Penghulu

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Republika 13/04/2008



Wajah Pak Penghulu langsung berubah pucat manakala kedua mempelai duduk di hadapannya. Baru kali ini Pak Penghulu terlihat begitu gugup. Beliau ragu untuk segera melakukan upacara yang sangat sakral dalam kehidupan sepasang manusia: Pernikahan. Sebelum acara pernikahan dimulai, Pak Penghulu yang hidup sendirian itu minta ijin ke belakang.

Menyadari akan perlakuan yang tidak mengenakkan itu, kedua calon mempelai yang masih tampak muda-muda itu mengejar Pak Penghulu untuk minta dinikahkan secepatnya.

"Tolonglah, Pak Penghulu! Please! Tunggu apalagi? Kami sangat berharap bapak menikahkan kami sekarang juga!" rayu salah satu calon mempelai.
"Benar Pak Penghulu! Rekan-rekan kami sudah menunggu! Pesta telah kami siapkan! Kami akan terlambat bila Pak Penghulu tak segera menikahkan kami!" tambah calon mempelai yang lain.
Pak Penghulu tak menjawab. Ia hanya mondar-mandir, seolah tak mendengar bujuk rayu itu.
"Tunggu sebentar. Perut saya mules!"

Pak Penghulu meninggalkan kedua calon mempelai, lalu masuk kamar kecil. Di dalam kamar kecil itu beliau tidak berbuat apa-apa. Tidak buang air kecil atau besar. Ia hanya berdiri sambil menghela nafas yang terasa sesak. Seperti tengah menghadapi sebuah peristiwa yang sungguh luar biasa beratnya. Meski selama ini beliau terbiasa menikahkan berpasang-pasang pengantin, tetapi untuk kedua calon mempelai kali ini ia teramat berat melakukannya.

Di daerahnya, memang tidak semua calon pengantin dinikahkan olehnya. Sebab Pak Penghulu yang satu ini hanya menerima pasangan yang setuju menikah di bawah tangan. Artinya, mempelai laki-laki dan wanita yang dinikahkan tak mendapat surat nikah. Surat nikah resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Agama.

Pak Penghulu sudah sangat berpengalaman menikahkan orang. Baik dipanggil ke rumah salah satu mempelai maupun di kediamannya. Empat puluh tahun sudah Pak penghulu berkarir sebagai seorang penghulu. Jadi beliau sudah banyak makan asam garam soal pernikahan.

Selama menikahkan orang, beliau mengaku belum pernah mengalami kesulitan atau perkara soal sah tidak sahnya tentang hasil pernikahan yang dilakukannya. Bahkan, Pak Penghulu pun bisa membuat surat kawin resmi dari Departemen Agama, seperti yang didapatkan oleh pasangan yang menikah di Kantor Urusan Agama.

"Bagaimana cara Pak Penghulu mendapatkan surat nikah dari Departemen Agama?" tanya salah seorang mempelai pria yang menikah di bawah tangan pada Pak Penghulu, suatu ketika.
"Ah, gampang! Siapkan saja uang secukupnya. Nanti bapak yang mengatur!"

"Bapak bisa?!"
"Sudahlah. Apa sih sekarang ini yang tak bisa dibeli?!"
Bukan soal mampu mengurus soal surat-surat nikah saja yang bisa dilakukan Pak Penghulu. Beliau juga bisa menikahkan mempelai berkewarganegaraan asing. Bahkan, setelah itu mendapat surat nikah resmi! Benar-benar luar biasa Pak Penghulu yang satu ini.

Namun, malam ini, Pak Penghulu pusing tujuh keliling ketika menghadapi kedua calon mempelai yang datang ke rumahnya. Tiba-tiba ia merasa dirundung kegelisahan yang menjadi-jadi. Tidak seperti biasanya, Pak Penghulu dicekam rasa takut luar biasa manakala hendak menikahkan kedua mempelai seperti yang lazim beliau lakukan.

Saat Pak penghulu keluar dari kamar kecil, kembali kedua calon mempelai mendesaknya untuk segera menikahkannya. Dibantu oleh dua orang saksi yang sejak sore tadi menemani mereka.

"Come on, sir! Don't kid us! Saya mohon Pak Penghulu tidak merasa ragu untuk segera melakukan prosesi pernikahan kami!"

Pak Penghulu tidak menjawab. Beliau hanya memandangi satu persatu wajah mempelai dengan raut wajah pucat pasi. Ia seolah minta pengertian untuk tidak dipaksa-paksa. Sepintas ia ingat kaum Nabi Luth yang dikutuk Allah karena homo -- laki-laki bercinta dengan laki-laki.

"Kenapa Pak Penghulu? Bapak satu-satunya penghulu di daerah ini yang kami kenal? Kenapa Pak Penghulu ragu menikahkan kami!?" desak salah satu mempelai, dengan raut wajah berubah emosi.

"Kami tidak menuntut surat nikah resmi departemen agama! Kami menikah dibawah tangan, seperti kebanyakan mempelai yang menikah dengan Pak Penghulu!" tambah calon mempelai satunya dengan iba.

Pak Penghulu tetap tak menjawab. Ia benar-benar merasa ketakutan ketika kembali saling berhadapan dengan kedua mempelai ini, tidak seperti yang selama ini terjadi selama kurun waktu empat puluh tahun berkarir sebagai seorang penghulu!

"Beri saya waktu untuk berfikir," pinta Pak Penghulu akhirnya, sambil melangkah ke beranda depan rumahnya.

Malam semakin larut. Kedua mempelai tampak resah. Pak Penghulu masih menimbang-nimbang, apakah ia akan menikahkan kedua mempelai yang sudah jauh-jauh datang ke rumahnya ini atau tidak?

Sementara itu, karena belum juga mendapat kepastian setelah berjam-jam menunggu, kedua mempelai kembali mendatangi Pak Penghulu yang duduk termenung di kursi beranda depan rumahnya.

"Berapa pun akan saya bayar Pak Penghulu! Asalkan Pak Penghulu mau menikahkan kami!" rengek salah satu mempelai.

Masih tak ada jawaban. Pak Penghulu tetap diam membisu. Ia mulai berfikir. Dosa apakah yang tengah ia tanggung ini? Selama ini ia memang menikahkan orang di bawah tangan. Salahkah apa yang selama ini ia lakukan? Dulu, dulu sekali, ia menikahkan orang karena berniat membantu. Ia pikir, daripada berbuat zinah, orang lebih baik menikah. Begitu alasannya.

Di samping itu, mengapa orang-orang di daerahnya memilih dinikahkan oleh Pak Pengulu, karena tidak semua orang mampu menikah di Departemen Agama. Tak mampu membiayai. Lagipula, pasangan yang memilih dinikahkannya tak pernah memikirkan kekurangan atau kelebihan dinikahkan olehnya atau penghulu lain.

Tapi belakangan ini Pak Penghulu sudah jarang menikahkan orang. Sebab, orang lebih memilih menikah di kantor catatan sipil yang terletak di dekat kelurahan ketimbang dinikahkan olehnya. Mungkin karena sekarang ini penduduk yang menikah berharap punya surat nikah resmi. Sementara Pak Penghulu sudah tidak bisa mengeluarkan surat nikah resmi lagi. Pak Penghulu tak mau menyogok pihak depag yang biasa mengurus surat-surat nikah itu.

Disamping itu, setiap anak yang hendak masuk sekolah, disyaratkan pihak sekolah agar kedua orangtuanya memiliki surat nikah guna mengurus akta kelahiran. Jika tidak memenuhi syarat, akan sulit mengurus hal-hal lainnya yang juga membutuhkan surat nikah sebagai bukti bahwa kedua orangtua mereka telah resmi menikah.

Namun begitu, kedua mempelai yang saat ini berada di kediaman beliau tak peduli. Mendesak segera dinikahkan, walau tanpa surat nikah.
"Mereka sudah memenuhi syarat menikah, Pak Penghulu! Saksi ada! Mahar ada! Apalagi?!" kali ini salah seorang saksi yang membujuk Pak Penghulu untuk segera menikahkan dua calon mempelai itu.

"Saya tidak bisa, nak...."
"Why not?! Kenapa?! Apakah karena selama ini Pak Penghulu sudah jarang menikahkan orang lagi? Atau.... " salah satu mempelai hampir bersujud di kaki Pak Penghulu, dan terlihat meneteskan airmata.

"Bukan, bukan itu masalahnya, nak," potong Pak Penghulu, sambil memegangi pundak salah satu calon mempelai yang hendak bersujud di kakinya itu.

"Apa dong, pak?! Kata orang-orang Bapak sudah empat puluh tahun menjadi penghulu! Apa dong masalahnya, Pak?!"
"Masalahnya... selama ini bapak tak pernah menikahkan seorang mempelai laki-laki dengan mempelai laki-laki!"
"Kami ini pasangan gay, Pak! Bapak tidak baca koran, yah? Di Belanda saja sudah banyak gay yang menikah, Pak!"
"Ya, sudah! Kalian ke Belanda saja! Jangan menikah di sini! Bapak tidak bisa, nak!!"

"Pak! Pak Penghulu...!!"
Akhirnya Pak Penghulu masuk kamarnya dan mengunci diri! Pak Penghulu tidak memperdulikan kedua mempelai yang sudah siap menikah itu. Pak Penghulu tak sudi dibujuk rayu. Dua orang saksi pun tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya kedua mempelai 'jeruk makan jeruk' itu pun hanya bisa menangis di depan kamar Pak Penghulu.***