Sepuluh Juta Rupiah

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Suara Karya 26/03/2006



Rojak memukul kentongan, memberi isyarat waktu telah melintasi ambang hari, menyusuri gang-gang becek yang mulai sepi, sehabis hujan mengguyur sore tadi. Lima belas tahun sudah dia menjalani profesi sebagai penjaga malam. Menjaga malam agar tetap kelam. Hampir separuh hidup dia habiskan terjaga di malam hari, memukuli kentongan dari bambu yang mulai ditinggali rayap. Lepas Subuh, seusai membasuh wajah dengan air wudhu dan menyentuh tikar sajadah dengan kening lebarnya, Rojak kembali ke gubuknya di pinggir kali yang membelah perkampungan dengan pasar.

Di pasar yang tak pernah lelap itulah, untuk pertama kali Rojak melihat Romlah. Romlah gadis sederhana yang pandai mengaji. Dia tinggal tidak jauh dari pasar. Ayahnya pemilik kontrakan yang berjasa membangun masjid di kampung kumuh di utara Jakarta itu.

Hampir setiap malam Romlah pergi ke perpustakaan yang menempati salah satu kios di pasar. Di tempat itu Romlah mengajar mengaji dan baca tulis. Murid-muridnya buruh pasar, mantan preman dan anak-anak wanita penjaja susila yang tinggal di lokalisasi di bawah jembatan layang. Perpustakaan itu sendiri dibangun secara swadaya oleh seorang seniman nyentrik yang pernah belajar di IKJ, dan tinggal di lingkungan dekat pasar itu pada masa kecilnya.

Suara lolong anjing di kejauhan terdengar lirih, hampir seperti merintih. Mengabarkan pedih entah pada siapa. Bulan pasi diselubungi mega kehitaman. Angin bersiut mengantarkan gigil ke tubuh Rojak yang kerempeng. Lajang menjelang tiga puluh lima itu merapatkan jaketnya. Berjalan suntuk ke pos jaga yang berada persis di depan perpustakaan tempat Romlah biasa mengajar mengaji dan baca tulis sehabis mahgrib, sampai beberapa jam selepas Isya.

"Elo punya modal berape mau ngelamar anak gadis gue?" tanya babe Romlah, beberapa waktu lalu, saat Rojak nekat menyatakan niat untuk melamar anak gadisnya.

Rojak hanya bisa menunduk ketika itu. Dia sadar betul modalnya hanya kentongan. Tak ada yang bisa dia janjikan kecuali kesetiaan. Tapi, kesetiaan saja tidak cukup. Apa yang bisa dianggap cukup dalam hidup ini?

Rojak berjalan seorang diri menyusuri malam yang seolah tidak menjanjikan keindahan. Seperti juga lingkungan tempat dia mendamparkan kehidupan: gang-gang becek - selalu - sehabis hujan mengguyur, air kali hitam sesak oleh sampah mungkin juga bangkai-bangkai hewan. Sementara perempuan berpakaian seronok bergandengan mesra dengan lelaki bermulut comberan ke luar masuk lokalisasi di bawah jembatan layang. Celetukan-celetukan cabul dari mulut pemuda yang asyik membanting domino sambil mencekik botol minuman keras, nyaris terdengar setiap malam.

Di tempat itu, keindahan serupa dengan barang langka yang harus diperjuangkan untuk mendapatkannya. Seperti Romlah, gadis yang pandai mengaji dan mampu menggetarkan hatinya ketika pertama kali berjumpa pada suatu magrib di perpustakaan depan pos jaga, yang tak pernah mungkin dilupakannya. Tapi sepuluh juta rupiah? Dari mana Rojak bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kalaupun Rojak berpuasa tidak makan dan hanya minum air putih saja setiap hari selama satu tahun, tetap saja penghasilannya tak akan mencukupi jumlah itu - sepuluh juta rupiah!
Rojak teringat Tarjo, teman kecilnya.

"Pokoknya, aku harus jadi orang kaya, Jak! Percuma aku minggat jauh-jauh dari desa, kalau hanya jadi tukang parkir saja!" Begitu kata Tarjo, beberapa tahun lalu, sebelum dia menghilang dari kehidupan Rojak. Entah di mana dia kini. Tapi banyak orang yang percaya kalau Tarjo sudah jadi orang kaya. Pernah sekali Tarjo mampir ke tempat Rojak dengan mengendarai sebuah sedan mewah. Tapi Rojak sedang tidak ada di rumah. Dia hanya mendengar saja dari para tetangga. Kepada Rojak, Tarjo hanya titip "salam" dan juga sekeranjang buah segar untuknya.

Mungkin Tarjo bisa memberikan solusi atas masalah yang sedang dihadapi Rojak? Sepuluh juta rupiah bagi seseorang yang mampu membeli sebuah mobil mewah, pasti bukan jumlah yang luar biasa. Rojak berpikir untuk meminjam uang dari teman kecilnya itu. Tapi di mana dia bisa bertemu dengannya? Tarjo memang pernah mampir ke rumahnya, tapi sepertinya dia lupa menitipkan alamat tempat tinggalnya.

Suara azan Subuh mengudara. Rojak segera meninggalkan pos jaga untuk memenuhi panggilan Yang Kuasa, sebelum kembali ke gubuknya yang sederhana. Rojak merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu, memejamkan mata setelah letih terjaga sepanjang malam yang tak menjanjikan keindahan. Dalam tidurnya Rojak bermimpi bertemu dengan Tarjo.
"Sepuluh juta?"
"Segitu yang diminta babe-nya Romlah, kalau gue mau kawin sama anaknya."
"Hmm..."
"Ada?"
"Kapan butuhnya?"
"Secepatnya! Kalau perlu sekarang juga! Gue udah nggak tahan pengin bersanding sama Romlah di pelaminan!"

Tarjo tertawa mendengar ucapan teman kecilnya.
"Bisa?"
"Ikut aku!"
"Ke mana?"
"Kamu mau uang kan?"
"Iya."

Tarjo mengeluarkan motor dari garasi rumahnya yang bertingkat dua. Tanpa diberi komando lagi, Rojak nangkring di atas boncengan. Meski Rojak bingung, dia tak lagi ingin menanyakan ke mana Tarjo akan membawanya pergi. Dia percaya bahwa teman baik yang sudah dianggap seperti saudara itu, pasti akan membantunya. Tarjo menghentikan sepeda motor bermesin dua tag di pelataran parkir sebuah kantor bank cabang.

"Mesin ATM-nya di situ, Jo!" tegur Rojak, saat melihat Tarjo melangkah menghampiri pos satpam, dengan senyum terkembang. Tarjo tidak menggubrisnya. Rojak hanya bisa menguntitnya.

"Selamat malam, Pak?" sapa satpam itu, berusaha bersikap ramah, di balik senyum curiganya.
Tarjo membalasnya dengan senyum.
"Ada perlu apa ya?"
"Teman saya butuh uang, saya mau mengambil uang."
"Oh, ATM-nya di situ, Pak!"
"Saya nggak mau ambil uang di ATM. Tapi di dalam," kata Tarjo menunjuk ke arah kantor yang masih tutup.
"Tidak bisa, Pak. Masih pagi buta. Kami belum buka."
"Kalau pakai ini, bisa?" Tarjo mengeluarkan pistolnya dari balik jaket kulit, menempelkannya ke perut satpam itu. Satpam itu membelalak. Bola matanya membulat, terlihat seperti hendak keluar dari ceruknya. Tarjo segera melucuti senjatanya.
"Jo..." bisik Rojak di telinga Tarjo. "Kamu diam saja. Kamu butuh uang, kan?"
"Iya. Tapi..."

Tarjo mengeluarkan sepucuk pistol rakitan dari balik jaketnya. "Pegang ini!" Tarjo menyerahkannya kepada Rojak. Gamang tangan Rojak menerima pistol itu. "Satpam yang di dalam bagian kamu!" katanya pula seperti sudah tahu dengan situasi di tempat itu.

Tarjo menggiring satpam itu ke bangunan yang masih tampak sepi. Pagi masih serupa bayi yang baru keluar dari rahim malam. Dengan perasaan cemas Rojak menguntit langkah Tarjo, sambil kepalanya menoleh ke kanan, kiri, dan belakang, takut aksi mereka dipergoki.

Seorang satpam lain muncul dari dalam, sesaat setelah teman sejawatnya membuka pintu masuk kantor bank itu. Sebelum sempat menyadari apa yang tengah terjadi, Tarjo segera menodongkan moncong pistolnya ke kepala satpam itu. Seperti tahu isyarat yang disampaikan Tarjo lewat matanya, Rojak segera meringkus satpam itu.

Dengan mudah keduanya berhasil dilumpuhkan. Mereka mengikat serta menyumbat mulut satpam-satpam tak becus itu dengan sapu tangan, setelah sebelumnya memaksa mereka menunjukkan tempat penyimpanan uang. Dengan peralatan yang dibawanya, Tarjo sukses membuka pintu brankas. Dia terlihat sangat ahli dalam melakukannya. Dia bahkan tak membutuhkan waktu lama.

"Sudah pekerjaanku." Begitu kata Tarjo waktu Rojak tampak terkesima menyaksikan kerja Tarjo yang super cepat. Jadi, itu pekerjaannya sehingga dia mampu memiliki sebuah sedan mewah? Pikir Rojak.

Dalam sekejap, tumpukan uang di dalam brankas berpindah ke dalam tas yang Tarjo bawa. "Sudah cukup, Jo. Gue cuma butuh sepuluh juta!"

"Apa bedanya sepuluh juta dengan sepuluh miliar yang kita ambil dari bank ini, kalau dosa yang kita terima sama saja? Kalau ingin jadi penjahat sekalian jadi kakap. Jangan cuma jadi teri!"

"Gue nggak kepingin jadi penjahat, gue cuma mau kawin sama Romlah."

"Ah, sudahlah! Kalau tertangkap hukumannya sama saja, jadi kenapa nggak sekalian ambil yang banyak?!"

Rojak tak menjawab. Dia juga tak menolak ketika Tarjo menyampirkan tas berisi sepuluh miliar rupiah itu di pundaknya.
"Ayo kita pergi!"

Segoblok-gobloknya satpam, tentu mereka pernah mendapatkan pelatihan dari polisi, yang membuat mereka menjadi cukup terlatih, untuk sekedar melepaskan diri dari ikatan. Apalagi, Rojak tak terlalu rapat mengikat.

Salah seorang dari mereka melepaskan tembakan tanpa memulai dengan kata-kata, "Angkat tangan!" seperti yang selalu diucapkan oleh polisi di film-film. Dan, peluru yang meluncur deras dari moncong senjata itu tepat mengenai dada Tarjo. Dari mana satpam itu punya senjata, jika semula Tarjo sudah melucutinya? Rojak jelas tak sempat memikirkannya. Dia memilih untuk menyembunyikan tubuhnya di balik meja yang terdapat di ruangan itu. Sambil memuntahkan peluru dari pistol rakitannya secara membabi buta. Dan, dia cukup beruntung. Satu peluru mampir tepat di kepala satpam yang menembak Tarjo. Dan, satu peluru lagi sukses mengenai kaki satpam yang satu lagi.

"Cepat lari, Jak!" ucap Tarjo di sela erang kesakitannya. "Sebentar lagi polisi pasti datang ke sini!"
"Gue nggak mungkin ninggalin elo!"
"Sebentar lagi aku pasti mati. Cepat lari!"

Rojak tak membuang menit, meski sesunguhnya dia tak tega. Apalagi ketika dilihat olehnya tubuh Tarjo menggelosor ke lantai dengan dada yang tak hentinya menyemburkan darah.

Di gerbang masuk bank, motor yang dikemudikan Rojak berpapasan dengan mobil polisi. Segera saja polisi itu berbalik arah, mengejarnya. Terjadi kejar-kejaran di lalu-lintas yang belum ramai.

Salah seorang polisi mengeluarkan tubuhnya dari jendela, membidikkan moncong pistolnya ke arah Rojak, dan... "Dor!"

Rojak terjatuh dari dipan kayu. Mengerang kesakitan. Belum sepenuhnya dia kembali dari mimpi, telinganya menangkap suara gedoran di pintu gubuknya. Rojak sempat menduga, kalau yang datang adalah orang yang diutus untuk menagih utang dengan paksa kepadanya. Karena begitu yang kerap terjadi pada tetangga-tetangga dekat rumahnya yang memiliki tunggakan pada seorang rentenir. Tapi gue kan nggak punya utang? Begitu pikirnya lagi, sebelum beranjak membukakan pintu. Belum lagi sempurna pintu dikuaknya, seorang lelaki mendobrak paksa, membuat tubuhnya terdorong beberapa langkah. Beberapa saat kemudian, lelaki berjaket kulit bersama beberapa orang berseragam polisi meringkusnya. Rojak berusaha meronta. Tapi percuma.
"Cepat geledah!"

Tak cukup lama waktu yang terbuang, salah seorang polisi berseragam menemukan sebuah tas di bawah dipan. Polisi itu membuka resleting tas, dan menemukan tumpukan uang di sana.
"Anda kami tangkap dengan tuduhan merampok bank!"
Rojak teringat dengan mimpinya. ***