi Dina mandiri berpakaian rapi dan membereskan kamar. Menjawab pertanyaan-pertanyaan suami; di mana dasi biru? Ikat pinggang? Lihat dompet? Waduh, kertas kerja mana? Rewelnya serupa Kiki. Ani harus mengeluarkan tenaga ekstra kudanya.

Pukul tujuh, Ani berusaha mengumpulkan energi. Dina sudah dijemput mobil langganannya. Suami telah melambaikan tangan. Kiki menggapai dan mengais udara di kotak bayinya. Wilda belajar makan sendiri. Remah-remah roti bertebaran di lantai. Bocah yang baru lancar bicara itu menghancurkan roti dengan sempurna. Letih itu datang lagi. Hidangan di meja tak disentuh sama sekali.

Untunglah Karti menampakkan wajah. Beban Ani sedikit berkurang. Sampai tengah hari nanti tugas menyapu halaman, belanja, memasak, mencuci, menyetrika, berpindah ke tangan gadis dua puluhan itu. Ia bisa berkonsentrasi mengurus dua anaknya. Setidaknya sampai jam sepuluh. Sebelum Dina pulang dan membuat rumah menjadi serupa kapal pecah.

“Ti, beresin meja sambil lihatin anak-anak, ya. Saya mau rebahan. Agak pusing.”

Karti mengangguk. Ia tak punya banyak kata untuk dibagi dengan majikannya.

Ani masuk ke dalam kamar. Kamar tidurnya tak terlalu besar. Tapi cukup lega untuk menampung satu double bed, lemari dua pintu, dan meja rias kayu. Di dindingnya dua foto seukuran tabloid menggantung. Foto ia dan suami. Foto Dina dan Wilda.

Tubuh subur Ani sedikit memantul-mantul ketika merebahkan diri. Seprei katunnya kusut. Selimut tebal semrawut. Ani tak peduli. Ia meluruskan badan. Untuk beberapa saat, ia menatap foto diri dan suami

Pigura kayu bercat emas membingkai foto. Pose setengah badan. Suami merangkul erat dari belakang. Tangannya bersilangan di dada Ani, mencium rambut sebahu. Hangat. Nikmat. Seolah helai hitam itu menyimpan saripati lavender. Sedang Ani tersenyum simpul. Malu-malu. Menikah adalah anugerah, ucap batinnya kala berpose waktu itu.

Saat tahu bungsunya akan menikah, kerut bahagia ikut menghias wajah orangtua. Ani, si manja menemukan penjaga. Biar renta, mereka rela menempuh jalan darat Musi Banyuasin-Jakarta, melihat anak bersanding mesra. Kakak satu-satunya dari Amerikapun sempat datang. Di alam baka, orangtua suami pasti tersenyum juga.

Hari pertama berdua, Ani baru merasakan cinta sebenarnya. Berteduh di bawah naungan seorang laki-laki. Penat kerja seorang karyawati lumer ketika sampai di rumah. Suami punya berjuta puji. Tahu cara melambungkan hati istri. Bibit cinta bertunas. Ani berhenti dari pekerjaannya. Profesi ibu lebih mulia. Suami setuju. Ipar-ipar yang sesekali datang mendukung. Ekspresi bahagia Ani saat tahu hamil, secerah wajah di foto itu.

Kini, enam tahun berlalu. Rupa sudah berbeda. Dalam foto, wajah Ani dan Suami masih lonjong kwaci, belum bulat bakso. Lemak tertimbun mulai dari perut hingga paha. Menambah bobot berlipat ganda. Tak ada lagi jadwal lari pagi bersama seperti hari-hari pengantin baru. Terlebih Sabtu-Minggu, suaminya sering ke luar kota. Meeting, dinas kantor, atau apalah istilahnya.

Karena itukah suami lupa dengan kata-kata puitis? Bujuk rayu gombal? Perhatian dan ungkapan rasa cinta seperti dulu? Ani kurang paham. Diam.

Semalam mereka sempat bercakap singkat. Kalimat suamin begitu membekas di benak Ani. “Nda, bulan depan mungkin, Ayah nggak ngantor lagi. Kasus pipa gas bocor mulai berdampak buruk. Rakyat sekitar dan LSM berdemo. Pemda turun tangan. Aktivitas perusahaan menurun. Sekarang, Ayah dan beberapa teman kuliah berencana buka usaha.”

Buka usaha sendiri?

Ani teringat ucapan teman lama yang tak sengaja dijumpainya beberapa hari lalu.

“Buka usaha sendiri? Bagus kalau untung. Jika rugi? Mau makan apa anak kita? Bagaimana sekolahnya? Biaya hidup makin mahal. Harga-harga melambung tinggi. Pusing!” Sang teman belum lama membuka usaha rumah makan. Baru sebulan sudah gulung tenda.

“Untuk tahun-tahun pertama, jangan mimpi untung gede, deh”

Ani memijat-mijat kepalanya yang semakin terasa berat. Ia melirik sekaplet obat di meja kecil samping ranjang. Meraihnya. Menegaknya. Sebelum terpejam sempurna, suara itu sayup-sayup bergema:

Surga ada di telapak tanganmu. Suami mulai tak mampu. Hari suram tinggal menunggu.

Kesadaran Ani mengangkasa.

Di ruang tengah Karti berusaha menenangkan Wilda dengan bantuan televisi. Dipilihnya film kartun yang paling menarik hati Wilda. Diseretnya kotak bayi Kiki dekat televisi. Biar Kiki bisa ikut nonton, pikirnya. Dan ia sibuk bekerja lagi. Berkawan sapu dan kain pel.

***

“Da… Bunda!”

Lengan mungil menggoyangkan tubuh Ani. Menyadarkan. Ani membuka mata.

“Bunda, mau ikut Mbak. Beli sayul.”

Ani mengangguk lemah.

Wilda berlari. Menuju Karti di bordes pintu kamar. Menggendong Kiki.

Susah payah Ani bangkit. Menyambut Kiki.

“Jangan lupa telur ayam kampung, Ti!” pesan Ani. Mereka berjalan ke arah ruang tamu. Akhir-akhir ini ia mulai mengonsumsi kuning telur dan madu seperti kebiasaan ibunya dulu

“Wilda mau jajan.”

“Ya, terserah,” ujar Ani lemah.

Wilda berjalan dengan loncatan kecil di samping Karti. Melewati jalan komplek yang mulai sepi dari lindasan mobil.

Ani menatap pohon jambu air setinggi dua kali orang dewasa. Ujung-ujung rantingnya melahirkan putik-putik kecil. Sebentar lagi merekah jadi buah. Di belakang pohon jambu, bonsai tumbuh menjadi pagar setinggi badan Dina. Ani dan suami tetap patuh pada peraturan developer; rumah tanpa pagar. Seratus lima puluh lebih rumah, eksterior bergaya Amerika. Halaman terbuka. Tapi paranoid orang kota melahirkan pagar besi tinggi. Tetangga jadi enggan datang. Satpam kurang tahu, ada atau tiada orang di rumah.

Blok rumah Ani terdiri dari lima rumah. Ia berada di nomor dua. Di depannya sudah beda blok lagi. Setahun bermukim di sana, belum cukup baginya untuk mengenal nama, akrab dengan tetangga kanan, kiri, depan, belakang. Apalagi sampai radius puluhan meter ke depan. Pagi-pagi, setiap rumah mengeluarkan penghuninya. Ibu dan Ayah ke kantor. Anak-anak sekolah. Tinggal balita dan batita bersama baby sitter serta pembantu yang menguras tenaga untuk ratusan ribu rupiah. Menjelang malam barulah semua di rumah. Sedangkan bagi Ani, malam adalah waktu menanggalkan lelah dari raga.

Ada juga ibu-ibu perumahan itu yang tinggal di rumah. Mereka ibu-ibu trendi dan ibu-ibu pengajian. Untuk bergabung dengan ibu-ibu trendi, Ani rendah diri. Ia tak tahu banyak merek perhiasan, parfum, pakaian, atau butik-butik ternama. Ikut ibu-ibu pengajian, usia jauh terentang. Hampir dua kali lipat usianya. Jadilah Ani membunuh sepi dalam pengasuhan yang tak berkesudahan. Tanpa kawan sepadan.

Kau perlu teman bicara. Di surga banyak teman. Tak pernah sepi.

Kiki menggeliat. Menangis. Ani mencium aroma tak enak. Popok sekali pakai terasa hangat. Ani mengerti. Ia harus membawa Kiki ke kamar mandi. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini ia malas sekali mengganti popok, membersihkan kotoran Kiki. Ia mual dengan bau pesing dan amis kotoran. Ingin muntah. Kalau saja Kiki tak meraung keras, ia akan membiarkan Kiki tetap begitu sampai Karti kembali.

Ani membawa Kiki ke belakang. Raut kelelahan menghias wajahnya lagi.

***
Ani meletakkan Kiki di kotak bayi. Sudah bersih kembali meskipun tak tercium aroma wangi. Ani duduk di samping kotak bayi, acuh tak acuh memainkan bebek plastik yang mengeluarkan bunyi. Ani menyalakan televisi.

Channel 1. Berita Kriminal.

“Karena butuh biaya sekolah, siswi SMP rela menjual kehormatannya, pada seorang Penjabat… bla… bla…”

Ani menyimak dengan telinga lebar-lebar terbuka. Televisi 21 inci itu menayangkan gambar seorang gadis belia. Wajahnya disamarkan. Isak tangisnya mendayu. Nenek si gadis ikut memberikan tanggapan. Pipi rentanya juga basah. Penyiar berwajah lonjong telur, berambut sebahu, mengenakan blazer abu-abu merangkum peristiwa. Teks nama acara melayang-layang. Iklan.

Ani menekan remote

Channel 2. Gosip Selebritas

“Rumor perceraian penyanyi X dengan suaminya bukan isapan jempol belaka. Kemarin X menggugat cerai suaminya dengan alasan sang suami tak mampu memberi nafkah lagi. Suami terlalu menggantungkan kebutuhan ekonomi pada X. Akibatnya bla… bla…bla…”

Ani menghela napas. Ucapan suaminya tadi malam terngiang lagi, “… Ayah punya rencana bersama beberapa teman untuk buka usaha.” Ani tercenung lama.

Di surga semua tersedia. Tak pusing pikirkan kubutuhan jiwa raga.

Telepon berdering. Dari temannya.

“Bagaimana Mbak Ani. Kapan datang ke taman kita. Kiamat sudah dekat. Segera selesaikan urusan dunia. Ratu pilihan sudah dapat bisikan.”

Ani berjanji akan berkunjung. Sudah berpuluh kali temannya itu memberi alamat. Sudah ratusan nasehat pula dihembuskan sang teman. “Surga masih lapang.” Ingat si teman.

Ani menutup telepon. Termenung.

Kiamat sudah dekat. Antar mereka sebelum terlambat.

Telepon berdering lagi. Dari suami.

“Minggu depan, status Ayah bukan karyawan lagi,” ujar sang suami. Nanti malam ia tak pulang. Berkumpul dengan kawan-kawan. Bicara bisnis. Usaha sendiri.

Ani meletakkan gagang telepon dengan hembusan napas keras.

Kiki menangis. Pelan, sebelum kencang. Lebih berisik daripada mesin bajaj di telinga Ani. Ia hanya menoleh. Menatap lama. Ikut menangis. Tangannya gemetar meraih Kiki.
Dia tak akan menangis lagi jika di surga

Tangis Kiki makin kencang. Mungkin banyinya itu haus. Tapi panyudaranya bengkak. Kiki bagai memiliki gigi, mengunyah rakus buah dadanya. Ia cuma menggendong Kiki, mengajaknya ke kamar. Belum sempat ranjang itu dirapikan.

Kiki masih meraung. Wajahnya makin merah. Mulut menganga.

Ani berdiri mematung. Bingung harus berbuat apa

Di surga dia tak akan rewel lagi. Semua ada. Tinggal minta, terkabul!

Kiki mengapaikan tangan ke udara. Kaki kecilnya menggesek sprei.

Surga. Surga. Surga. Ini kesempatanmu. Antar dia ke surga.

Ani teringat pisau di dapur tadi.

Tangis Kiki makin panjang.

Surga. Surga. Surga. Kau tak perlu menanggung dosa dewasanya. Sejak dini kau sudah mengirimnya ke surga.

Ani menatap Kiki. Wajahnya datar. Bayangan pisau makin kuat di benaknya. Gagangnya dari kayu. Bilah matanya baja tahan karat. Berkilat ditimpa larik cahaya.

Tangis Kiki makin kencang.

Ani melangkah. Menuju dapur.



Sumber: sebagai bonus kumpulan cerpen kriminal (Dari Sanyembara Mengarang Cerpen Femina 2006)