Perempuanku

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Suara Pembaruan 07/05/2006



Malam menggigil. Gemetar ditampar angin lembab penghujung tahun. Seorang perempuan turun dari pintu kiri mobil. Rok mini, tank top, tas tangan. Gincu, bedak, tato alis, perona pipi, parfum. Langsing, langsat, cantik.

"Lusa malam di tempat biasa. Oke?" suara lelaki berkepala melon, menjulur dari kaca jendela kanan mobil yang terbuka. Perempuan itu melempar senyum. "Oke, sayang!"

Bougenvile ungu di sisi jalan mengangguk-angguk, seolah ikut menyetujui jawaban itu. Mobil tua melesat, perempuan cantik berbalik. Rambut gelombangnya bergoyang. Tak...tuk...tak...tuk...tak...tuk. Suara kelotak sepatu hak tingginya mencipta irama gema.

Menghantam lengang hingga ujung gang. Lima pasang mata pemuda nakal menatap sambil berdecap. Gardu di pinggir gang mendadak riuh. Celetuk kotor, celoteh bau, ejekan basi. Mereka bersuit-suit girang ketika mata perempuan itu mengerling dan menyapa dengan sebungkus kacang goreng.

Tak...tuk...tak...tuk...tak...tuk. Suara kelotak sepatu itu terhenti di depan sebuah rumah mungil. Tipe 21, sederhana, satu kamar. Sejenak berganti bunyi derit pintu pagar besi lalu lenyap sama sekali. Suitan pemuda nakal di gardu pinggir gang kehilangan gairah. Berganti petikan gitar, nyanyian sumbang dan tawa panjang terkekeh-kekeh.

Klik. Klak.

Pintu terbuka, lampu menyala. Perempuan itu melempar tubuhnya ke kursi ruang tamu. Tangan kanannya meraba-raba bagian dalam tas tangannya. Berlembar-lembar uang ada di sana. Malam penuh keberuntungan, batinnya. Bukan hanya mendapatkan uang banyak, tetapi juga cinta. Dadanya bergeletar aneh setiap bertemu lelaki berkepala melon. Bukankah itu cinta? Apalagi lelaki itu baru saja meminangnya dan berjanji menikahinya bulan depan.

Senyum perempuan itu mengembang. Setelah melepas sepatu hak tingginya satu persatu, ia beranjak ke kamar. Sebungkus martabak manis kesukaan ibunya dibawa serta. Ia nekat ingin membangunkan ibunya sejenak. Sejenak saja. Ia ingin mengabarkan berita gembira. Ia ingin berbagi bahagia.

"Ibu, aku sudah pulang."

Ibu paruh baya bergeming. Berbaring miring memunggungi perempuan itu. Selimut tebal menutupi daster batik muram yang dikenakannya. Perempuan itu menghela nafas, melirik jam dinding kamar. Pukul tiga lewat sepuluh, dini hari. "Ibu, bangunlah sebentar. Aku membawa martabak hangat dan berita hebat."

Tak ada kata-kata, tak ada suara. Sepi, sunyi, senyap.

Dahi perempuan itu berkerut. Perlahan ditepuk bahu ibunya, digoyang punggung ibunya, disingkap sedikit bagian atas selimutnya. Tubuh Ibu terguling. Terlentang, sedikit menekuk, kaku. Daster batiknya basah. Mulutnya berbusa-busa!

Perempuan itu melengking, tubuhnya ambruk di atas jasad ibunya.

*

Perempuan cantik itu milikku...

Aku rebah setelah bunyi kelotak sepatunya menjauhi halaman rumah. Terang purnama empat belas menerobos melalui jendela kamar yang terbuka. Aku suka berdiri di depan jendela itu memandang purnama. Tapi akhir-akhir ini sendi-sendiku sering lemas. Tubuhku menggigil setiap ia berpamitan, "Rika berangkat kerja dulu ya Bu, doakan Rika dapat banyak uang." Lalu cup, cup! Ia mendaratkan bibirnya yang bergincu tebal ke pipi kiri kananku hingga menimbulkan bekas merah dan rasa panas yang menyayat. Kupandangi tubuh perempuannya menghilang di balik pintu. Ia meminta doaku. Aku mengeluh dalam diam. Tuhan, pantaskah aku berdoa jika surga tak lagi bersemayam di telapak kakiku?

Waktu seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Menancap kuat di sasaran yang salah tanpa aku sanggup mencabutnya kembali.

"Ibu, aku malu diejek terus sama teman-teman."

Mata perempuan kecilku sembab. Bibirnya bergetar. Aku merengkuh tubuh mungilnya dalam pelukan dan mencoba menghiburnya.

"Jangan takut diejek sayang, kamu cantik. Coba lihat cermin!" kutuntun tangan mungil itu mendekati cermin besar di dalam kamar. "Lihat! Cantik, kan? Mereka itu iri, sayang! Iri karena tidak bisa secantik dirimu!"

"Tapi, aku kan..."

"Jangan pedulikan mereka, sayang!"

Mata perempuan kecilku menatapku tajam. Pipinya basah. Bibirnya semakin bergetar. Ketika aku mencoba meraih lagi tubuh mungilnya ke dalam dekapan, ia meronta. Berbalik dan berlari meninggalkanku. Samar kudengar rintihnya berulang-ulang di antara isak tangis, "Ibu jahat! Ibu Jahat! Ibu jahat!"

*

Perempuan cantik itu milikku...

Aku mengandungnya selama sembilan bulan lewat beberapa hari. Aku menyusuinya selama dua tahun. Aku mengasuhnya tumbuh. Tak ada siapa pun yang bisa mengambilnya dari sisiku. Tidak manusia, tidak juga Tuhan. Tidak, tidak, tidak!

"Aku tidak mau pakai baju itu!"

Perempuan kecilku memberontak. Tubuh telanjangnya yang baru saja kuseka handuk sehabis mandi mengerut, matanya menatapku galak. Aku mencoba membujuk. Membentangkan baju baru warna merah muda ke hadapannya.

"Sayang, bajunya pakai renda lho! Kamu suka baju berenda seperti Cinderella, bukan? Nanti Ibu belikan juga sepatu kacanya. Bagaimana?"

"Tidak mau!"

Aku memutar otak lalu mengambil baju biru bermotif bunga-bunga. "Mungkin Rika suka yang ini?"

"Aku bukan Rika!" teriak perempuan kecilku. Matanya menantang mataku. Jelas, tegas, tanpa rasa takut sedikitpun.

Kesabaranku tandas. Emosiku menderas. Pemberontak kecil di depanku ini harus ditumpas! Gigi gerahamku beradu menimbulkan suara gemeletuk. Dengan sekali gerakan kutarik lengannya dan kujepit tubuhnya di antara kedua kakiku. Baju merah muda berenda-renda masuk ke tubuhnya dengan paksa. Perempuan kecilku mengigil ketakutan. Air matanya berlinang-linang. Tanpa sedu sedan, tanpa isak tangis. Ia menatapku seperti melihat setan.

Sejak peristiwa baju berenda itu, ia benar-benar menjadi milikku. Tak ada yang berkurang, tak ada yang hilang. Perempuan kecilku tak pernah lagi menjadi pemberontak. Baju bunga-bunga, baju berenda, rok rimple-rimple merah muda. Ia akan memakainya tanpa bertanya atau mengeluh. Ia mulai menyukai boneka-boneka barbienya dan ia tidak keberatan bermain masak-masakan bersamaku di halaman samping rumah. Aku puas, aku bahagia. Ia adalah Rika yang cantik dan pintar. Ia adalah Rika yang selalu menuruti kata-kataku. Ia adalah Rika yang...

Ah, selamat datang kembali Rika sayang!

*

Perempuan cantik itu milikku....

"Kamu harus mendidik anakmu dengan baik."

"Kasihan sekali anakmu! Berikan saja padaku!"

"Dasar wanita gila! Harusnya dia masuk RSJ!"

Ketika aku bahagia, semua orang meributkan Rika. Orangtuaku, mertuaku, saudara ipar, kakak-kakak, tetangga-tetangga dan ibu-ibu arisan. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merecoki milikku. Lagipula apa hak mereka terhadap Rika? Aku ibunya dan mencintainya berlipat-lipat. Lebih banyak dari sebelum ia kembali.

Keributan itu membuatku terancam. Bagaimana kalau mereka mengambil paksa Rika dari sisiku? Aku tidak mau kehilangan milikku! Diam-diam kubawa Rika pindah ke kota lain menjauhi mereka. Di sebuah rumah tipe 21 perkampungan padat penduduk kami memulai hidup baru. Kuhapus semua jejakku agar keluarga besar tak dapat melacak. Aku bekerja sebagai karyawan pabrik dan Rika tumbuh tanpa keusilan orang-orang sekeliling. Di tempat ini, aku yakin bisa menjaga Rika dari ancaman. Ia akan menjadi milikku selamanya.

"Ibu, aku ingin belajar memakai make up. Boleh, kan?"

Aku menimbang-nimbang. Minggu kemarin usia Rika telah masuk bilangan tujuh belas. Ia telah tumbuh seperti keinginanku. Seorang perempuan muda yang cantik, luwes dan menggoda. Sekarang ia ingin belajar menggunakan make up. Apa yang salah dengan keinginan itu?

"Boleh ya, Bu?" rajuknya. "Aku ingin kelihatan lebih cantik, lebih menarik, lebih..."

"Belajar sama siapa?" potongku.

"Aku punya teman baik di salon. Dia bersedia mengajariku."

Rika mencium pipiku ketika aku mengizinkannya. Maka mulailah satu kegiatan baru dalam hari-hari Rika. Pulang sekolah ia langsung ke salon untuk belajar make up dan malam harinya mempraktikkannya di rumah. Cantik, luwes dan sangat perempuan. Begitulah saat aku melihat hasil riasan wajahnya. Rikaku telah sempurna menjadi perempuanku. Namun, kesehatanku tak sesempurna perempuanku. Penyakit demi penyakit mulai menggerogotiku. Aku tak kuat lagi bekerja di pabrik. Menjelang Rika naik kelas tiga, aku terkena PHK. Pabrik menendangku begitu saja tanpa pesangon. Setelah uang tabungan habis, kami sekarat.

"Ibu, aku bisa bekerja di salon."

Babak baru dalam hidupku berpentas. Rika keluar dari sekolah dan bekerja di salon. Penghasilannya dari hari ke hari selalu bertambah. Biaya makan, berobat dan kebutuhan lainnya tertutupi dengan cepat. Terkadang aku merasa itu tak wajar. Berapa banyak gaji Rika di salon itu? Tapi aku enggan memperpanjang pikiran buruk. Aku selalu menghibur diriku dengan berbagai kemungkinan. Mungkin ia mendapatkan tip lebih dari pelanggan, mungkin ia menjadi kesayangan majikannya, mungkin ia bekerja juga di salon lain yang lebih besar dan mungkin mungkin yang lainnya.

Sampai suatu hari, seorang lelaki berkepala melon datang ke rumah. Aku melihat binar-binar cinta di mata perempuanku. Aku melihat gairah asmara di lenggak-lenggok perempuanku. Dan aku terhuyung-huyung menubruk pintu ketika perempuanku mengatakan ingin menikah dengan lelaki berkepala melon itu.

Tuhan, pantaskah aku berdoa untuk perempuanku? Mungkin surga tak lagi bersemayam di telapak kakiku. Setelah suami dan anak sulungku meninggal dalam kecelakaan. Setelah kehilangan yang pedih itu memaksaku pergi dari kenyataan. Setelah bayi lelakiku bernama Riko kupaksa menggantikan posisi Rika anak sulungku. Setelah aku menjadikan Riko seorang perempuan dengan jiwa raga sempurna. Setelah...*

Mede17, 02.04.06